Trisfani
Rahmawati
NIM. 071414553007
Program
Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik
Universitas
Airlagga Surabaya
LONG
PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas akhir
semester (UAS) mata kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional (OBI)
ABSTRAK
Paper
ini membahas mengenai kemunculan private authority yang secara tidak langsung
menunjukkan terjadinya
kekosongan legitimasi dimana negara atau state tidak lagi dapat memberikan
jaminan atau menjadi yang terbaik. Kemunculan private authority diakibatkan
oleh weberian institution sehingga menjadikan adannya absence of
legitimate.
Kemunculannya dikaji melalui studi kasus multinational corporation PT. Shell di
Indonesia. Perkembangan dan eksistensinya di Indonesia mengalami pasang surut
problematika perubahan status mulai dari PT. Shell yang pada awalnya hanya
menjadi back up dan kontraktor bagi Pertamina hingga memiliki izin beroperasi
secara bebas di Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas ini menunjukkan bahwa state
authority mulai terdegradasi dan tergantikan oleh private authority. Pandangan
realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser
karena globalisasi yang memunculkan aktor lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa
private authority dapat berjalan beriringan dengan pendekatan state centric dan
keberadaannya mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.
Kata Kunci : Private Authority, PT. Shell Indonesia, UU Migas.
Pendahuluan
Industri minyak dan gas bumi merupakan salah
satu komponen strategis bagi kondisi perekonomian indonesia dimana sumbangan
sektor migas pada APBN negara mencapai 25 %. Oleh sebab itu pengelolaan migas
menjadi salah satu komponen vital dan berpengaruh dalam mewujudkan ketahanan
energi yang menjadi bagian dari ketahanan nasional. Negara sebagai aktor utama
seharusya memiliki kekuasaan dan kekuatan kebijakan terbesar. Termasuk kepada
kebijakan-kebijakan seputar pengelolaan enegri dalam negeri. Namun seiring
berkembanganya globalisasi, kekuasaan bergeser kepada aktor lain yaitu para
pemiliki modal besar misalnya. Terdegradasinya state authority kepada private
authority menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dibahas.
Pasalnya kemunculan private authority secara
tidak langsung dapat menunjukkan bahwa terjadi kekosongan legitimasi dimana
suatu negara dirasa tidak mampu menberi jaminan atau menjadi yang terbaik.[1] Selain itu hal
tersebut juga mamatahkan paham terhadap teori hubungan internasional yang
selama beberapa dekade didominasi oleh pandangan bahwa state menjadi
aktor yang memiliki otoritas dan legitimasi tertinggi pada global civil
society. Lahirnya aktor-aktor baru menjadikan paham realis ini semakin
melemah karena kemunculan private authority sebagai manifestasi
kelahiran non state actor menjadi titik dimana state kemudian
harus berbenah karena akan muncul berbagai permasalahan termasuk can private
authority be reconciles with the state-centric approaches that dominate the
discipline of international relation? Dan lebih lanjut, can state goes
hand by hand with it?
Dengan mengambil problematika salah satu aktor
multinasional corporation terbesar di industri migas yaitu PT. Shell
Indonesia, paper ini berusaha menjelaskan mengenai bagaimana private
authority bisa terbentuk? Dan apakah private authority tersebut
menguatkan atau justru melemahkan kebijakan negara? Thesis stement yang
dibangun adalah bahwa otoritas PT. Shell Indonesia muncul dengan kuat seiring
dengan melemahnya kemampuan negara memenuhi kebutuhan di sektor migas, ditandai
dengan munculnya UU Migas No. 22 Tahun 2001. Dan secara tidak langsung
menunjukkan bahwa private authority dapat menguatkan dan mendukung
tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.
Private
Authority
dan Eksistensinya
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai studi kasus yang ada, ada baiknya kita sedikit lebih memperdalam mengenai apa itu private authority dan bagaimana private authority bisa terbentuk. Cutler, Haufler and Porter (1999) mengungkapkan,
“authority involves a surrendering of individual judgement, an acceptance of its dictates based not on the merits of any particular pronouncement but on a belief in the rightness of the authority itself.”[2]
Sedangkan berbicara tentang private, Buthe (2004) mengungkapkan,
“Private is defined as “neither states, state-based, nor state-created” and authority is defined as “institutionalized forms or expressions of power” that are legitimate in the sense that “there is some form of normative, un-coerced consent or recognition of authority on the part of the regulated or governed.”[3]
Menurut Green (2014) private authority adalah,
“situations in which non-state actors make rules or set standards to which other relevant actors defer.” (This is distinct from lobbying states or influencing public opinion).
