My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Thursday, June 16

Kemunculan Private Authority : Studi Kasus PT. Shell Indonesia

Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya


LONG PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester (UAS) mata kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional (OBI)


ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai kemunculan private authority yang secara tidak langsung menunjukkan terjadinya kekosongan legitimasi dimana negara atau state tidak lagi dapat memberikan jaminan atau menjadi yang terbaik. Kemunculan private authority diakibatkan oleh weberian institution sehingga menjadikan adannya absence of legitimate. Kemunculannya dikaji melalui studi kasus multinational corporation PT. Shell di Indonesia. Perkembangan dan eksistensinya di Indonesia mengalami pasang surut problematika perubahan status mulai dari  PT. Shell yang pada awalnya hanya menjadi back up dan kontraktor bagi Pertamina hingga memiliki izin beroperasi secara bebas di Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas ini menunjukkan bahwa state authority mulai terdegradasi dan tergantikan oleh private authority. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa private authority dapat berjalan beriringan dengan pendekatan state centric dan keberadaannya mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.
Kata Kunci :   Private Authority, PT. Shell Indonesia, UU Migas.

Pendahuluan
               Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu komponen strategis bagi kondisi perekonomian indonesia dimana sumbangan sektor migas pada APBN negara mencapai 25 %. Oleh sebab itu pengelolaan migas menjadi salah satu komponen vital dan berpengaruh dalam mewujudkan ketahanan energi yang menjadi bagian dari ketahanan nasional. Negara sebagai aktor utama seharusya memiliki kekuasaan dan kekuatan kebijakan terbesar. Termasuk kepada kebijakan-kebijakan seputar pengelolaan enegri dalam negeri. Namun seiring berkembanganya globalisasi, kekuasaan bergeser kepada aktor lain yaitu para pemiliki modal besar misalnya. Terdegradasinya state authority kepada private authority menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dibahas.
               Pasalnya kemunculan private authority secara tidak langsung dapat menunjukkan bahwa terjadi kekosongan legitimasi dimana suatu negara dirasa tidak mampu menberi jaminan atau menjadi yang terbaik.[1] Selain itu hal tersebut juga mamatahkan paham terhadap teori hubungan internasional yang selama beberapa dekade didominasi oleh pandangan bahwa state menjadi aktor yang memiliki otoritas dan legitimasi tertinggi pada global civil society. Lahirnya aktor-aktor baru menjadikan paham realis ini semakin melemah karena kemunculan private authority sebagai manifestasi kelahiran non state actor menjadi titik dimana state kemudian harus berbenah karena akan muncul berbagai permasalahan termasuk can private authority be reconciles with the state-centric approaches that dominate the discipline of international relation? Dan lebih lanjut, can state goes hand by hand with it?
                    Dengan mengambil problematika salah satu aktor multinasional corporation terbesar di industri migas yaitu PT. Shell Indonesia, paper ini berusaha menjelaskan mengenai bagaimana private authority bisa terbentuk? Dan apakah private authority tersebut menguatkan atau justru melemahkan kebijakan negara? Thesis stement yang dibangun adalah bahwa otoritas PT. Shell Indonesia muncul dengan kuat seiring dengan melemahnya kemampuan negara memenuhi kebutuhan di sektor migas, ditandai dengan munculnya UU Migas No. 22 Tahun 2001. Dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa private authority dapat menguatkan dan mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.

