My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-
Showing posts with label UTS. Show all posts
Showing posts with label UTS. Show all posts

Wednesday, November 25

Achieving Peace Through International Organization : The Case of World Trade Organization (WTO)

Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya


LONG PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas tengah semester (UTS) mata kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional (OBI)


ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai pengaplikasian logika internasionalisme yang menjelaskan bahwa perdamaian dapat dicapai melalui dua hal yaitu organisasi internasional dan free trade. Cara yang kedua, yaitu peace by international organization dipilih dengan  studi kasus yang diambil adalah mengenai organisasi internasional World Trade Organization (WTO). WTO digunakan sebagai wadah dan jembatan dalam mengatasi konflik yang terjadi antar anggotanya. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan melalui beberapa mekanisme pokok seperti Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement. Beberapa contoh kasus sengeketa yang berhasil diselesaikan dengan baik oleh WTO adalah kasus Selandia Baru versus Australia mengenai impor Apel dan kasus Indoesia versus Amerika Serikat mengenai impor rokok kretek. Dari sana dapat dilihat bahwa perdamaian dapat dicapai melalui adanya organisasi intrenasional. Selain itu juga menunjukkan bahwa menjadi keanggotaan dan menggunakan sistem perdagangan multilateral WTO masih lebih baik daripada jika tidak menggunakan sistem apapun.

Introduction
            Logika internasionalisme menjelaskan mengenai dasar pemikiran dari internasionalisme sendiri dimana semua yang ada dalam ranah hubungan interasional ini sebenarnya berangkat dari konsep dan teori internasionalisme. Tidak terkecuali dalam subyek bidang organisasi dan bisnis internasional. Dijelaskan bahwa konsep dan teori internasionalisme berangkat dari pemikiran mengenai bagaimana menciptakan sebuah perdamaian (how to achieve peace) yang pada akhirnya mengakar pada cara menciptakan pedamaian itu sendiri. Sesuai dari akar internasionalisme, terdapat dua cara mencapai perdamaian. Yang pertama adalah perdamaian melalui organisasi internasional (peace by international organization) dan yang kedua adalah perdamaian melalui perdagangan bebas (peace by free trade) yang memfokuskan kepada benefit atau keuntungan dari perdagangan bebas itu sendiri.[1]
Perdamaian melalui organisasi internasional berangkat dari pemikiran kaum realis sedangkan perdamaian melalui perdagangan bebas berangkat dari konsep universalism. Namun keduanya sama-sama menjelaskan mengenai pentingnya penerapan logika internasionalisme dalam hubungan antar state. Intrenasionalisme dapat mempermudah manusia untuk menciptaan ide-idenya dimana tiap negara pasti memiliki common interest masing-masing yang berbeda-beda. Organisasi internasional membantu menyediakan wadah bagi beragam kepentingan termasuk sebagai wadah penyelesaian konflik apabila terjadi. Tulisan ini mengambil cara yang pertama yaitu peace by international organization dimana berusaha menjelaskan bagaimana logika internasionalisme yang memberikan latar belakang untuk operasional organisasi bisnis internasional dengan menghubungkannya ke dalam studi kasus World Trade Organization (WTO) sebagai salah satu contoh organisasi internasional yang digunakan sebaga wadah untuk mecapai perdamaian melalui penyelesaian konflik atau sengketa yang terjadi antar anggota. Research Question yang coba dibangun adalah bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan WTO sebagai organisasi internasional yang menjadi wadah penyelesaian konflik bagi para anggotanya. Thesis statement untuk menjawabnya adalah bahwa WTO menjadi pihak netral dengan menerapkan mekanisme pokok seperti Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement dalam menyelesaikan konflik antar anggotanya demi tercapainya perdamaian.

Logika Internationalisme
Berbeda dengan globalisasi, internasionalism atau internasionalisme berangkat dari konsep politik yang lahir dari tradisi english school tentang masyarakat internasional (intrenational society). Dikatakan bahwa, “internasionalism refer to the promotion of global peace and well being through development and aplication.” Kerja sama diperlukan dalam hubungan internasional sebagai upaya mempromosikan perdamaian global sehingga menuntut aktor-aktor negara untuk saling berhubungan dengan baik (good relation) dalam institusi internasional. Hal itulah yang menyebabkan dalam internasionalisme, nuansa state dinilai lebih dominan. Inrenasionalisme mengacu pada promosi perdamaian global dan kesejahteraan melalui pengembangan dan aplikasi melalui state-centric.[2]
Teori dan konsep internasionalism yang berakar dari bagaimana menciptakan perdamaian (how to achieve peace) pada akhirya memunculkan gagasan dengan mengkombinasikan dua dasar elemen yakni hukum internasional (international law) dan ekonomi internasional (international economic). Hukum internasional berasal dari organisasi sedangkan ekonomi internasional berasal dari perdagangan (trade). Teori internasional mengkombinasikan Para pemikir realism maupun universalism memiliki pandangan masing-masing mengenai akar dari internasionalisme. Para realis lebih memfokuskan terhadap perdamaian melalui organisasi internasional (peace by international organization) sedangkan kaum universalis memfokuskan terhadap perdamaian melalui perdagangan bebas (peace by free trade). Namun keduanya tetap menganggap bahwa internasionalisme dan logika internasionalisme merupakan pondasi dari hubungan-hubungan internasional.[3]
Menurut kaum liberalisme, dasar pembentukan internasionalisme adalah sekumpulan state-rise of nationalism dimana tumbuh dari tatanan order dan perdamaiana (peace). Tatanan oder dan peace tersebut hanya bisa terjaga jika orang-orang maupun bangsa berfikir liberal dan mengedepankan kepercayaan (trust) serta penghormatan hak asasi manusia. Internasionalisme mempermudah manusia untuk menciptakan ide-idenya sehingga diperlukan sebuah wadah untuk menampung ide-ide tersebut. Dan organisasi internasional merupakan alat dari internasionalisme dimana mengedepankan kerja sama (cooperation) untuk mencapai self determination, humanitarian and global citizenship, peace and security, economic stability.[4] Di dalam teori ketergantungan atau dependency teory, dikemukakan bahwa rasa ketergantungan antar negara timbul karena internasionalisme dimana di ujugnya dapat tercapai peace. Di dalam logika internasionalisme dapat dibangun konsep kepercayaan bahwa dengan bekerja sama, maka dapat memfasilitasi perdamaian. Melalui organisasi badan internasional seperti WTO, wadah pelaksanakan perdamaian antar negara akan semakin terbuka lebar.