Dijelaskan bahwa disebut private authority apabila aktor non negara membuat aturan atau menetapkan standard. Penetapan aturan tersebut dapat mempengaruhi atau menghambat kebijakan aktor lain termasuk state. Teori state centric mengatakan bahwa negara sebagai pengendali kekuasaan yang utama dan dominan. Dan seiring dengan perkembangan globalisasi teori tersebut terbantahkan dengan munculnya aktor-aktor dominan lainnya yang memiliki kekuasaan dan kedaulatan sendiri (private authority). Aktor-aktor tersebut diantaranya NGO, MNC, jaringan transnasional formal dan informal dari birokrat pemerintah, masyarakat umum (opini) hingga jaringan kriminal dan teroris internasional. Karakteristik dari pada private authority adalah berinteraksi dengan aktor negara atau aktor non state lainnya juga pemerintah, beroperasi untuk provit dan public goods, dapat mendukung atau melemahkan sistem negara.
Lalu bagaimana private authority muncul? private authority muncul karena
kegagalan dan krisis weberian institution.
Weberian institution menjelaskan
bahwa negara sebagai otoritas yang sah (legitimate
authority) dimana memiliki kekuasaan dan kedaulatan penuh sebagai pengambil
keputusan. Adanya kegaalan weberian
institution, menjadikan adannya absence
of legitimate dimana tidak adanya otoritas yang sah karena negara tidak
lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik.[4]
Akibatnya muncullah private authority.
Ketaatan kita terhadap private authority
dikarenakan private authority
memiliki keahlian (expertise) dan
kemampuan (capability) yang sesuai
dengan apa yang kita inginkan sehingga pada akhirnya memiliki otoritas terhadap
kita (legitimacy).[5]
Berbicara
mengenai otoritas, Lake (2003) menyatakan,
“Authority
exists in myriad forms at all levels of politics, including by states over
other states, by supranational entities, and by private actors. Authority is
not given or fixed, but is itself the product of politics.”[6]
Dikatakan bahwa otoritas ada dan muncul
di berbagai bentuk dan tingkatan dimana termasuk juga produk dari politik.
Peran private authority salah satunya
dapat dikaji melalui keberadaan multinational
corporation (MNC) dimana pada era globalisasi ini, MNC memiliki kewenangan
yang sangat besar dalam memgang ekonomi global. State tidak dapat memungkiri bahwa MNC membawa dampak ekonomi yang
sangat signifikan dan pada akhirnya mengarah kepada kontribusinya terhadap global governance.
Dinamika Perkembangan Status PT.
Shell Indonesia
Tahun 1885 menjadi awal
dimana perkembangan migas Indonesia mulai mencuat. Setelah berhasil
ditemukannya sumber minyak di Telaga Tunggal, lereng gunung Ciremai oleh salah satu
pengusaha bekebangsaan belanda yang bernama Jan Reerink, akhirnya banyak
mendorong pencarian besar-besaran di daera lain sehingga juga menciptakan usaha
untuk berproduksi di sektor perminyakan, pengolahan dan penyulingan minyak bumi
dan pemasarannya Hal tersebut pada akhirnya membuat banyak perusahaan
multinasional asing berlomba-lomba untuk masuk melakukan kegiatan usaha sektor
migas di Indonesia seperti misalnya Standard
Oil of New Jersey, Socony Vacuum (Standard Oil of New York), Standard Vacuum
Petroleum (STANVAC), California Texas Oil dan tentu saja The Royal Dutch Shell Group atau atau
saat ini dikenal sebagai “Shell”. [7]
Secara historis,
perjalanan Shell di Indonesia terbilang panjang mulai dari awal abad 20. Sumber
minyak bumi yang ditemukan di Sumatra Utara, Sumatra
Sealatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur menjadi awal kemunculan
perusahaan Shell di bidang produksi, penyulingan, transportasi dan pemasaran.
