My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Friday, July 31

Korporasi Global dan Demokrasi Liberal : Perubahan Peranan dan Investasi PT Shell Indonesia sebagai Multinational Corporation setelah dibentuknya UU Migas No. 22 Tahun 2001




Mata Kuliah    : KORPORASI GLOBAL
Tanggal           : 24 Oktober 2014      



Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu komponen strategis bagi kondisi perekonomian indonesia dimana sumbangan sektor migas pada APBN negara mencapai 25 %.  Oleh sebab itu pengelolaan migas menjadi salah satu komponen vital dalam mewujudkan ketahanan energi yang menjadi bagian dari ketahanan nasional. Melimpahnya sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia mendorong banyak penanaman modal asing atau investasi asing untuk ikut berkontribusi dan ikut serta dalam pemanfaatan sumber daya sekaligus meraup keuntungan maksimal. Salah satu perusahan terkemuka multinasional yang berhasil ikut serta dalam penanaman modal di Indonesia adalah Shell atau sekarang dikenal dengan PT. Shell Indonesia.
Investasi Shell sudah dimulai sejak lama dan terus berkembang megikuti legitimacy dan peraturan kedaulatan negara yang diatur melalui UU Migas. Dibentuknya UU Migas No. 22 Tahun 2001 menjadi langkah baru bagi Shell untuk melakukan perubahan investasi menjadi lebih dominan terhadap sektor migas di Indonesia. Dalam tulisan ini akan coba dibahas bagaimana UU Migas Tahun 2001 dapat mempengaruhi penanaman modal mutinational corporation, dilihat dari salah satu korporasi asing, PT Shell Indonesia dan apakah UU Migas Tahun 2001 sebagai undang-undang berbasis ekonomi dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk demokrasi ekonomi pesanan korporasi ?

Dinamika Perkembangan Migas di Indonesia
Jauh sebelum kemerdekaan indonesia, pencarian minyak di Indonesia sudah banyak dilakukan. Diantaranya oleh salah satu pengusaha bekebangsaan belanda yang bernama Jan Reerink di daerah lereng gunung Ciremai. Kemudian di lanjutkan oleh Aeilko Jans Zijklert pada tahun 1885 di Telaga Tunggal. Pengeboran yang dilakukan Aeliko Jana Zijliker membuahkan hasil dan keberhasilannya tersebut menjadi pendorong banyak dilakukannya untuk melakukan eksplorasi di daerah lainnya yang memiliki potensi minyak seperti Jambi, Aceh, Surabaya, dan Palembang. Keberhasilan dari usahanya tersebut juga akhirnya menciptakan usaha untuk berproduksi di sektor perminyakan, pengolahan dan penyulingan minyak bumi dan pemasarannya. Dan pada akhirnya banyak perusahaan multinasional asing yang berlomba-lomba masuk melakukan kegiatan usaha sektor migas di Indonesia seperti Standard Oil of New Jersey, Socony Vacuum (Standard Oil of New York), Standard Vacuum Petroleum (STANVAC), California Texas Oil dan tentu saja The Royal Dutch Shell Group atau atau saat ini dikenal sebagai “Shell”.
Setelah masa kemerdekaan, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 yang sudah dibentuk pada saat itu yang berbunyi : “bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Maka dari itu untuk mengemban amanat yang ditertera pada UUD 1945 pasal 33, akhirnya, pada tahun 1971 Indonesia memiliki perusahaan migas yaitu PERTAMINA sebagai perusahaan yang memiliki kedaulatan penuh dalam pengelolaan sumber daya migas di Indonesia yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1971. Jadi perusahaan asing seperti Shell, Caltex, dan Stanvac bekerja untuk PERTAMINA sebagai kontraktor dan dalam bentuk production sharing contract yang menjadi dasar dari kontrak kerja sama pengelolaan migas di Indonesia. Dan pada saat itu hingga 2001, PERTAMINA menjadi donor devisa paling besar bagi Indonesia.
 