Private Authority dan Eksistensinya
               Sebelum melangkah lebih jauh mengenai studi kasus yang ada, ada baiknya kita sedikit lebih memperdalam mengenai apa itu private authority dan bagaimana private authority bisa terbentuk. Cutler, Haufler and Porter (1999) mengungkapkan, 
“authority involves a surrendering of individual judgement, an acceptance of its dictates based not on the merits of any particular pronouncement but on a belief in the rightness of the authority itself.”[2]
Sedangkan berbicara tentang private, Buthe (2004) mengungkapkan,
“Private is defined as “neither states, state-based, nor state-created” and authority is defined as “institutionalized forms or expressions of power” that are legitimate in the sense that “there is some form of normative, un-coerced consent or recognition of authority on the part of the regulated or governed.”[3]
Menurut Green (2014) private authority adalah, 
situations in which non-state actors make rules or set standards to which other relevant actors defer.(This is distinct from lobbying states or influencing public opinion).
Dijelaskan bahwa disebut private authority apabila aktor non negara membuat aturan atau menetapkan standard. Penetapan aturan tersebut dapat mempengaruhi atau menghambat kebijakan aktor lain termasuk state. Teori state centric mengatakan bahwa negara sebagai pengendali kekuasaan yang utama dan dominan. Dan seiring dengan perkembangan globalisasi teori tersebut terbantahkan dengan munculnya aktor-aktor dominan lainnya yang memiliki kekuasaan dan kedaulatan sendiri (private authority). Aktor-aktor tersebut diantaranya NGO, MNC, jaringan transnasional formal dan informal dari birokrat pemerintah, masyarakat umum (opini) hingga jaringan kriminal dan teroris internasional. Karakteristik dari pada private authority  adalah berinteraksi dengan aktor negara atau aktor non state lainnya juga pemerintah, beroperasi untuk provit dan public goods, dapat mendukung atau melemahkan sistem negara. 
               Lalu bagaimana private authority muncul? private authority muncul karena kegagalan dan krisis weberian institution. Weberian institution menjelaskan bahwa negara sebagai otoritas yang sah (legitimate authority) dimana memiliki kekuasaan dan kedaulatan penuh sebagai pengambil keputusan. Adanya kegaalan weberian institution, menjadikan adannya absence of legitimate dimana tidak adanya otoritas yang sah karena negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik.[4] Akibatnya muncullah private authority. Ketaatan kita terhadap private authority dikarenakan private authority memiliki keahlian (expertise) dan kemampuan (capability) yang sesuai dengan apa yang kita inginkan sehingga pada akhirnya memiliki otoritas terhadap kita (legitimacy).[5]
            Berbicara mengenai otoritas, Lake (2003) menyatakan,
“Authority exists in myriad forms at all levels of politics, including by states over other states, by supranational entities, and by private actors. Authority is not given or fixed, but is itself the product of politics.”[6]
Dikatakan bahwa otoritas ada dan muncul di berbagai bentuk dan tingkatan dimana termasuk juga produk dari politik. Peran private authority salah satunya dapat dikaji melalui keberadaan multinational corporation (MNC) dimana pada era globalisasi ini, MNC memiliki kewenangan yang sangat besar dalam memgang ekonomi global. State tidak dapat memungkiri bahwa MNC membawa dampak ekonomi yang sangat signifikan dan pada akhirnya mengarah kepada kontribusinya terhadap global governance.

Dinamika Perkembangan Status PT. Shell Indonesia
Tahun 1885 menjadi awal dimana perkembangan migas Indonesia mulai mencuat. Setelah berhasil ditemukannya sumber minyak di Telaga Tunggal, lereng gunung Ciremai oleh salah satu pengusaha bekebangsaan belanda yang bernama Jan Reerink, akhirnya banyak mendorong pencarian besar-besaran di daera lain sehingga juga menciptakan usaha untuk berproduksi di sektor perminyakan, pengolahan dan penyulingan minyak bumi dan pemasarannya Hal tersebut pada akhirnya membuat banyak perusahaan multinasional asing berlomba-lomba untuk masuk melakukan kegiatan usaha sektor migas di Indonesia seperti misalnya Standard Oil of New Jersey, Socony Vacuum (Standard Oil of New York), Standard Vacuum Petroleum (STANVAC), California Texas Oil dan tentu saja The Royal Dutch Shell Group atau atau saat ini dikenal sebagai “Shell”. [7]
Secara historis, perjalanan Shell di Indonesia terbilang panjang mulai dari awal abad 20. Sumber minyak bumi yang ditemukan di Sumatra Utara, Sumatra Sealatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur menjadi awal kemunculan perusahaan Shell di bidang produksi, penyulingan, transportasi dan pemasaran. Royal Dutch untuk bagian produksi dan penyulingan, sementara Shell di bidang transportasi dan pemasaran. Di tahun 1902, Shell dan Royal Dutch membentuk perusahaan bersama untuk menangani pengiriman dan pemasaran dengan nama The Shell Transport and Royal Dutch Petroleum Co, Ltd. Dan puncaknya pada 24 februari 1907, terbentuklah Royal Ducth / Shell Group of Companies yang kemudian dunia lebih mengenalnya dengan Shell. Sebagai salah satu perusahaan multinasional terkemuka dunia di industri migas.[8]
Lalu bagaimana dinamika perkembangan status Shell di Indonesia sendiri? Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 dimana mengemukakan bahwa “bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” sehingga negara memiliki authority dan kedaulatan penuh untuk mengelola sumber daya termasuk dalam sektor migas. Selanjutnya pada tahun 1963, dibentuknya UU No. 14 Tahun 1963 dimana menjelaskan mengenai status kedudukan Shell di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa daerah-daerah bekas konsesi korporasi asing pertambangan di Indonesia, salah satu diantaranya Shell, dinyatakan dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dimana segala usaha pertambangan minyak dan gas bumi hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara, kecuali apabila diperlukan pelaksanaan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh negara maka dapat ditunjuk korporasi asing sebagai kontraktor perusahaan negara.
Melalui UU No. 8 Tahun 1971, Pertamina digunakan sebagai perusahaan utama migas negara yang mengatur segala macam bentuk pengelolaan migas di Indonesia. Dan beberapa perusahaan asing termasuk Shell bekerja untuk Pertamina sebagai kontraktor dan dalam bentuk production sharing contract.[9]
           