Royal Dutch untuk bagian produksi dan penyulingan, sementara Shell di bidang
transportasi dan pemasaran. Di tahun 1902, Shell dan Royal Dutch membentuk
perusahaan bersama untuk menangani pengiriman dan pemasaran dengan nama The Shell Transport and Royal Dutch Petroleum Co, Ltd. Dan
puncaknya pada 24 februari 1907, terbentuklah Royal Ducth / Shell Group of Companies yang kemudian dunia lebih
mengenalnya dengan Shell. Sebagai salah satu perusahaan multinasional terkemuka
dunia di industri migas.[8]
Lalu
bagaimana dinamika perkembangan status Shell di Indonesia sendiri? Sesuai
dengan UUD 1945 pasal 33 dimana mengemukakan bahwa “bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” sehingga negara
memiliki authority dan kedaulatan
penuh untuk mengelola sumber daya termasuk dalam sektor migas. Selanjutnya pada tahun 1963, dibentuknya UU No. 14 Tahun
1963 dimana menjelaskan mengenai status kedudukan Shell di Indonesia. Di dalam
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa daerah-daerah bekas konsesi korporasi
asing pertambangan di Indonesia, salah satu diantaranya Shell, dinyatakan
dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dimana segala usaha
pertambangan minyak dan gas bumi hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan
negara, kecuali apabila diperlukan pelaksanaan pekerjaan yang belum atau tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh negara maka dapat ditunjuk korporasi asing
sebagai kontraktor perusahaan negara.
Melalui UU No. 8 Tahun
1971, Pertamina digunakan sebagai perusahaan utama migas negara yang mengatur
segala macam bentuk pengelolaan migas di Indonesia. Dan beberapa perusahaan
asing termasuk Shell bekerja untuk Pertamina sebagai kontraktor dan dalam
bentuk production sharing contract.[9]
Degradasi State Authority : Dibentuknya UU
Migas No. 22 Tahun 2001
Dengan
berjalannya waktu, peminatan atau kebutuhan masyarakat akan bahan bakar minyak
makin bertambah. Hal tersebut membuat perusahaan pertamina sulit untuk memenuhi
permintaan dikarenakan alat-alat produksi yang terbatas untuk mengolah minyak.
Kemudian untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Keppres
No.31 Tahun 1997 tentang perusahaan minyak swasta.[10]
Dengan adanya peraturan tersebut pemerintah memberi izin kepada Pertamina untuk
membeli minyak pada perusahaan swasta tanpa mengubah peran pertamina yang
memonopoli Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Status tersebut membuat
Pertamina menjadi aktor monopoli utama sektor migas di Indonesia dan Shell
masih sebagai perusahaan multinational swasta
yang berperan sebagai salah satu produsen bagi Pertamina.
Berbagai tuntutan
kebutuhan pasar yang berlebihan pada akhirnya membuat state tidak lagi mampu
memberi yang terbaik, dalam arti negara memerlukan bantuan pemenuhan kebutuhan
migas melalui aktor lain. Di sini terlihat bahwa mulai tampak alasan kemunculan
private authority. Negara menjadi lebih bergantung pada aktor lain
seperti multinational corporation. Akhirnya pada
tahun 2001, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan
diberlakukannya UU ini menjadikan perusahaan swasta dengan mudah dan bebas
untuk melakukan pengolahan dan pemasaran minyak di Indonesia. Pertamina
tidaklah lagi menjadi regulator dan aktor tunggal dalam sektor migas di
Indonesia.[11]
Undang-undang ini yang menjadi pemicu awal untuk meliberalisasi di sektor minyak
dan gas bumi untuk membuat pasar yang lebih kompetitif. Dan sampai pada tahun
2005 silam, tercatat sebesar 105 perusahaan telah mendapat izin untuk
beroperasi, mengelola, dan memasarkan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) di
Indonesia termasuk PT. Shell Indonesia.
Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas
ini menunjukkan bahwa state authority mulai
terdegradasi dan tergantikan oleh private
authority. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan
tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain.
Aktor lain seperti multinational
corporation menjadi memiliki kekuatan dan kedaulatan tersendiri yang bahkan
di beberapa kasus lebih besar dari kekuatan negara. Dalam kasus ini,
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang tersebut menunjukkan terjadinya absence of legitimate yang ditandai
dengan ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan energi dan pemenuhan migas
sehingga menjadikan tidak adanya otoritas yang sah. Negara tidak lagi mampu
memberi jaminan atau memberi yang terbaik kepada rakyatnya sehingga memerlukan
bantuan dari private authority atau perusahaan
swasta lain seperti PT. Shell Indonesia.