Machanism of Achieving Peace Through World Trade Organization (WTO)
Pada tahun 1994, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) resmi digantikan oleh World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota dan mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.[5] Hasil perjanjian Uruguay Round selama 8 tahun dari 1986-1994 tersebut merupakan awal dari era baru dalam konteks perdagangan dunia. Di samping terbentuknya institusi WTO, Uruguay Round juga telah berhasil membangun sistem dan mekanisme yang lebih komprehensif. Item-item perdagangan yang muncul pada era sekarang diadopsi dalam WTO. Tujuan utama WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi melalui UU No. 7/1994.[6]
Sebagai forum yang mempertemukan aktor politik internasional atau negara yang memiliki kepentingan di bidang perdagangan. WTO sebagai organisasi internasional berperan sebagai tempat dan forum bagi negara – negara untuk mempererat hubungan kerja sama maupun memiliki kepentingan di bidang perdagangan. Tidak hanya itu, WTO juga menjadi tempat untuk membuat agenda, kebijakan, maupun perjanjian sebagai sarana dalam melaksanakan perdagangan internasional.  Sebagai sosok vital yang berperan sebagai pengatur, WTO juga bertanggung jawab sebagai mediator dari sengketa perdagangan internasional antara dua negara atau lebih. Suatu sengketa dapat terjadi apabila ada pertentangan misalnya karena adanya pelanggaran ketentuan GATT yang menimbulkan kerugian salah satu pihak. Penyelesaian sengketa WTO sendiri diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau lebih dikenal dengan nama Dispute Settlement Understanding (DSU).  Pengaturan tentang DSU ini dipercayakan kepada sebuah badan yang disebut Dispute Settlement Body (DSB), dimana perwakilan dari seluruh anggota WTO ikut berpartisipasi.[7]
            Lalu bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa apabila benar-benar terjadi konflik? Dalam mekanisme penyelesaian sengketa dalam rezim perdagangan WTO, semua negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Harapannya adalah terwujudnya keadilan serta kompetisi yang fair dalam perdagangan dunia.[8] Menurut John H. Jackson: penyelesaian sengketa perdagangan dalam WTO, memuat sekitar tiga puluh bentuk, termasuk beberapa kewenangan untuk melakukan tindakan sepihak dari peserta yang dirugikan.[9] Namun secara garis besar mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO memiliki empat proses utama yaitu Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement.[10]
1.      Consultations (Konsultasi)
Pada awalnya pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan melalui konsultasi bilateral. Dan apabila pihak yang bersengketa gagal mencapai kesepakatan dan menyetujui untuk membawanya ke WTO maka WTO akan mengambil alih dan menawarkan  jasa mencari penyelesaian dengan baik. Pihak bersengketa diberi waktu untuk mengadakan konsultasi selama enam puluh hari kerja.
2.      Panel Proceedings (Permintaan suatu panel)
Apabila setelah enam puluh hari konsultasi tersebut juga gagal dalam mencapai keputusan, maka pemohon dapat meminta DSB untuk membentuk suatu panel untuk mengadakan pengkajian. Pembentukan suatu panel adalah otomatis dan keanggotan penalis harus terbentuk dalam sepuluh hari setelah persetujuan pembentukan panel.
3.      Appellate Review Proceedings (Proses Banding)
Dalam enam puluh hari, laporan panel harus disahkan dan apabila salah satu
pihak bersengketa tidak setuju dengan ketentuan atau legalitas interpretasi yang berkembang selama dalam proses, pihak yang berkeberatan tersebut dapat mengajuakan keberatannya melalui proses banding. Selanjutnya untuk menangani pengajuan keberatan tersebut, akan dibentuk Apelate Body, yang terdiri dari tujuh orang, yang dalam hal ini yang mewakili adalah para anggota WTO sendiri.
4.      Implementation and Enforcement (Implementasi dan Pelaksanaan)
Apabila sudah disahkannya suatu keputusan final dalam rekomendasi dan pengaturannya, maka pelaksanaannya haruslah dilaksanakan sepenuhnya dengan cepat. Karena hal ini amatlah penting bagi kebersamaan
Sistem penyelesaian sengketa WTO merupakan elemen pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan WTO sangat penting dalam rangka penerapan sistem dan fungsi WTO secara efektif. Dalam konteks hubungan politik maupun perdagangan intemasional, hambatan yang diberlakukan oleh satu negara akan menghambat keseluruhan proses liberalisasi perdagangan global. Oleh sebab itu, adanya organisasi internasional seperti WTO dapat menjadi fungsi yang baik sebgaai wadah maupun jembatan dalam pencapaian perdamaian dimana terbukanya border antar state melalui keanggotaannya dalam organisasi internasional secara tidak langsung dapat menekan berkembangnya konflik itu sendiri.
           