Degradasi State Authority : Dibentuknya UU Migas No. 22 Tahun 2001
            Dengan berjalannya waktu, peminatan atau kebutuhan masyarakat akan bahan bakar minyak makin bertambah. Hal tersebut membuat perusahaan pertamina sulit untuk memenuhi permintaan dikarenakan alat-alat produksi yang terbatas untuk mengolah minyak. Kemudian untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Keppres No.31 Tahun 1997 tentang perusahaan minyak swasta.[10] Dengan adanya peraturan tersebut pemerintah memberi izin kepada Pertamina untuk membeli minyak pada perusahaan swasta tanpa mengubah peran pertamina yang memonopoli Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Status tersebut membuat Pertamina menjadi aktor monopoli utama sektor migas di Indonesia dan Shell masih sebagai perusahaan multinational swasta yang berperan sebagai salah satu produsen bagi Pertamina.
            Berbagai tuntutan kebutuhan pasar yang berlebihan pada akhirnya membuat state tidak lagi mampu memberi yang terbaik, dalam arti negara memerlukan bantuan pemenuhan kebutuhan migas melalui aktor lain. Di sini terlihat bahwa mulai tampak alasan kemunculan private authority. Negara menjadi lebih bergantung pada aktor lain seperti multinational corporation. Akhirnya pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan diberlakukannya UU ini menjadikan perusahaan swasta dengan mudah dan bebas untuk melakukan pengolahan dan pemasaran minyak di Indonesia. Pertamina tidaklah lagi menjadi regulator dan aktor tunggal dalam sektor migas di Indonesia.[11] Undang-undang ini yang menjadi pemicu awal untuk meliberalisasi di sektor minyak dan gas bumi untuk membuat pasar yang lebih kompetitif. Dan sampai pada tahun 2005 silam, tercatat sebesar 105 perusahaan telah mendapat izin untuk beroperasi, mengelola, dan memasarkan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia termasuk PT. Shell Indonesia.
            Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas ini menunjukkan bahwa state authority mulai terdegradasi dan tergantikan oleh private authority. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain. Aktor lain seperti multinational corporation menjadi memiliki kekuatan dan kedaulatan tersendiri yang bahkan di beberapa kasus lebih besar dari kekuatan negara. Dalam kasus ini, diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang tersebut menunjukkan terjadinya absence of legitimate yang ditandai dengan ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan energi dan pemenuhan migas sehingga menjadikan tidak adanya otoritas yang sah. Negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik kepada rakyatnya sehingga memerlukan bantuan dari private authority atau perusahaan swasta lain seperti PT. Shell Indonesia.
             