Perdebatan: Dapatkah Private Authority
Berjalan Beriringan dengan Pendekatan State Centric (?)
Keberadaan otoritas memang mutlak diperlukan. Semua
kegiatan pemerintahan termasuk ekonomi hingga politik memerlukan dan
membutuhkan sistem pemerintahan yang menyediakan seperangkat aturan dan
prosedur yang sesuai. Lalu mengapa yang muncul adalah private authority?
Buthe (2004) mengemukakan tiga alasan. Pertama, dalam domain masalah
perekonomian saat ini, public authority atau otoritas publik belum
sepenuhnya ada sehingga menciptakan kekosongan yang dapat diisi oleh para
perusahaan swasta atau private authority. Kedua, dalam kondisi
perkembangan globalisasi dan kompleksitas teknologi, terdapat berbagai
kekurangan keahlian yang diperlukan sedangkan negara tidak berusaha untuk
memenuhi dan memberikan otoritas publik yang memadai sehingga kewenangan
beralih dan bergantung terhadap persahaan swasta. Ketiga, adanya
perubahan idiologi dimana munculnya ide-ide ekonomi liberal yang membuat ruang
terhadap private governance.[12]
Ketika dikembalikan terhadap pertanyaan apakah private
authority sendiri di dalam keberadaanya dapat berjalan beriringan dengan state
atau negara, maka penulis setuju terhadap pernyataan Hell & Bierstaker (2002)
yang menyatakan,
“Relations between
authorities are multifaceted and difficult to pin down -- and, indeed, the
privatization of specific jobs is now often promoted or welcomed by the state.”[13]
Dewasa ini, keberadaan private authority memang dianggap penting
dan tidak dapat dipungkiri konstribusinya. Bahkan state sendiri membuka pintu yang lebar untuk private authority seperti MNC untuk berkontribusi terhadap ekonomi
negara dan global seperti penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan,
perbaikan infrastruktur dan sebagainya. Auld (2012) juga menyatakan bahwa,
“Private
authority can provide functional improvements to existing regime complexes by
helping to overcome path dependencies that public authority may face.”[14]
Sekali lagi bahwa keberadaan private authority tidak dapat dipungkiri membawa kontribusi yang
baik dalam membantu mengisi kekosongan dan kekurangan yang dimiliki public authority maupun state.
Lalu
apakah yang terjadi? Manakah yang lebih dominan diantara keduanya? Bagi para
realis, yang memang ide dan pandangan mengenai state centricnya masih lah sangat kuat, keberadaan private authority dinilai membawa
ketakutan sendiri sehingga memposisikannya sebagai sebuah ancaman. Karena pada
kenyataannya private authority
memiliki power yang dapat
memungkinkan apa yang disebut governance
without government sekaligus mempengaruhi global governance. Namun pada saat ini, kemunculan new pattern of governance dimana
ditunjukkan dengan pola-pola governance yang
melibatkan sektor-sektor di luar negara seperti private authority. Perubahan state
domination governance menjadi global
governance dilakukan dengan cara adanya kontribusi dari non state aktor dimana keberadaan semua
aktor sangat dibutuhkan untuk mengatasi problematika lintas negara.
Penulis meyakini bahwa
yang terjadi adalah power sharing, not
power shifting. Jadi keberadaan private authority tidak menggeser
kekuasaan negara (power shifting) tapi
yang terjadi adalah adanya pembagian dari kekuasaan atau otoritas (power sharing) dimana negara mengakui
dan memberikan kesempatan kepada non
state actor untuk menjadi bagian dalam perubahan global. Tidak dapat
dipungkiri bahwa negara masih memiliki banyak kekurangan yang tidak dapat
dipenuhi sehingga disinilah peran non state actor masuk dan akan membantu
untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun walaupun demikian, state masih menjadi aktor dominan dalam
pengambilan segala keputusan. Hal tersebut sesuai pernyataan Ruggi (2004),
“There
is general consensus that states remain the most powerful decision-makers in
the global system, some clearly more so than others, but state power is being
transformed both by the intricate relationship between states, markets, and
various civil society associations.”[15]
Negara masih memiliki perannya untuk
pegambilan keputusan dan ia masih menjadi penjamin utama terhadap hak-hak milik
dan warga negara sehingga negara tidak serta merta menghilang otoritasnya namun
yang terjadi adalah sebuah transformasi otoritas. Hal tersebut menguatkan
asumsi bahwa keberadaan private authority
dengan berbagai kontribusinya dapat mendukung tanpa melemahkan sistem negara
itu sendiri.
