My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Tuesday, August 11

The Responsibility to Protect : Studi Kasus Konflik Krimea



Mata Kuliah    : HUMANITARIANISME DAN INTERVENSI KEMANUSIAAN
Tanggal           : 27 Maret 2015 

The Responsibility of Protect merupakan suatu konsep yang dilahirkan pada tahun 2001 oleh Internasional Commsion on Intervention and States Sovereignty (ICISS) yang mengemukakan bahwa intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai untuk melindungi hak asasi manusia dan terancamnya kestabilan internasional. The Responsibility of Protect  merubah fokus perdebatan antara sovereignty versus human right menjadi bagaimana cara terbaik melindungi manusia dari berbagai ancaman kemusnahan massal.  R2P yang berasal dari filosofi kedaulatan rakyat sudah dikukuhkan dan dilegalkan oleh PBB sebagai norma internasional. Ide pokok R2P pada dasarnya sebagai upaya untuk mereduksi kejahatan terhadap kemanusiaan dan dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mencegah timbulnya konflik yang menimbulkan banyak korban.





Apabila prinsip R2P diberlakukan oleh masyarakat internasional, seberapa jauh masyarakat internasional bertanggung jawab untuk menjalankan R2P tersebut? Apakah masyarakat internasional sesungguhnya bertanggung jawab dalam R2P? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, agar lebih jelas penulis menggunakan studi kasus konflik yang terjadi di Krimea. 

Konflik Krimea: Intervensi Kemanusiaan ? 
Dalam beberapa hari belakangan ini Ukraina menjadi pusat perhatian dunia karena aksi pendudukan yang dilakukan Rusia di Wilayah Otonomi Khusus Crimea (WOK Crimea) yang secara formal menjadi bagian dari wilayah Ukraina. Konflik Krimea dinilai mengancam perdamaian dan keamanan wilayah Eropa. Konflik internal Ukraina pasca runtuhnya rezim pemerintahannya menyebabkan wilayah Krimea yang sering menjadi penyebab memanasya hubungan Ukraina vs Rusia menjadi semakin menjadi disebabkan oleh sebagian etnis Rusia di Krimea untuk kembali menjadi bagian Rusia. Pasca konflik merebak, Rusia melakukan intervensi ke negara tersebut dengan mengirimkan tentaranya dan kemudian mendapat teguran keras baik dari pihak PBB, Uni Eropa dan khususnya AS.

Banyak pihak yang menyatakan aksi pendudukan itu jelas-jelas dilakukan militer Rusia, namun Presiden Vladimir Putin belum mengakui secara formal karena diperlukannya persetujuan dari parlemen untuk mengizinkan semua aksi militer oleh Rusia kepada pihak lain. Putin juga sempat membantah kalau angkatan bersenjata yang menguasai wilayah Krimea -yang sebagian besar warganya mendukung Rusia- memiliki kaitan dengan Moskow. Menurutnya pasukan itu adalah pertahanan sipil setempat dan Rusia tidak ikut serta melatihnya. Negara Eropa dan AS terdorang untuk megutuk aksi pendudukan oleh Rusia ini. Amerika Serikat bahkan mendesak agar semua pihak mundur dan menghindari provokasi dan sudah mengungumumkan penghentian kerjasama militer dengan Moskow menyusul operasi Rusia di Ukraina. Dorongan AS dan Eropa untuk mengutuk aksi pendudukan ini juga tidak lepas dari kesepakatan antara NATO dan Ukraina pada 1997 yang menjamin Ukraina untuk mendapat bantuan konsultasi apabila kedaulatan mereka terancam. Bagi Eropa sendiri, walaupun Ukraina bukan sebagai anggota NATO, tetapi kerja sama militer di antara mereka sangat kuat.