Perdebatan: Dapatkah Private Authority Berjalan Beriringan dengan Pendekatan State Centric (?)
            Keberadaan otoritas memang mutlak diperlukan. Semua kegiatan pemerintahan termasuk ekonomi hingga politik memerlukan dan membutuhkan sistem pemerintahan yang menyediakan seperangkat aturan dan prosedur yang sesuai. Lalu mengapa yang muncul adalah private authority? Buthe (2004) mengemukakan tiga alasan. Pertama, dalam domain masalah perekonomian saat ini, public authority atau otoritas publik belum sepenuhnya ada sehingga menciptakan kekosongan yang dapat diisi oleh para perusahaan swasta atau private authority. Kedua, dalam kondisi perkembangan globalisasi dan kompleksitas teknologi, terdapat berbagai kekurangan keahlian yang diperlukan sedangkan negara tidak berusaha untuk memenuhi dan memberikan otoritas publik yang memadai sehingga kewenangan beralih dan bergantung terhadap persahaan swasta. Ketiga, adanya perubahan idiologi dimana munculnya ide-ide ekonomi liberal yang membuat ruang terhadap private governance.[12]
            Ketika dikembalikan terhadap pertanyaan apakah private authority sendiri di dalam keberadaanya dapat berjalan beriringan dengan state atau negara, maka penulis setuju terhadap pernyataan Hell & Bierstaker (2002) yang menyatakan,
“Relations between authorities are multifaceted and difficult to pin down -- and, indeed, the privatization of specific jobs is now often promoted or welcomed by the state.”[13]
Dewasa ini, keberadaan private authority memang dianggap penting dan tidak dapat dipungkiri konstribusinya. Bahkan state sendiri membuka pintu yang lebar untuk private authority seperti MNC untuk berkontribusi terhadap ekonomi negara dan global seperti penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan, perbaikan infrastruktur dan sebagainya. Auld (2012) juga menyatakan bahwa,
“Private authority can provide functional improvements to existing regime complexes by helping to overcome path dependencies that public authority may face.”[14]
Sekali lagi bahwa keberadaan private authority  tidak dapat dipungkiri membawa kontribusi yang baik dalam membantu mengisi kekosongan dan kekurangan yang dimiliki public authority maupun state.
            Lalu apakah yang terjadi? Manakah yang lebih dominan diantara keduanya? Bagi para realis, yang memang ide dan pandangan mengenai state centricnya masih lah sangat kuat, keberadaan private authority dinilai membawa ketakutan sendiri sehingga memposisikannya sebagai sebuah ancaman. Karena pada kenyataannya private authority memiliki power yang dapat memungkinkan apa yang disebut governance without government sekaligus mempengaruhi global governance. Namun pada saat ini, kemunculan new pattern of governance dimana ditunjukkan dengan pola-pola governance yang melibatkan sektor-sektor di luar negara seperti private authority. Perubahan state domination governance menjadi global governance dilakukan dengan cara adanya kontribusi dari non state aktor dimana keberadaan semua aktor sangat dibutuhkan untuk mengatasi problematika lintas negara.
Penulis meyakini bahwa yang terjadi adalah power sharing, not power shifting.  Jadi keberadaan private authority tidak menggeser kekuasaan negara (power shifting) tapi yang terjadi adalah adanya pembagian dari kekuasaan atau otoritas (power sharing) dimana negara mengakui dan memberikan kesempatan kepada non state actor untuk menjadi bagian dalam perubahan global. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara masih memiliki banyak kekurangan yang tidak dapat dipenuhi sehingga disinilah peran  non state actor masuk dan akan membantu untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun walaupun demikian, state masih menjadi aktor dominan dalam pengambilan segala keputusan. Hal tersebut sesuai pernyataan Ruggi (2004),
“There is general consensus that states remain the most powerful decision-makers in the global system, some clearly more so than others, but state power is being transformed both by the intricate relationship between states, markets, and various civil society associations.”[15]
Negara masih memiliki perannya untuk pegambilan keputusan dan ia masih menjadi penjamin utama terhadap hak-hak milik dan warga negara sehingga negara tidak serta merta menghilang otoritasnya namun yang terjadi adalah sebuah transformasi otoritas. Hal tersebut menguatkan asumsi bahwa keberadaan private authority dengan berbagai kontribusinya dapat mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.