Examples of Cases Handled by World Trade Organization (WTO)
               Berikut adalah beberapa contoh kasus yang mampu diselesaikan dengan baik oleh WTO. 
a.      Selandia Baru versus Australia
Pada tahun 2007, terjadi kasus antara Selandia Baru dan Australia dimana diakibatkan Australia menghentikan impor buah apel dari Selandia Baru dengan alasan apel tersebut terdapat kandungan berbahaya yaitu bakteri fire bright, European cancer dan serangga penyebab pest. Penghentian impor apel tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1920 dan terulang lagi pada tahun 2007. Australia melakukan tindakan fitosanitasi atau upaya yg mengharuskan pemindahan atau penghancuran tanaman yg terinfeksi atau terserang patogen atau hama. Tindakan Australia terhadap proses fitosanitasi impor apel tersebut dianggap tidak sesuai karena penilaian risiko terhadap buah apel Selandia Baru tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kurangnya bukti ilmiah . Oleh karena hal itu Selandia Baru mengajukan gugatan terhadap Australia ke WTO dengan alasan Australia tidak konsekuen dalam menerapkan SPS Agreement (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures) yaitu kesepakatan tentang penerapan ketentuan Sanitasi dan Fitosanitasi.[11]
Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement Of Disputes atau lebih dikenal dengan sebutan DSU, mengatur prosedur penyelesaian sengketa melalui WTO dengan beberapa proses awal seperti Konsultasi dan Mediasi yang dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2007. Karena tidak memberi titik cerah maka Pembentukan Panel dilakukan tanggal 17 Desember 2007 sebgai dewan penengah yang beranggotakan Chili, komunitas eropa, Jepang, Cina, Taipe, Amerika Serikat dan Pakistan. WTO juga memberikan hak banding pada pihak yang ingin mengajukan banding yang didasarkan pada laporan panel dan intepretasi hukum.[12]
Keputusan WTO terhadap kasus ini adalah bahwa Panel menyimpulkan tindakan Australia lebih mengarah kepada menghambat perdagangan ketimbang perlindungan fitosanitari itu sendiri dimana Australia dianggap tidak konsisten dengan pasal 5 (6 ) SPS Agreement. Hal itu laporan oleh panel dan riset ilmiah yang tidak sesuai standart. WTO menerapkan prosedur tidak memberikan hukuman terhadap pihak yang kalah melainkan memberi jangka waktu terhdap pihak yang kalah untuk merubah aturanya agar sesuai dengan SPS Agreement. Maka dari itu WTO memberikan waktu untuk Australia merubah sistem aturanya agar sesuai dengan SPS Agreement.
b.      Indonesia versus Amerika Serikat      
Kasus pertentangan isu perdagangan juga dialami negara kita Indonesia dengan Amerika Serikat. Kasus yag diangkat adalah mengenai pembatasan rokok kretek impor dimana Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Barack Obama mengeluarkan kebijakan baru mengenai pengendalian tembakau sehubungan dengan regulasi AS mengenai Federal Food, Drug, Cosmetic Act yang isinya melarang produksi dan penjualan rokok dengan ciri aroma seperti kretek, Strawbery, anggur, jeruk, kopi, vanilla dan coklat sehingga berdampak pada kerugian terhadap Indonesia sebagai produsen.[13] Indonesia kemudian melayangkan keberatannya kepada WTO pada juni 2010 yang berisi protes terhadap kebijakan AS atas larangan terhadap produk-produk tembakau yang mengandung zat aditif tambahan, seperti cengkeh yang dinilai Indonesia cukup diskriminatif.
Amerika Serikat kemudian menanggapi lewat tuntutan naik banding pada 5 Januari 2012 setelah dikeluarkannya putusan panel pada 2 September 2011 oleh WTO.  WTO menjadi penengah sekaligus moderator dalam kasus ini. WTO melaksanakan prosedur penyelesaian sengketa dengan memposisikan diri sebagai pihak yang netral dengan meminta konsultasi awal pada AS mengenai ketentuan undang-undang pengendalian tembakau yang telah dilaksanakan AS pada tahun 2009. Menanggapi hal tersebut, AS sempat mengajukan banding namun pada akhirnya berdasarkan segala pertimbangan, WTO memenangkan Indonesia dalam sengketa ini pada 2 September 2012 hingga melakukan tindakan pengawasan atas realisasi dari putusan akhirnya
Kedua kasus diatas menunjukkan efektfitas dan peran WTO sebagai organisasi internasional yang mewadahi sekaligus sebagai jembatan dalam penyelesaian berbagai konflik antar anggota. Meskipun dalam beberapa hal WTO banyak mengalami kekurangan, namun di kedua kasus ini, WTO terbukti berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi internasional yang menjadikan berkembangnya perdamian. Logika internasionalisme terbukti dapat diaplikasikan dalam beberapa kasus untuk dua negara sehingga melalui internasionalisme itu sendiri, border atau batasan antara negara menjadi terbuka. Terbukanya dan terealisasinya kerja sama melalui organisasi internasional, dapat membuka kesempatan untuk mencapai suatu perdamaian.

Conclusion
            Logika internasionalisme digunakan sebagai latar belakang pembentukan dan operasional organisasi bisnis internasional. Di dalam logika internasionalisme terkandung pemikiran bagaimana menciptakan sebuah perdamaian (how to achieve peace). Pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni melalui organisasi internasional (peace by international organization) dan yang kedua adalah perdamaian melalui perdagangan bebas (peace by free trade). Dalam kasus ini, WTO menjadi forum organisasi internasional yang melaksanakan peace by international organzation dimana melalui kerja sama dan keanggotaan dalam WTO, konflik yang terjadi dapat teratasi. WTO menjadi wadah sekaligus jembatan penghubung penyelesaian sengketa melalui beberapa mekanisme pokok seperti Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement. Beberapa ontoh kasus sengeketa yang berhasil diselesaikan dengan baik oleh WTO adalah kasus Selandia Baru versus Australia mengenai impor Apel dan kasus Indoesia versus Amerika Serikat mengenai impor rokok kretek. Kedua kasus tersebut menunjukkan dan menguatkan asumsi penulis bahwa menjadi keanggotaan dan menggunakan sistem perdagangan multilateral WTO masih lebih baik daripada jika tidak menggunakan sistem apapun. Selain mempermudah dalam masalah poitik dan perdagangan, organisasi internasional juga memiliki fungsi sebagai jembatan mendapatkan perdamaian. Sesuai dengan logika internasionalisme bahwa melalui kerja sama di organisasi internasional, maka bisa memfasilitasi perdamaian.