Shell dan peranannya dalam sektor Migas di Indonesia
            Penemuan minyak oleh Aeilko Jans Zijklert pada tahun 1885 di Telaga Tunggal membuat ia mengubah Provisional Sumatra Petroleum Company miliknya menjadi sesuatu yang  lebih substansial pada tahun 1890. Dan pada tanggal 16 Juni, piagam perusahaan  "Royal Dutch Company for the Working of Petroleum Wells in the Dutch Indies" didirikan di Den Haag. Setelah Zijklert meninggal pada 27 Desember 1890, rekannya mengambil alih pekerjaan untuk menamukan ladang minyak baru dan mengembangkan perusahaannya. Hingga pada awal abad 20, sumber minyak bumi telah di temukan di Sumatra Utara, Sumatra Sealatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur. Pada tahun pertama di abad itu, dua dari sekian banyak perusahaan muncul sebagai pemimpin, yaitu Royal Dutch untuk bagian produksi dan penyulingan, sementara Shell di bidang transportasi dan pemasaran. Di tahun 1902, Shell dan Royal Dutch membentuk perusahaan bersama untuk menangani pengiriman dan pemasaran dengan nama The Shell Transport and Royal Dutch Petroleum Co, Ltd.
Setelah beberapa tahun pada 24 februari 1907, terbentuklah Royal Ducth / Shell Group of Companies yang kemudian dunia lebih mengenalnya dengan Shell. Tiga tahun kemudian, pada 1910, Shell menyerap produsen lain dari Indonesia dan pada 24 juni 1911, mereka membeli lagi sebuah perusahaan bernama The Dordtsche Petroleum Mij dan dominasi Shell di industri perminyakan di Indonesia semakin lengkap. Selanjutnya pada tahun 1963, dibentuknya UU No. 14 Tahun 1963 yang menjelaskan mengenai status kedudukan Shell di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa daerah-daerah bekas konsesi korporasi asing pertambangan di Indonesia, salah satu diantaranya Shell, dinyatakan dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dimana segala usaha pertambangan minyak dan gas bumi hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara, kecuali apabila diperlukan pelaksanaan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh negara maka dapat ditunjuk korporasi asing sebagai kontraktor perusahaan negara. Sehingga pada saat itu, status Shell masih terbatas karena hanya sebagai kontraktor di Indonesia.

Dibentuknya UU Migas No. 22 Tahun 2001
Dengan berjalannya waktu, peminatan atau kebutuhan masyarakat akan Bahan Bakar Minyak makin bertambah. Hal tersebut membuat perusahaan pertamina sulit untuk memenuhi permintaan dikarenakan alat-alat produksi yang terbatas untuk mengolah minyak. Kemudian untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Keppres No.31 Tahun 1997 tentang perusahaan minyak swasta. Dengan adanya peraturan tersebut pemerintah memberi izin kepada PERTAMINA untuk membeli minyak pada perusahaan swasta tanpa mengubah peran pertamina yang memonopoli Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Status tersebut membuat pertamina menjadi aktor monopoli utama sektor migas di Indonesia. Di sini Shell masih berperan sebagai salah satu produsen bagi Pertamina. Hal tersebut kemudian membuat korporasi asing dan Multinational Corporation yang saat itu memang sudah mendominasi di Indonesia dari segi finansial, mendorong pemerintah agar menjadikan pasar yang kompetitif. Selain itu juga karena adanya berbagai tuntutan dan kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang masih kurang  terpenuhi dengan baik walaupun dengan dikeluarkannya Keppres No.31 Tahun 1997.
Sehingga pada Tahun 2001, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan diberlakukannya UU ini menjadikan perusahaan swasta mudah untuk pengolahan dan pemasaran minyak di Indonesia lalu PERTAMINA tidaklah lagi menjadi regulator, karena negara telah membentuk Badan Pelaksana Migas dan Badan Pengatur Migas dan status PERTAMINA sebagai monopoli perusahaan minyak dalam negeri di cabut. Perusahaan tunggal migas negara Indonesia yaitu PERTAMINA sudah berakhir, artinya PERTAMINA tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam sektor migas di Indonesia. Undang-undang ini yang menjadi pemicu awal untuk meliberalisasi di sektor minyak dan gas bumi untuk membuat pasar yang lebih kompetitif. Dan sampai pada tahun 2005 silam, tercatat sebesar 105 perusahaan telah mendapat izin untuk beroperasi, mengelola, dan memasarkan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia seperti Chevron-Texaco, Petronas, British Petroleum dan tentu saja Shell.