Kesimpulan
            Private authority muncul karena terdegradasinya state authority dimana negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik. Kasus status PT. Shell Indonesia merupakan contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses munculnya private authority. PT. Shell yang pada awalnya hanya menjadi back up dan kontraktor bagi perusahaan tunggal dan utama migas Indonesia, yaitu Pertamina, seiring dengan perkembangan globalisasi, berubah statusnya menjadi memiliki izin beroperasi secara bebas di Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain yang otoritasnya lebih berpengaruh seperti multinational corporation dalam hal ini adalah PT. Shell Indonesia. Keberadaan PT. Shell Indonesia menunjukkan bahwa private authority dapat berjalan beriringan dengan pendekatan state centric sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan private authority mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.




References
Jurnal :
Auld, Graeme dan Jessica F. Green. 2012. Unbundling the Regime Complex: The Effects of Private Authority. Comparative Research in Law & Political Economy. Research Paper No. 15/2012. Osgoode Hall Law School of York University.
Buthe, Tim. 2004. Governance Through Private Authority : Non-state actors in World Politics. Journal of international affairs, fall 2004, vol.58 no.1. © The Trustees of Columbia University in the City of New York.
Cutler, Clair, Virginia Haufler and Tony Porter. 1999. Private Authority and International Affair. State University of New York Press.
Driver, Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate Governance and Democracy. Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England.
Hall, R.B. & T.J. Biersteker. 2002. The Emergence of Private Authority in the International System, in R.B. Hall and T.J. Biersteker, ed., the Emergence of Private Authority in Global Governance, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 3-22.
Lake, David A. 2013. Beyond Anarchy: Rule and Authority in the International System. San Diego : University of California Diakses melalui http://www.normativeorders.net/en/component/content/article?id=2668:public-and-private-authority-in-global-governance pada 3 Januari 2016.
Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas, Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
Ruggie, John Gerard. (2004). Reconstituting the Global Public Domain: Issues, Actors, and Practices. Cambridge, MA: John F. Kennedy School of Government, Harvard University.
Sabrina, meutia. 2013.  Analisis Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal.


Lainnya:
UU No. 22 Tahun 2001 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
Keppres No.31 Tahun 1997 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
Kuliah Organisasi dan Bisnis dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D. pada 3 Desember 2015.



[1] Kuliah Organisasi dan Bisnis dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D. pada 3 Desember 2015.
[2] Cutler, Clair, Virginia Haufler and Tony Porter. 1999. Private Authority and International Affair. State University of New York Press.
[3] Buthe, Tim. 2004. Governance Through Private Authority : Non-state actors in World Politics. Journal of international affairs, fall 2004, vol.58 no.1. © The Trustees of Columbia University in the City of New York
[4] Driver, Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate Governance and Democracy. Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England
[5] Ibid.
[6] Lake, David A. 2013. Beyond Anarchy: Rule and Authority in the International System. San Diego : University of California Diakses melalui http://www.normativeorders.net/en/component/content/article?id=2668:public-and-private-authority-in-global-governance pada 3 Januari 2016.
[7] Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas, Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
[8] Ibid.
[9] Sabrina, meutia. 2013.  Analisis Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal.
[10] Keppres No.31 Tahun 1997 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
[11] UU No. 22 Tahun 2001 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
[12] Ibid.
[13] Hall, R.B. & T.J. Biersteker. 2002. The Emergence of Private Authority in the International System, in R.B. Hall and T.J. Biersteker, ed., the Emergence of Private Authority in Global Governance, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 3-22
[14] Auld, Graeme dan Jessica F. Green. 2012. Unbundling the Regime Complex: The Effects of Private Authority. Comparative Research in Law & Political Economy. Research Paper No. 15/2012. Osgoode Hall Law School of York University.
[15] Ruggie, John Gerard. (2004). Reconstituting the Global Public Domain: Issues, Actors, and Practices. Cambridge, MA: John F. Kennedy School of Government, Harvard University.