References
[1] Kuliah Organisasi Bisnis Internasional pada 17 September 2015 dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Andilolo, Shanty Roma. 2005. Peran dispute settlement body (DSB) WTO dalam penyelesaian sengketa dagang. Tesis Hubungan Internasional. Universitas Indonesia.
[6] Sutoyo, Susanto dan tim. Sekilas WTO (World Trade Organization). Edisi Ketiga. Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral.
[7] Petros Mavroidis et.al., 2010, The Law of The World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, US : West Thomson Reuters.
[8] Ibid.
[9] Jackson, John H. 1974. Legal Problem of Economic Relation , St paul minn dalam Sinaga, Thor B. 2014. Efektifitas Peran dan Fungsi WTO (World Trade Organization) dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Jurnal Societatis.
[10] Peter van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University , hlm. 173
[11] Ibid.
[12] Meilia, Koman et all. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Terhadap Kasus Tindakan Fitosanitasi Impor Apel Selandia Baru oleh Australia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana.
[13] Bernadetha, Theresia. 2012. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Rokok Kretek Impor Antara Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.



[1] Kuliah Organisasi Bisnis Internasional pada 17 September 2015 dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Andilolo, Shanty Roma. 2005. Peran dispute settlement body (DSB) WTO dalam penyelesaian sengketa dagang. Tesis Hubungan Internasional. Universitas Indonesia.
[6] Sutoyo, Susanto dan tim. Sekilas WTO (World Trade Organization). Edisi Ketiga. Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral.
[7] Petros Mavroidis et.al., 2010, The Law of The World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, US : West Thomson Reuters.
[8] Ibid.
[9] Jackson, John H. 1974. Legal Problem of Economic Relation , St paul minn dalam Sinaga, Thor B. 2014. Efektifitas Peran dan Fungsi WTO (World Trade Organization) dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Jurnal Societatis.
[10] Peter van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University , hlm. 173
[11] Ibid.
[12] Meilia, Koman et all. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Terhadap Kasus Tindakan Fitosanitasi Impor Apel Selandia Baru oleh Australia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana.
[13] Bernadetha, Theresia. 2012. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Rokok Kretek Impor Antara Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Tuesday, September 1

Critical Review: America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry) dan America Crisis of Legitimacy (Robert Kagan)



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling dominan dan berpengaruh secara internasional. Dominasi Amerika Serikat sebagai negara hegemon sudah dimulai sejak lama. Memang pada kenyataannya, Amerika Serikat bukan hanya mampu mengklarifikasi dirinya sendiri sebagai negara Hegemon, namun Amerika Serikat juga mampu membuktikan kepada dunia bahwa ia memang pantas. Perkembangan teknologi di segala bidang, unggulnya pengetahuan dan cerdasnya strategi kerja sama yang baik menjadikan Amerika Serikat bukan hanya mampu mendominasi namun juga mampu mempertahankan dominasinya tersebut dari masa ke masa.
Dalam masa ini, Amerika Serikat sebagai negara hegemon juga mampu mempengaruhi lebih dalam kedaualan negara lain dan mampu mengantrol perjanjian dan kedaulatan internasional agar menguntungkan pihaknya. Tulisan yang patut untuk disimak mengenai Amerika Serikat sebagai negara hegemon adalah America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry) dan America Crisis of Legitimacy (Robert Kagan). Kedua tulisan ini memiliki persamaan dan perbedaan yang menarik ditinjau dari permasalahan-permasalah yang diangkat. Dalam makalah ini akan coba dibahas mengenai poin-poin permasalahan dan           posisi yang diangkat dalam kedua tulisan ini sehingga dapat dibandingkan dan diketahui persamaan dan perbedaan antar keduanya. Dan pada akhir bab, penulis akan mencoba mengargumentasikan dan menyimpulkan mengenai dua tulisan tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dibut rumusan masalah sebagai berikut :
1. Permasalahan apa yang diangkat dari dua tulisan tersebut?
2. Apa saja persamaan dan perbedaan antar keduanya?