Analisis :
Pengelolaan sumber daya alam yaitu dalam hal ini adalah Migas, terbukti pengelolaannya masih bersandar pada perusahaan asing yang menyebabkan semakin kuatnya peranan perusahaan asing dalam penguasaan dan eksploitasi Migas Indonesia. PT Shell Indonesia menjadi salah satu perusahaan asing dimana sudah mulai beroperasi bahkan pada saat Indonesia belum mendapatkan kemerdekaan. Setelah adanya kemerdekaan juga tidak cukup membatasi Shell dalam mengeksploitasi sumber daya migas di Indonesia. Shell mendapatkan keuntungan walau hanya sebagai kontraktor pertamina. Pemerintah sendiri masih belum dapat menyelesaikan permasalahaan kebutuhan Migas dengan baik secara mandiri. Negara Indonesia termasuk sebagai negara berkembang yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah namun tidak memiliki kekuatan produksi. Hal tersebut lah yang akhirnya membuat perusahaan asing mencoba terus mendorong dan menekan pemerintah untuk segera mengeluarkan undang-undang berbasis ekonomi (economic based legislation).
Ditetapkannya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas menjadi solusi bagi permasalahan kebutuhan Migas di Indonesia. Undang-undang ini tidak lain untuk meliberalisasikan sektor migas. Dengan kata lain, perusahaan asing bebas masuk untuk berinvestasi dan mengelola migas di Indonesia. Perusahaan asing mulai masuk dan berlomba-lomba untuk mengelola dan mencari keuntungan dari pengelolaan minyak di Indonesia. Dan posisi Indonesia disini hanya memberikan jasa kepada perusahaan asing untuk memperkerjakan masyarakatnya di perusahaan asing tersebut. Sedangkan bagi PERTAMINA mencabut statusnya tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam sektor migas Indonesia melainkan harus bersaing dengan perusahaan migas asing seperti Shell
Shell akhirnya mendapatkan perubahan dominasi dan peranan tertentu dari ditetapkannya undang-undang ini dimana yang pada awalnya hanya sebagai kontraktor, kemudian menjadi pelaku utama mandiri yang bersaing dengan perusahaan migas nasional, pertamina. PT Shell Indonesia sebagai perusahaan asing terus berkembang di Indonesia. Sebagian besar sumber-sumber energi Indonesia memang dikuasai oleh perusahaan asing. Untuk minyak misalnya, Indonesian Re­sour­ce Studies (IRESS) menemukan bahwa Pertamina  hanya memproduksi minyak sebesar 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh asing.

Kesimpulan :
Dewasa ini korporasi asing memang memegang peranan penting di Indonesia, tidak hanya di sektor ekonomi namun merambah ke dominasi demokrasi ekonomi. Ditetapkannya UU No. 22 Tahun 2001 secara tidak langsung membuat demokrasi kita terkikis karena adanya tekanan korporasi untuk menguasai sumber daya Migas Indonesia melalui undang-undang berbasis ekonomi. Bisa jadi UU No. 22 Tahun 2001 merupakan bentuk demokrasi pesanan korporasi dimana melalui undang-undang tersebut, korporasi asing berhasil berinvestasi penuh dan memperoleh keuntungan besar, bahkan lebih besar dari keuntungan Indonesia sendiri karena korporasi asing terbukti lebih dominan di sektor migas daripada perusahaan nasional.

Referensi :
 Driver, Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate Governance and Democracy. Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England
Sabrina, meutia. 2013.  Analisis Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal
Palazzo, Guido. Corporate Social Responsibility, Democracy, and The Politization of The Corporate. University of Zurich
Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas, Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia

www.hukumonline.com diakses tanggal 23 Oktober, UU No. 22 Tahun 2001; Keppres No.31 Tahun 1997; UU No. 14 Tahun 1963
www.shell.co.id diakses tanggal 23 Oktober

Dari Politik Lingkungan ke Sustainability Politics : Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and the Pasific oleh ESCAP