The Effectiveness of the United Nations: Lesson from Somalia’s Case

Mata Kuliah    : ORGANISASI BISNIS INTERNASIONAL
Tanggal                       : 22 Oktober 2015

Kasus intervensi kemanusiaan menjadi salah satu kajian yang menarik untuk mengupas seberapa efektif dan akuntabel organisasi internasional seperti PBB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Paper ini mencoba menjelaskan mengenai efektifitas PBB dalam menyelesaikan kasus kemanusiaan di Somalia dimana dalam menjalankan tugasnya, PBB sebagai organisasi internasional menjadi aktor utama dalam merepresentasikan pemikiran tidak hanya negara anggotanya namun juga dunia internasional. PBB sebagai organisasi internasional memiliki legalitas dan legitimasi mengenai intervensi kemanusiaan dimana muncul pada tahun 1990an berdasarkan hukum internasional dan piagam PBB Bab VII, yaitu dunia internasional melalui Dewan Keamanan PBB berhak melakukan intervensi apabila terjadi pelangaran HAM yang berat di suatu negara atau kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.[1] Melalui studi kasus Somalia dapat dianalisis tindakan dan kegagalan yang dilakukan PBB sehingga menjadi pelajaran yang pasti untuk ke depannya yaitu bagaimana membuat organisasi internasional yang lebih efektif dan akuntabel. Stadi kasus Somalia merupakan salah satu contoh kegagalan PBB sebagai organisasi internasional. Mengapa PBB terkesan kurang efektif dalam melaksanakan tugasnya di kasus Somalia? Thesis statement yang coba dibangun penulis adalah bahwa kurang efektifnya intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB dikarenakan kurang sigapnya PBB dalam membuat keputusan di konflik Somalia dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan negara-negara besar.      



Conflict in Somalia
            Secara geografis, negara Somalia merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dan termasuk merupakan negara yang masih terbelakang. Tinggiya tingkat kemiskinan dan less development membuat Somalia menjadi negara yang rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Konflik yang terjadi di Somalia bisa dikatakan berasal dari warisan kolonialisme Inggris dan Italia dimana mereka berdua berusaha mengkontruksi identitas etnis kolonial tersebut. Jika dilihat sejarahnya, wilayah somalia terbagi-bagi menurut wilayah kependudukan penjajahan. British Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang dulunya dikuasai Italia, dipersatukan dan digabung membentuk Republik Somalia.[2] Dari sana mulai muncul pergerakan-pergerakan etnis yang menuntut hak atas kependudukan wilayah sehingga memicu berbagai konflik di Somalia.
            Konflik mulai meruncing ketika Presiden Siad Barre jatuh dari kepemimpinannya pada bulan Januari 1991. Presiden Siad Barre merupakan presiden yang dikenal dengan kepemimpinan dan kebijakannya yang scientific socialism dimana bertujuan untuk menghapuskan clanism dalam memperkuat politik berdasarkan pada kelompok-kelompok. Di dalam masa pemerintahannya Somalia menjadi negara yang memiliki tingkat korupsi pemerintah yang tinggi, absensi legitimasi terhadap pemerintah, banyaknya pelanggaran HAM, perang sipil, serta hilangnya legitimasi hukum.[3] Pasca digulingkannya pemerintahaan presiden Siad, pergolakan dan perang antar klan masih terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan fasilitas umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi agrikultur sehingga menyebabkan krisis pangan. Puluhan ribu warga sipil Somalia berjatuhan dan ribuan lainnya mengungsi dan melarikan diri keluar negeri dan negara-negara tetangganya.[4]
           
United Nations’s Action in Humanitarian Intervention
Konflik panjang yang terjadi menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan di Somalia sehingga Somalia kehilangan kontrol substansial negaranya. Hal tersebut membuat timbulnya perhatian-perhatian dari dunia internasional termasuk negara tetangganya seperti Ethiopia dan Kenya, negara besar seperti AS hingga organisasi internasional seperti PBB. Lalu bagaimana PBB ikut andil dalam intervensi kemanusiaan di Somalia ini? Kontribusi PBB dapat diperinci sebagai berikut:[5]
a.       UNOSOM I (United nations Operation in Somalia)
Pada awalnya PBB memberikan mandat melalui UNOSOM I (United nations Operation in Somalia) yang diturunkan pada April 1992 untuk memberikan dan mendistribusikan bahan pangan. Namun operasi ini gagal karena 3000 pasukan yang dikirimkan tidak berhasil mendistribusikan bahan pangan sehingga membusuk.
b.      UNITAF (Unified Task Force)
Setelah kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin pasukan intervensi. Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 794 dengan otorisasi dan mandat “all necessary means to establish as soon as possible a secure environment for humanitarian relief operations in Somalia[6]. Kontribusi AS dikenal dengan UNITAF (Unified Task Force) yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah Piagam PBB Bab VII.[7] Di dalam pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang mengutamakan force di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara serta elemen-elemen militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya intervensi sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap misi-misi PBB yang baru.[8]
c.       UNOSOM II
UNOSOM II diturunkan pada Maret 1993 sebagai pengganti sekaligus fase kedua dari intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas meneruskan yang dimulai oleh UNITAF untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Somalia. Mandat baru ini juga akan memberdayakan UNOSOM II untuk membantu rakyat Somalia dalam membangun kembali kehidupan ekonomi, politik dan sosial mereka, melalui pencapaian rekonsiliasi nasional untuk menciptakan suatu Negara Somalia yang demokratis. Misi PBB melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan Keamanan melalui Resolusi 814 pada 26 Maret 1993. Namun pengambil alihan operasi tersebut belum secara resmi ditetapkan hingga UNITAF dibubarkan pada 4 Mei 1993. UNISOM II memiliki kekuatan hingga 28.000 personil mencakup 22.000 tentara dan 8.000 logistik dan staf sipil dari berbagai negara.[9]
 