Kesimpulan
Private
authority muncul karena terdegradasinya state authority dimana negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau
memberi yang terbaik. Kasus status PT. Shell Indonesia merupakan contoh kasus
yang menunjukkan terjadinya proses munculnya private authority. PT. Shell yang pada awalnya hanya menjadi back up dan kontraktor bagi perusahaan
tunggal dan utama migas Indonesia, yaitu Pertamina, seiring dengan perkembangan
globalisasi, berubah statusnya menjadi memiliki izin beroperasi secara bebas di
Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pandangan realis selama
ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena
globalisasi yang memunculkan aktor lain yang otoritasnya lebih berpengaruh
seperti multinational corporation
dalam hal ini adalah PT. Shell Indonesia. Keberadaan PT. Shell Indonesia menunjukkan
bahwa private authority dapat
berjalan beriringan dengan pendekatan state
centric sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan private authority mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu
sendiri.
References
Jurnal
:
Auld, Graeme dan Jessica F. Green. 2012. Unbundling the Regime Complex: The Effects
of Private Authority. Comparative Research in Law & Political Economy.
Research Paper No. 15/2012. Osgoode Hall Law School of York University.
Buthe, Tim. 2004.
Governance Through Private Authority : Non-state actors in World Politics.
Journal of international affairs, fall 2004, vol.58 no.1. © The Trustees of
Columbia University in the City of New York.
Cutler, Clair, Virginia Haufler and Tony Porter.
1999. Private Authority and International
Affair. State University of New York Press.
Driver, Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate Governance and Democracy.
Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England.
Hall, R.B. &
T.J. Biersteker.
2002. The Emergence of Private Authority in the International
System, in R.B.
Hall
and
T.J. Biersteker, ed., the Emergence of Private Authority
in Global Governance,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 3-22.
Lake, David A. 2013. Beyond Anarchy: Rule and Authority in the International System. San
Diego : University of California Diakses melalui http://www.normativeorders.net/en/component/content/article?id=2668:public-and-private-authority-in-global-governance
pada 3 Januari 2016.
Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia
pada Sektor Migas, Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
Ruggie, John Gerard. (2004). Reconstituting the
Global Public Domain: Issues, Actors, and Practices. Cambridge, MA: John F.
Kennedy School of Government, Harvard University.
Sabrina, meutia.
2013. Analisis Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia.
Media jurnal.
Lainnya:
Kuliah
Organisasi dan Bisnis dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq
Wardhani MA. Ph.D. pada 3 Desember 2015.
[1] Kuliah
Organisasi dan Bisnis dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq
Wardhani MA. Ph.D. pada 3 Desember 2015.
[2] Cutler,
Clair, Virginia Haufler and Tony Porter. 1999. Private Authority and International Affair. State University of New
York Press.
[3] Buthe,
Tim. 2004. Governance Through Private
Authority : Non-state actors in World Politics. Journal of international
affairs, fall 2004, vol.58 no.1. © The Trustees of Columbia University in the
City of New York
[4] Driver,
Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate
Governance and Democracy. Imperial College, University of London, England
and Open Unibersity, England
[5] Ibid.
[6] Lake,
David A. 2013. Beyond Anarchy: Rule and
Authority in the International System. San Diego : University of California
Diakses melalui http://www.normativeorders.net/en/component/content/article?id=2668:public-and-private-authority-in-global-governance pada 3
Januari 2016.
[7]
Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi
Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas,
Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
[8] Ibid.
[9]
Sabrina, meutia. 2013. Analisis Resiko Politik dalam Investasi
Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal.
[12] Ibid.
[13]
Hall, R.B. &
T.J. Biersteker.
2002. The Emergence of Private Authority in the International
System, in R.B.
Hall
and
T.J. Biersteker, ed., the Emergence of Private Authority
in Global Governance,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 3-22
[14] Auld,
Graeme dan Jessica F. Green. 2012. Unbundling
the Regime Complex: The Effects of Private Authority. Comparative Research
in Law & Political Economy. Research Paper No. 15/2012. Osgoode Hall Law
School of York University.
[15] Ruggie,
John Gerard. (2004). Reconstituting the Global Public Domain: Issues, Actors,
and Practices. Cambridge, MA: John F. Kennedy School of Government, Harvard
University.