BAB 1I
PEMBAHASAN

2.1  America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry)
Banyak sekali ide-ide baru yang berkembang ketika masa pemerintahan Bush maupun Clinton di Amerika. Hubungan koalisi dan kemitraan Amerika Serikat dengan negara-negara lain sudah banyak dibangun dengan baik sejak tahun 1940-an. Namun berbagai konflik dan kondisi internasional membuat Amerika Serikat sendiri mencoba merombak dan melakukan pemikiran ulang untuk mengatur prinsip-prinsip tatanan internasional. Hal tersebut dikarenakan sudah banyak dan tidak terkontrolnya ancaman teroris, senjata pemusnah massal (WMD), penggunaan kekuatan, dan aturan-aturan permainan global. Dari sanalah pada akhirnya lahir sebuh strategi besar non imperial Amerika Serikat dimana diharapkan dapat mengubah tatanan masyarakat internasional dan kemitraan politik Amerika Serikat dengan negara lain menjadi lebih baik.
Dua strategi besar kebijakan Amerika Serikat yang telah ada sejak taun 1940-an adalah realist in orientation dan liberal in orientation. realist in orientation merupakan strategi untuk membangun tatanan internasional modern dimana diselenggarakan atas dasar keseimbangan kekuatan besar Amerika Serikat dan Uni Soviet. Di dalam strategi ini, pada dasarnya Amerika Serikat mencoba meminimalisair kemampuan Uni Soviet untuk memperluas lingkungan pengaruhnya, menjaga keseimbangan bipolar dan mencapai stabilitas dengan pencegahan nuklir. Strategi ini menghasilkan keseimbangan kekuatan,perdamaian dan terhindarnya peperangan, dan bagi Amerika Serikat sendiri, terbentuknya banyak lembaga kemitraan yang menguntungkan seperti NATO, aliansi AS-Jepang aliansi dan kemitraan keamanan. Sedangkan pada strategi liberal in orientation memandang bahwa tatanan internasional berdasarkan aturan, dimana Amerika Serikat menggunakan dominasi politiknya untuk mendapatkan aturan menyenangkan dan sepenuhnya melindungi kepentingan Amerika akan dapat menghemat daya  serta memperluas pengaruhnya Amerika Serikat sendiri.
Berkat dijalankannya dua strategi tersebut berakibat munculnya tatanan internasional berdasarkan tawar-menawar (bargain) di Amerika Serikat. Tatanan internasional ini dibangun dengan komitmen AS untuk memberikan mitra Eropa dan Asia dengan perlindungan keamanan dan akses ke pasar Amerika, teknologi, dan perlengkapan dalam sebuah ekonomi dunia yang terbuka. Sebagai imbalannya, negara-negara ini setuju untuk menjadi mitra yang dapat dipercaya memberikan dukungan diplomatik, ekonomi, dan logistik untuk Amerika Serikat. Pada intinya Amerika Serikat dapat menciptakan perdamaian dan keamanan bagi dunia, dan sebagai imbalannya dunia sepakat untuk hidup dalam sistem AS.
Untuk pertama kalinya sejak awal Perang Dingin, strategi besar yang baru mulai terbentuk di Washington. Strategi baru ini muncul bukan cuma sebagai respon dari banyaknya terorisme, tetapi juga merupakan pandangan yang lebih luas tentang bagaimana Amerika Serikat harus memegang kekuasaan dan mengatur tatanan dunia dengan cara menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi untuk mengelola tatanan global. Strategi ini memiliki tujuh elemen dan dimulai dengan komitmen mendasar untuk mempertahankan dunia unipolar dimana Amerika Serikat tidak memiliki pesaing dan bertindak sebagai negara hegemon. Elemen kedua adalah analisis baru yang dramatis mengenai ancaman global dan bagaimana menghilangkannya. Ancaman global yang dimaksud di sini adalah teroris yang belum diketahui asal-usul keberadaannya dan diaitkan dengan kepemilikan persenjataan nuklir. Elemen ketiga menyatakan bahwa konsep pencegahan (concept of deterrence) yang dibangun pada masa Perang Dingin sudah using dan tidak layak diguakan. Konsep pencegahan yang dimaksud disini adalah bagaimana menyikapi permasalahan penyerangan oleh terorisme. Elemen baru ini berpendapat bahwa penyerangan tidak semata-mata hanya cukup diantisipasi, namun apabila sudah terjadi penyerangan, maka suatu negara harus bisa menunjukkan identitas dirinya dengan menyerang balik sebagai upaya untuk membela diri dan memberi pelajaran bagi pihak penyerang. Upaya serangan balik ini ternyata dinilai pihak internasional sebagai tindakan yang melanggar norma karena penyelesaian masalah lebih mengarah pada kekerasan.
Oleh sebab itu pada elemen keempat, melibatkan pembentukan kembali persyaratan kedaulatan. Karena kelompok-kelompok teroris tidak dapat dihalangi, Amerika Serikat harus siap untuk campur tangan di mana saja dan kapan saja untuk menghancurkan ancaman tersebut. Hal tersbut menimbulkan masalah dan pertanyaan baru mengenai dimana batas-batas kedaulatan suatu negara. Karena memang pada dasarnya, kedaulatan suatu negara tidak dapat dicampur tangani oleh negara lain. Pada masa ini, terorisme dan masalah senjata pemusnah missal menjadi masalah yang krusial bagi Amerika Serikat. Kekhawatirannya adalah bahwa beberapa negara despotik - Irak pada khususnya, tetapi juga Iran dan Korea Utara - akan mengembangkan kemampuan untuk memproduksi senjata pemusnah massal dan menempatkan senjata-senjata ini di tangan teroris. Hal ini berakibat semakin gencarnya Amerika Serikat dalam memegang kedaulatan negara lain. Dengan demikian negara-negara yang tidak secara teknis melanggar hukum internasional yang ada tetap bisa target kekuatan Amerika - jika Washington memutuskan bahwa mereka memiliki kapasitas calon untuk melakukan kejahatan
Elemen kelima dari strategi ini adalah depresiasi umum aturan internasional, perjanjian, dan kemitraan keamanan. Dengan adanya perjanjian dapat memberi sanksi bagi pelanggaran dan membatasi penggunaan kekuatan Elemen ke enam berpendapat bahwa Amerika Serikat akan dapat memainkan perannya secara langsung dan tidak terbatasi dalam merespon segala bentuk ancaman. Keyakinan ini sebagian didasarkan pada penilaian bahwa tidak ada negara atau koalisi lain - bahkan Uni Eropa - memiliki kemampuan kekuatan-proyeksi untuk menanggapi negara-negara teroris di seluruh dunia. Dari keenam elemen sebelumnya, maka elemen terakhir menyebutkan bahwa penting dan harus adannya  strategi baru ini untuk meningkatkan nilai stabilitas internasional.
Dalam era baru ini, pemikir neo imperial berpendapat bahwa strategi realis dan liberal tidak banyak membantu. Keamanan Amerika Serikat tidak terjamin dengan pelestarian pencegahan terorisme dan hubungan yang stabil antara negara-negara besar. Dalam dunia ancaman asimetris, keseimbangan kekuatan global bukanlah pengikat dari perang dan damai. Demikian juga, pada strategi liberal. Strategi liberal yang membangun tatanan seputar perdagangan terbuka dan lembaga-lembaga demokratis, mungkin bukan cuma memiliki beberapa dampak jangka panjang terhadap terorisme, tetapi pada kenyataaannya mereka juga tidak dapat mengatasi ancaman.
Pada masa pemerintahan Bush, Imperialisme Amerika Serikat ditunjukkan dengan diangkatnya permasalahan senjata pemusnah massal (WMD) ke puncak agenda keamanannya. Amerika Serikat juga menghadapi permasalahan di bidang militernya dimana Amerika Serikat hanya bisa menjaga keunggulan militernya selama puluhan tahun jika didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang produktif. Sedangkan dengan adanya kekacauan politik yang ditimbulkan oleh teroris, AS membutuhkan kerjasama dari negara-negara Eropa dan Asia bukan Cuma dari segi kerjasama stabilitas finansial, namun juga dalam kecerdasan, penegakan hukum, dan logistik. Akhirnya, strategi besar neoimperial menimbulkan masalah yang lebih luas untuk pemeliharaan kekuatan unipolar Amerika.
Daripada menciptakan sebuah strategi besar baru, Amerika Serikat seharusnya lebih fokus menghidupkan kembali strategi yang lebih tua, yang didasarkan pada pandangan bahwa kemitraan keamanan Amerika tidak hanya sebagai alat instrumen tetapi komponen penting dari sebuah tatanan politik dunia yang dipimpin Amerika yang patut dilestarikan. Kekuatan AS yang user-friendly dinilai lebih baik bagi dunia internasional dan lebih sesuai dengan norma. Sedangkan para pemikir neo imperial dihantui oleh momok terorisme dan mencari penataan ulang peran radikal Amerika di dunia yang nyata dapat lebih menurunkan hegemoni Amerika Serikat di ranah internasional.