Mata Kuliah    : DARI INTERNASIONALISME KE GLOBALISASI ISU DAN 
                          STRATEGI  
Tanggal           : 15 Oktober 2014   
Salah satu dari 8 tujuan Milenium Development Goals (MDG) adalah ensure environmental sustainability atau memastikan keberlangsungan lingkungan dimana berbagai cara dilakukan diantaranya dengan mulai diintegrasikannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan upaya meminimalkan hilangnya sumber daya lingkungan. Globalisasi memiliki efek positif dan negatif terhadap lingkungan. Globalisasi sendiri dapat memperburuk permasalahan lingkungan maupun memberikan solusi untuk penanganan permasalahan lingkungan itu sendiri. (Anderson, Cavanagh, and Lee 1999; Jobes 2003; Speth 2003 dalam kuliah IGLO 8 Oct 2014). Semakin meningkatnya kematian karena persoalan lingkungan mendorong persoalan lingkungan menjadi perspektif tidak hanya oleh ranah nasional namun juga internasional. Selain itu juga karena fakta tentang perlunya manusia manaruh perhatian lebih terhadap kelangsungan hidupnya di bumi dimana bumi itu sendiri memiliki beban berlebih untuk memulihkan diri akibat dari banyaknya eksploitasi sumber daya alam oleh manusia.
Green Growth hadir sebagai suatu paradigma dan strategi kebijakan yang sudah menjadi suatu tren global baru dimana memiliki kerangka berfikir dasar mengenai pembangunan yang revolusioner. Pembangunan tidak hanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau meningkatkan taraf kesejahteraan manusia, tapi juga sekaligus memastikan kelestarian lingkungan hidup. Pada tahun 2012 perserikatan bangsa yang tergabung dalam Economic and Social Commission for Asia and the Pasific (ESCAP) merilis Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and Pasific sebagai pedoman pengembangan konsep ‘Low Carbon Green Growth’ demi menciptakan pembangunan ekonomi baru di suatu wilayah khususnya di Asia dan Pasifik. Dalam tulisan ini akan coba dijelaskan bagaimana persoalan lingkungan menjadi sustainability dalam perspektif internasional dan bagaimanakah globalisasi mempengaruhi perkembangannya? Dengan fokus pembahasan di wilayah Asia Pasifik dimana permasalahan lingkungan menjadi salah satu tren internasional sehingga dirilisnya Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and Pasific oleh ESCAP sebagai solusi pengenalan konsep Green Growth yang lebih mendalam. 
Globalisasi dan Persoalan Lingkungan 
Dunia saat ini memasuki era baru dimana pertumbuhan ekonomi di berbagai negara meningkat akibat perkembangan globalisasi. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya Gross Domestic Product dan peningkatan emisi CO2 sebagai hasil dari industrialisasi di masing-masing negara tersebut. Menurut laporan United Nations Secretary-General’s High-Level Panel diramalkan pada tahun 2030 nanti, dunia akan membutuhkan paling tidak 50 persen tambahan pangan, 45 persen tambahan energi dan 30 persen tambahan air. ESCAP sendiri memperkirakan pada 2011, 42 juta orang di kawasan Asia-Pasifik mengalami kemiskinan karena tingginya konsumtif product disertai tingginya harga energi dan pangan.

Sementara itu di sisi lain, kendala perubahan iklim masih sering menyebabkan kerusakan dan mengancam kemajuan pembangunan. Wilayah Asia-Pasifik merupakan wilayah yang paling rentan mengalami perubahan iklim ekstrim yang banyak berakibat fatal. Tercatat 80 pesen kematian dan 38 persen ekonomi global hancur karena bencana. Sedangkan menurut catatan Green Economic Coalition (GEC) menyebutkan bahwa 70 persen dari  1,2 milyar warga miskin di dunia menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam. Oleh sebab itu, negara dituntut untuk mengubah krisis tersebut menjadi sebuah peluang melalui konsep Low Carbon Green Growth, sebuah strategi pertumbuhan baru untuk Asia dan Pasifik. Green Growth dapat meningkatkan energi, air, keamanan pangan dan mencapai tujuan MDG. Konsep dari Grren Growth lahir di wilayah Asia-Pasifik dan kini sudah dipraktekkan secara global. Konsep Green Growth pertama kali diperkenalkan oleh Ministerial Declaration yang diadopsi dari Fifth Ministerial Conference of Environmental and Development in Asia and the Pasific (MCED-5), oleh ESCAP pada 2005 yang bersidang di Republik Korea. Green Growth  merupakan starategi cerdas untuk pembangunan bekelanjutan sekaligus sebagai proses tercapainya Green Economy. Selain itu juga sebagai crucial strategi ekonomi untuk negara berkembang.
Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and Pasific 
Melalui dirilisnya Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and Pasific, ESCAP mencoba malakukan pendekatan untuk memperkenalkan konsep Green Growth sekaligus memberikan arahan langkah-langkah cerdas dan sistematis pencapaian Green Growth. Banyak negara yang memang sudah menerapkan kebijakan Green Growth namun terkadang bagaimana cara dan langkah-langkah cerdas dan sistematis untuk menerapkan Green Growth itu sendiri masih belum ada penjelasan yang pasti. Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and Pasific memcoba mengatasi hal tersebut dengan memperkenalkan 5 langkah sebagai pendorong perubahan sistem ke arah Low Carbon Green Growth yaitu : (1) Improving the quality of growth and maximizing net growth (2) Changing the invisible structure of the economy (3) Changing the visible structure of the economy (4) Turning green into a business opportunity (5) Formulating and implementing low carbon. Secara jelas dapat dilihat melalui bagan di bawah :
 