Evaluation and Challanges for United Nations as IGO
            Terdapat masing-masing poin yang harus ditekankan dalam aksi PBB terkait contoh studi kasus intervensi kemanusiaan di atas yang bisa kita analisis sebagai bahan evalusi kinerja serta efektifitas PBB dalam menjalankan misi dan visinya menjaga perdamaian dan kestabilan dunia. Pertama dalam kasus Somalia, PBB menjadi aktor utama dalam menyelenggarakan operasi-operasi peacekeeping dan peacebuilding serta memberikan izin maupun mandat melalui resolusi-resolusinya. Dalam operasi UNISOM I, PBB mengalami kegagalan di sektor pendistribusian makanan. Dikatakan bahwa,
“Deployment of UNOSOM I was slow and chronic lawlessness prevented aid from being distributed.”[10]
Dari sana dapat kita lihat bahwa kegagalan PBB adalah karena tindakan mereka yang cenderung lamban. Dikatakan juga bahwa,
“The complete failure of the Somali state had made it impossible for relief workers to safely distribute aid to those in need and thus food was often left to rot in the Port of Mogadishu”[11]

“..the hunger crisis in Somalia was not a result of a lack of food, but rather a lack of access to food.”[12]
Memang hal kecil seperti pendistribusian makanan terdengar hal yang simple dan mudah dilakukan, namun dalam kondisi di tengah-tengah konflik, ternyata organisasi besar seperti PBB nyatanya belum mampu melaksanakan secara maksimal sehingga mengakibatkan hal besar seperti krisis pangan dan kelaparan.
Memperbaiki kegagalannya, PBB akhirnya mengeluarkan mandat untuk menjadikan AS pemimpin bagi misi operasi lainnya di Somalia yaitu UNITAF. PBB menyadari betul kesalahannya dan mengambil tindakan tepat dengan mengalihkan misi operasi melalui AS. Namun salah satu critical tulisan menyebutkan dan mempertanyakan benar dan sudah tepatkah tindakan PBB mengalihkan kekuasaan kepada AS? Kenapa semudah itu?
Beberapa percaya bahwa AS memiliki self interest atas intervensinya di Somalia dimana seharusnya PBB lebih bisa menganalis dan tidak gegabah dalam memberikan mandat. Disebutkan bahwa,
“..If the American people are to say yes to UN peacekeeping, the United
Nations must know when to say no.”[13]
PBB merupakan organisasi internasional terbesar dan merepresentasikan pemikiran negara-negara maupun masyarakat internasional. Dan tidak seharusnya PBB dengan mudah tunduk terhadap negara lain walaupun negara tersebut memiliki pengaruh dan power yang besar seperti AS. PBB harus bisa menganalisis dan berani untuk berkata ‘tidak’ terhadap apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran dunia internasional.
Lalu tantangan seperti apa yang dihadapi PBB saat ini dan di masa yang akan datang? Berdasarkan studi kasus yang dipaparkan, dapat terlihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi PBB adalah kurang sigapnya aksi PBB terkait intervensi kemanusiaan. Dalam kasus di Somalia, PBB cenderung lamban dan acuh terhadap permasalahan dan konflik yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Penulis menaganlisis bahwa terdapat banyak alasan namun satu hal yang panting, permasalahan tersebut diakibatkan kurang seragamnya kepentingan politik negara-negara anggota PBB. Terlebih lagi, kekuatan keputusan PBB terletak pada negara-negara besar seperti AS dan Perancis misalnya. Dikatakan bahwa,
“The UN made the great powers permanent member of the Security Council and gave them the ability to veto any action implemented by the Council”[14]
Dalam beberapa aksi intervensi kemanusiaan, negara besar seperti AS banyak memegang kendali termasuk intervensi di Somalia. Padahal, belum tentu intervensi yang mereka lakukan murni atas dasar norma dan nilai kemanusiaan. Bahkan di kasus Somalia, perdebatan mengenai motif sebenarnya atas intervensi muncul.
            Dari sana dapat terjawab pertanyaaan dapatkah suatu organisasi internasional bersifat demokratis? Dimana keputusan-keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh satu negara tertentu. Misalnya saja seperti negera super power AS. Penulis setuju bahwa organisasi internasional tidak bisa bersifat demokratis. Hal tersebut dikarenakan organisasi internasional terdiri dari sistem tawar birokrasi yang banyak dari para anggotanya yang memiliki beragam kepentingan. Roberd Dahl (1999) memperkuat pernyataan serupa dengan mengemukakan,
“IOs may pursue important goals, but its bureacratic character, remoteness, and lack of participation by ordinary citizens invariably undermine democratic accountability”[15]
Kurangnya partisipasi anggota juga dapat menjadikan lemahnya demokrasi. Terlepas dari itu, alasan lain adanya defisit demokrasi ini adalah karena negara yang tergabung dalam organisasi internasional itu sendiri masih banyak yang tidak bersifat demokrastis.