2.2  America Crisis of Legitimacy (Robert Kagan) 
“Apa jenis tatanan dunia yang kita inginkan” merupakan dasar pertanyaan yang banyak dipikirkan dan diajukan negara-negara dunia sejak era peperangan. Pada masa kini, lebih ke perdebatan oleh Amerika dan Eropa mengenai apakah Saddam Hussein menjadi ancaman serius dan apakah perang adalah cara yang tepat untuk menghadapinya. Mayoritas solid Amerika akan menjawab sementara mayoritas lebih besar dari Eropa menjawab tidak. Namun perbedaan pendapat tersebut tercermin lebih dari sekedar berbeda penilaian taktis dan analitis dari situasi di Irak. Perbedaan tersebut lebih karena adanya perbedaan legitimasi dan kebijakan antara Amerika dan Eropa. Amerika Serikat tidak bisa mengabaikan masalah ini karena perjuangan untuk mendefinisikan dan memperoleh legitimasi internasional di era baru ini mungkin terbukti menjadi salah satu kontes yang paling penting. Dalam beberapa hal, hal tersebut juga dapat menentukan masa depan peran AS dalam sistem internasional sebagai kekuasaan yang pengaruh.
Dominasi Amerika terhadap Eropa menjadikan Eropa bertugas sebagai penjaga bagi Amerika itu sendiri. Tidak jarang terkadang negara Eropa merasa tertekan merasa tertindas dibawah dominasi AS. Hal ini digunakan Uni Soviet untuk mempertanyakan kembali kepada Eropa mengenai benar atau tidaknya dominasi AS terhadap mereka. Peran PBB senidiri juga dinilai tidak seberapa berarti bagi internasional. Dewan Keamanan PBB lumpuh oleh kebuntuan antara dua negara adidaya. Amerika Serikat tidak menganggap perlu untuk memperoleh persetujuan dari Dewan Keamanan untuk membuat atau mengancam perang. Di Eropa, legitimasi AS ada pada tiga pilar, semua didasarkan pada keberadaan kerajaan komunis Soviet. Pilar sturdiest adalah persepsi Eropa bahwa Uni Soviet merupakan ancaman strategis bagi AS. Bagi Eropa sendiri, peran Amerika Serikat sebagai bek utama terhadap ancaman Soviet memberikan mantel yang sangat luas terhadap legitimasi. Eropa juga dirasakan Uni Soviet sebagai ancaman ideologi umum. Amerika Serikat membanggakan diri menjadi "pemimpin dunia bebas," dan sebagian besar orang Eropa setuju. Keasyikan AS untuk berkonflik secara dingin dengan US melalui perang dingin memberikan pertanyaan tersendiri bagi Eropa. Kebanyakan orang Eropa tidak pernah sepenuhnya khawatir tentang senjata pemusnah massal (WMD) karena benar atau salah, orang Eropa tidak percaya bahwa senjata-senjata akan ditujukan pada mereka, namun kekhawatiran mereka lebih ke melihat Amerika Serikat tidak ada peranannya untuk melindungi mereka lagi. AS asik dengan surga geopolitik mereka dengan keamanan yang dijaga Eropa dan tidak lagi peduli sehingga timbul pertanyaan siapa yang akan menjaga para penjaga?
Dalam keadaan unipolar, Eropa telah kehilangan pengaruhnya ketika AS yang dinilai sebagai patner Eropa malah membuat keputusan yang membahayakan bagi Eropa sendiri. Eropa mulai khawatir tentang kekuatan tak terbatas AS. Lama terbiasa dengan membantu membentuk dunia, Eropa tidak ingin hanya duduk diam dan membiarkan Amerika Serikat melakukan dan mengontrol semuanya terutama ketika kemudi AS dinilai bahaya menurut Eropa. Ketakutan Eropa terbukti setelah serangan insiden 11 September 200. AS merespon dengan menuju irak yang dilihat Eropa sebagai tindakan anarkis yang tidak sesuai dengan perjanjian awal mereka yang berlandaskan tawar-menawar dan perjanjian kerja sama yang menjunjung tinggi moral, politik, dan kepentingan keamanan. Hegemoni AS telah menjadi masalah yang sangat menjengkelkan bagi orang Eropa. Namun bagaimanapun Eropa masih belum berusaha untuk melawan hegemoni AS karena kekuatan AS tidak membahayakan keamanan Eropa atau bahkan otonominya. Eropa tidak takut AS akan berusaha mengontrol dirinya, yang mereka takutkan, bahwa mereka telah kehilangan kontrol atas Amerika Serikat dan, dengan perluasan, lebih ke arah urusan dunia. Sebagian besar Eropa keberatan dengan invasi AS ke Irak tidak hanya karena mereka menentang perang tetapi juga karena kesediaan AS untuk pergi berperang tanpa persetujuan Dewan Keamanan - yaitu, tanpa persetujuan Eropa. Pada akhirnya Eropa mencari jalan dan starategi ain bagaimana bisa mengontrol AS yaitu dengan cara legitimasi yang berlandaskan dari negosiasi multilateral dan lembaga-lembaga hukum internasional.
PBB berperan sebagai tempat aturan-aturan internasional dan legitimasi didirikan. Namun otorisasi PBB masih banyk membuktikan ketidakberlakuaannya terhadap AS. AS tidak mendapatan sanksi apapun karena tindakannya atas invasi ke negara lain tanpa melewati perizinan dewan keamanan PBB. Bahkan di salah satu kasus, AS berhasil membawa Kosovo, salah satu negara Eropa untuk ikut berperan dalam invasi. Hal tersebut mengakibatkan hampir dicabutnya piagam PBB di Kosovo. Ketika Amerika Serikat dan beberapa sekutunya berperang melawan Saddam Hussein pada Maret 2003, tidak banyak yang berubah. Prinsip bahwa Dewan Keamanan sendiri bisa mengizinkan penggunaan kekuatan belum didirikan, bahkan oleh orang Eropa sendiri. Eropa berpendapat, dengan adanya invasi AS ke Irak tanpa persetujuan Dewan Keamanan, Amerika Serikat telah merobek tatanan internasional. Intinya, legitimasi memang telah terbukti nyaman fleksibel dalam beberapa tahun terakhir, tetapi Krisis yang terjadi di Kosovo dan Irak telah menunjukkan bahwa pencarian legitimasi menciptakan dilema mendasar bagi liberalisme dan internasionalisme liberal. Mengingat adanya berbagai konflik menjadikan legitimasi internasional menjadi masalah sengketa dalam dunia liberal. Meskipun perannya dalam membantu menciptakan PBB dan menyusun Piagam PBB, Amerika Serikat tidak pernah sepenuhnya menerima legitimasi organisasi atau doktrin piagam tentang persamaan kedaulatan. Meskipun sangat melindungi otonomi sendiri, Amerika Serikat dinilai kurang peduli dan sering mengganggu dan menggugat kedaulatan orang lain. Hal ini telah terbukti dengan adanya campur tangan AS di mana saja.
Masalah legitimasi menjadi masalah yang kompleks ketika bukan cuma menghasilkan munculnya era unipolar namun juga dua perkembangan negatifyaitu : poliferasi WMD dan munculnya terorisme internasional, yang keduanya tampak lebih mengancam Amerika daripada Eropa. Ketika Amerika Serikat menyerang Irak, Eropa menetapkan standar baru yang tinggi, tapi goyah bagi legitimasi internasional. Aksi multilateral dan kewenangan tindakan bersama menjadi lebih ditekankan. Namun Amerika Serikat dinilai adalah sebagai unilateral karena tidak ada kekuatan Eropa memiliki pengaruh yang nyata di atasnya. AS sendiri menganggap dukungan dari dari banyak negara - atau bahkan lebih baik, lembaga seperti PBB - - sangat penting peningkatan kekuasaan. Amerika Serikat, singkatnya, harus mengejar legitimasi yang paling benar dengan cara mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi liberal. Kesuksesan legitimasi akan membawa ukuran otoritas dalam liberal, dunia yang demokratis, termasuk di kalangan orang Eropa. Dalam mempromosikan liberalisme, Amerika Serikat juga harus mempertimbangkan dan memperhitungkan kepentingan dan kekhawatiran sekutu demokrasi liberal di Eropa yaitu dengan cara memberikan Eropa beberapa pengaruh atas pelaksanaan kekuasaan. Salah satu hasil legitimasinya adalah NATO yang telah menjadi salah satu organisasi yang mampu mendamaikan hegemoni AS dengan otonomi Eropa. Eropa mungkin berhasil melemahkan Amerika Serikat dengan cara ini, namun dari sana juga timbul bukan hanya akan timbul kegelisahan tentang unipolaritas, tetapi juga sistem multipolar.