Langkah pertama yaitu dengan peningkatan kualitas dimana yang dimaksud di sini adalah kualitas ekonomi, ekologi dan sosial. Peningkatan tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan cara menurunkan tingkat pengangguran, mengatasi masalah krisis finansial dan komoditas, memaksimalkan pertumbuhan ekosistem yang baik, meningkatkan kualitas hidup sosial, dan sebagainya. Karena fokus pada kualitas secara tidak langsung akan juga akan meningkatkan net growth. Setelah ada peningkatan kualitas, perubahan sistem yang sudah ada dibutuhkan untuk memperoleh hasil baru yang lebih baik. Perubahan sistem yang pertama dilakukan adalah ke ‘invisible structure’ kemudian diikuti perubahan ‘visible structure’. Invisible structure yang dimaksud disini contohnya adalah harga pasar, life style, regulasi, teknologi dan sebagainya. Perubahan invisible structure dapat dilakukan dengan cara menutup kesenjangan antara efisiensi ekonomi dan ekologi dimana peninkatan efisiensi ekonomi disertai juga dengan peningkatan ekologi, misalnya dengan mengubah life style penggunaan bahan bakar yang ekonomis namun tidak ramah lingkungan menjadi penggunaan bahan bakar yang ekonomis dan ramah lingkungan.
Untuk perubahan visible structure dilakukan dengan cara perencanaan dan perancangan eco-efisience infrastruktur. Eco-efisience infrastruktur disini meliputi green transport, yaitu menggunakan public transpor sebagai public services, green urban planning (pembangunan hijau), dan green energy infrastructure, yaitu mengefisiensikan penggunaan energi yang rendah emisi karbon dan ramah lingkungan dan sebagainya. Setelah dilaksanakannya berbagai perubahan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan bisnis yang ramah lingkungan atau biasa disebut green business dimana disertai dengan pengembangan dan perancangan berbagai teknologi yang ramah lingkungan, efisien, dan menghasilkan keuntungan besar. Langkah terakhir adalah merumuskan dan melaksanakan low carbon dimana keempat langkah sebelumnya diharapkan dapat mengahasilkan perencanaan matang yang disertai peningkatan kualitas lingkungan.

Analisis :
Permasalahan lingkungan menjadi isu yang dibahas di ranah internasional karena semakin besarnya akibat fatal yang ditimbulkan dari upaya manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya namun tidak mempertimbangkan keberlangsungan kelestarian lingkungan itu sendiri. Sehingga permasalahan lingkungan yang ditimbulkan akan bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan hidup ke depan apabila tidak segera diatasi. Berbagai organisasi internasional menjadi jembatan untuk perwujudan pembangunan berwawasan lingkungan yang sedang dikejar oleh negara-negara di dunia. Economic and Social Commission for Asia and the Pasific (ESCAP) merilis Low Carbon Green Growth Roadmap for Asia and Pasific sebagai pedoman pengembangan konsep ‘Low Carbon Green Growth’ dengan 5 langkah sebagai pendorong perubahan sistem ke arah Low Carbon Green Growth yang dapat diaplikasikan khususnya oleh negara Asia-Pasific demi menciptakan pembangunan ekonomi baru yang berwawasan lingkungan.

Referensi :
Chapple, Karen. 2008. Defining the Green Economy: A Primer on Green Economic Development. Berekeley, University of California, Center for Community Innovation and Associate Professor, City & Regional Planning.

Rico, MarĂ­a Nieves, 1998. Gender, the Environment, and the Sustainability of Development. Chile, Santiago.

LGG for Thailand, Low Carbon Green Growth by United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pasific (ESCAP)

http://www.bppk.depkeu.go.id/webku/images/sekilas%20tentang%20green%20growth.pdf
http://www.oecd-ilibrary.org/environment/green-growth-indicators-2013_9789264202030-en
http://sustainabledevelopment.un.org/index.php?menu=1447
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.unep.org%2Fgreeneconomy%2F&ei=Ptc9VKemOoSeugTi74KYBg&usg=AFQjCNFzu-sIUiyJnKjJUFeC3wyW2v1sug&sig2=OHNoCuL4Pp3RWoP1MjwWAQ&bvm=bv.77412846,d.c2E