Conclusion :
Studi kasus intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata kurang efektifnya PBB sebagai salah satu organisasi internasional dalam menjalankan tugasnya. Dalam beberapa kasus PBB mungkin mampu memperlihatkan kinerja baiknya namun tidak dikasus Somalia ini. Kurang efektifnya intervensi tersebut dapat dilihat dari banyaknya korban jiwa, kegagalan di beberapa misi, juga permaslahan yang terjadi berlarut-larut. Hal itu dikarenakan kurang sigapnya PBB dalam membuat keputusan di konflik Somalia dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan negara-negara besar. Cerminan tersebut memperkuat asumsi bahwa organisasi internasional tidak bersifat demokratis dikarenakan organisasi internasional terdiri dari sistem tawar birokrasi yang banyak dari para anggotanya yang memiliki beragam kepentingan. Selain itu juga disebabkan kurangnya partisipasi anggota dan karena negara yang tergabung dalam organisasi internasional itu sendiri masih banyak yang tidak bersifat demokrastis.












Referensi :
[1] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
2 Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis Kemanusiaan di Somalia. Diakses dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html>  pada 21 Oktober 2015.
3 Ibid.
[1] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html > pada 21 Oktober 2015.
4 Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
5 United nations Operation in Somalia II. Diakses kembali secara online melalui < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 21 Oktober 2015.
6 Ibid.
7 Unified 8Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> 21 Oktober 2015
8 Ibid.
9 Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
10 White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[1]1 Ibid.   
[1]2 Ibid.
[1]3 Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
[1]4 Dahl, Robert A. 1999. Can International Organization be Democratic? A Skeptic’s View, in Ian Shapiro and C. Hacker-Cordon, Democracys Edges, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 19-36.



[1] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
[2] Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis Kemanusiaan di Somalia. Diakses dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html>  pada 21 Oktober 2015.
[3] Ibid.
[4] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html > pada 21 Oktober 2015.
[5] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[6] United nations Operation in Somalia II. Diakses kembali secara online melalui < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 21 Oktober 2015.
[7] Ibid.
[8] Unified Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> 21 Oktober 2015
[9] Ibid.
[10] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[11] White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[12] Ibid.        
[13] Ibid.
[14] Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
[15] Dahl, Robert A. 1999. Can International Organization be Democratic? A Skeptic’s View, in Ian Shapiro and C. Hacker-Cordon, Democracys Edges, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 19-36.