2.3 Persamaan dan Perbedaan
Dari kedua tulisan mengenai Hegemoni Amerika Serikat tersebut di atas, dapat dibandingkan dan ditemukan persamaan dan perbedaannya. Persamaannya terletak pada bagaimanapun situasi dan kondisi serta konflik yang terjadi dan sedang dihadapi, Amerika Serikat tetap bisa mempertahankan Hegemoninya dengan berbagai cara. Dalam tulisan America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry), Amerika Serikat mencoba mengubah tatanan masyarakat internasional melalui strategi kebijakan baru, neo-imperalis dimana strategi ini muncul bukan cuma sebagai respon dari banyaknya terorisme, tetapi juga merupakan pandangan yang lebih luas tentang bagaimana Amerika Serikat harus memegang kekuasaan dan mengatur tatanan dunia dengan cara menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi untuk mengelola tatanan global.
Sedangkan dalam tulisan America Crisis of Legitimacy (Robert Kagan), Amerika Serikat mengikuti aturan dan saran pihak internasional, dalam hal ini Eropa untuk mematuhi legitimasi global dalam pengambilan setiap keputusan. AS melakukan hal ini karena memang pada kenyataannya ia masih banyak memerlukan dukungan dari negara lain untuk memulihkan tatanannya dan mengatasi ancaman terorisme yang datang dari luar sehingga ia masih dapat mempertahankan status Hegemoninya.
Untuk perbedaan antar keduanya, dapat dilihat melalui pencetusan gagasan dan ide permasalahan yang diangkat. Dalam America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry), ide untuk membentuk strategi baru neo-imperialisme datang dari AS sendiri. AS mencoba menganalisa sendiri bagaimana perkembangan tatanan negaranya dan kondisi serta ancaman global yang terjadi di internasional. Kemudian mencoba merumuskan strategi baru yang tetap bisa menguntungkan dirinya dan mempertahankan hegemoninya namun juga tidak membuat negara internasional merasa tertekan untuk mengikuti kedaulatannya. Sedangkan pada tulisan America Crisis of Legitimacy (Robert Kagan), dibentuknya legitimasi baru berdasarkan gagasan dari luar, dalam hal ini Eropa dimana Eropa secara diam-diam terus memantau perkembangan sikap AS terhadap internasional dan selain itu didasari kepentingan pribadinya untuk tetap terlibat dalam pengambilan keputusan AS. AS dalam hal ini hanya sebagai pihak pengikut legitimasi dimana ia hanya melihat apabila selama legitimasi tersebut masih bisa menguntungkan dirinya, maka ia akan bersedia mengikutinya.
Perbedaan lainnya dapat dilihat dari kekuatan mana dan siapa yang ingin dibatasi. Dalam tulisan pertama, jelas terlihat bahwa kekuatan yang ingin dibatasi adalah kekuatan dari luar. Hal tersebut ditunjukkan dengan cara ditingkatkannya persenjataan militer AS sehingga bisa menjadikannya sebagai negara unipolar yang ditakuti semua. Sedangkan pada tulisan kedua, yang ingin dibatasi adalah kekuatan AS sendiri. Eropa mencoba taktik baru membatasi kekuatan AS dengan memaksa AS mengikuti legitimasi yang ada sehingga AS tidak lagi bisa langsung bertindak sesuai keputusannya sendiri. Satu lagi perbedaan yang ditemukan, bahwa dasar dari persoalan yang timbul. Dalam tulisan pertama, persoalan timbul karena ketakutan dan kekhawatiran AS terhadap ancaman teroris. Sedangkan dalam tulisan kedua, dasar persoalan adalah ketakutan Eropa untuk tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan AS.