Tarik menarik antara bergabung dengan Rusia, tetap bersatu dengan Ukraina atau berdiri merdeka merupakan pergolatan yang terjadi dan menimbulkan banyak konflik hingga korban jiwa. Tercatat sudah 77 korban jiwa akibat konflik yang terjadi mulai akhir 2013 ini. Implikasi dari konflik yang terjadi di Krimea adalah ketidakseragaman sikap di Uni Eropa itu. Sebagian besar anggota Uni Eropa merasa Rusia telah melanggar kedaulatan Ukraina, tetapi mereka tidak setuju adanya penetapan sanksi ekonomi dan isolasi kepada Rusia seperti yang diusulkan AS. Bagi kaca mata Rusia, intervensi yang dilakukan di Krimea merupakan bentuk intervensi kemanusiaan dimana dilakukan dengan izin penuh permintaan bantuan oleh presiden Ukraina, Viktor Yanukovych


Implementasi R2P dalam konflik Krimea: Sejauh Mana ? 
Berdasarkan laporan ICISS, kondisi dan situasi yang mengundang intervensi kemanusiaan yaitu, “A. Large scala loss life, actual or apprehended, with genocidal intent or not, which is the product of either deliberate state action, or state neglect or inability to act, or a failed state situation; or B. Large scale ‘ethnic cleansing’, actual or apprehended, whether carried out by killing, forced expulsion, acts of terror or rupe.” Terdapat dua kondisi utama yang dapat mengundang intervensi kemanusiaan. Yang pertama terjadinya kematian dalam skala besar disertai dengan tindakan genosida yang intens baik yang melalui tindakan sengaja, kelalaian, atau ketidak mampuan suatu negara untuk bertindak (failed state). Kedua, terjadi pembersihan etnis dalam skala besar dalam bentuk pembunuhan, pengusiran dengan kekerasan, hingga tindakan-tindakan yang bermotif terror. Apabila dihubungkan dengan konflik yang terjadi di Krimea, intervensi yang dilakukan oleh Eropa mapun AS merupakan upaya untuk penghentian tindakan pengusiran  maupun intervensi Rusia atas Krimea. Selain untuk meredam konflik dan menekan banyaknya korban jiwa, secara tidak langsung menunjukkan bahwa masyarakat internasional, dalam hal ini Eropa dan AS telah menerapkan konsep R2P yang telah disepakati secara bersama dimana mereka melakukan intervensi untuk mencegah terjadinya berbagai pelanggaran kemanusiaan yang bermula dari konflik internal yang terjadi di Krimea. Masyarakat internasional terutama AS berusaha menindak tegas Rusia yang dinilai mencoba memancing konflik bersenjata dengan intervensinya mengirimkan pasukan militer Ukraina. 
 Implementasi R2P diterapkan pada saat suatu negara melakukan pelanggaran kemanusiaan, atau gagal melindungi rakyatnya dari kejahatan tersebut. Dalam kasus ini adalah negara Ukraina yang gagal mengatasi konflik Krimea. Tanggung jawab melindungi diambil alih komunitas internasional untuk kemudian merumuskan langkah-langkah strategis, meliputi pendekatan militer ataupun non-militer, dalam hal ini Eropa, AS, NATO hingga PBB.
 
Kesimpulan
Di satu sisi ada yang beranggapan bahwa konsep R2P ini merupakan sebuah ruang untuk melakukan intervensi. Padahal, dengan mengadopsi konsep ini tidak serta-merta berarti intervensi, R2P memang memungkinkan sebuah negara untuk diintervensi, tetapi bukan berarti harus diasosiasikan sebagai intervensi. Justru yang harus diperhatikan adalah bagaimana negara tersebut membangun kapasitas internasional untuk mencegah terjadinya berbagai pelanggaran kemanusiaan. Tindakan intervensi diambil berdasarkan, antara lain, alasan atau dasar yang kuat, tujuan yang benar, besarnya ancaman, dan wewenang yang sah serta dapat dipertanggungjawabkan dan menggunakan sarana-sarana yang proporsional. Keputusan untuk melakukan intervensi didasarkan pada keyakinan bahwa hal ini merupakan cara paling akhir dalam memecahkan persoalan yang apabila tidak diambil tindakan intervensi akan mengakibatkan kondisi yang lebih buruk, Dan juga intervensi militer diletakkan sebagai opsi terakhir apabila seluruh upaya non-militer yang ditempuh tidak menunjukkan hasil positif.
 
Referensi : 
Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNPROFOR (United Nations Protection Force-Croatia/Bosnia/Macedonia)
Sariekide, Nabila. 2014. Studi Kasus Ukraina vs Krimea (Crimea Case)
Situmorang, Ines Thioren. 2012. Implementasi Konsep Responsibility to Protect (RtoP) oleh Dewan Keamanan PBB dalam Krisis Kemanusiaan di Libya. Tesis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

https://www.scribd.com/doc/217930899/Studi-Kasus-Ukraina-vs-Rusia-Crimea-case#


0 komentar:

Post a Comment