BAB III
ARGUMENTASI DAN KESIMPULAN

Kedua tulisan tersebut secara langsung menggambarkan bagaimana dominasi dan Hegemoni Amerika Serikat di ranah internasional memang sudah dimulai sejak lama. Dalam tulisan pertama dijelaskan bagaiman AS mampu memberikan rasa aman dan menjadikan negara-negara lain sebagai pasukan koalisi yang tunduk padanya. AS juga mampu menjadikan Eropa sebagai pasukannya tanpa khawatir pada US yang secara geografis lebih bisa berpengaruh terhadap Eropa. Terbukti bahwa memang AS memegang dominasi penuh terhadap segalanya. AS sebagai negara Hegemon mampu mengontrol tatanan global dan mampu membuat berbagai keputusan internasional yang menguntungkan dirinya. AS mampu menciptakan strategi kebijakan baru, juga dapat melaksanakan keinginannya untuk menginvasi negara lain tanpa melalui lembaga internasional termasuk PBBdan berhasil lolos dari sanksi atas tindakannya tersebut.
Kedua tulisan ini juga mengungkapkan bahwa, negara AS sebagai negara hegemon juga masih bisa diterjang berbagai permasalahan global yang mengancam kedaulatan dan kedudukannya sebagai negara adidaya. Diantraranya semakin maraknya perkembanagan terorisme dan teknologi persenjataan nuklir, mau tidak mau membuat AS sendiri merasa terancam. Juga banyak terjadinya serangan fisik negara lain terhadap AS. Tulisan tersebut juga menunjukkan bagaimana upaya AS untuk mempertahankan dirinya. Dengan menjalankan strategi baru, maupun mengikuti legitimasi yang diajukan pihak lain. Semua hal akan dilakukan AS selama hal tersebut masih bisa menguntungkan dirinya.
Dari sana dapat dilihat bahwa memang AS pantas untuk disebut sebagai negara Hegemon karena selain dapat menciptakan kualitas dirinya lebih unggul dibanding negara lain, AS juga mampu mengahadapi segala bentuk permasalahan yang ada untuk dapat mempertahankan posisinya sebagai negara Hegemon. Dan yang terpenting, AS juga bisa dengan mudah mendapatkan pengakuan dari negara lain karena memang keunggulannya dalam berbagai bidang fisik dan kecerdasannya dalam strategi mengatur strategi kerja sama dengan negara lain



DAFTAR PUSTAKA :
Ikenberry, G. John. 2002. America’s Imperial Ambition. September/October 2002 Issue. Diakses online di http://www.foreignaffairs.com/ tanggal 28 Oktober 2014
John A. Agnew. 2005. Hegemony: The New Shape of Global Power. Philadhelpia, PA: Temple University Press.
Kagan, Robert. 2004. America Crisis of Legitimacy. March/April 2004 issue of Foreign Affairs. Diakses online di http://www.nytimes.com/ tanggal 28 Oktober 2014
Michael, Mastanduno. Incomplete Hegemony: The United State and The Security Order of Asia. Bahan ajar mata kuliah perdamaian dan keamanan internasional FISIP Unair
Kuliah Perdamaian dan Keamanan Internasional dengan pengampu Sartika Soesilowati PhD, tanggal 21 dan 22 Oktober 2014

Online referensi : diakses pada tanggal 28 Oktober 2014