My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Thursday, June 16

The Effectiveness of the United Nations: Lesson from Somalia’s Case

Mata Kuliah    : ORGANISASI BISNIS INTERNASIONAL
Tanggal                       : 22 Oktober 2015

Kasus intervensi kemanusiaan menjadi salah satu kajian yang menarik untuk mengupas seberapa efektif dan akuntabel organisasi internasional seperti PBB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Paper ini mencoba menjelaskan mengenai efektifitas PBB dalam menyelesaikan kasus kemanusiaan di Somalia dimana dalam menjalankan tugasnya, PBB sebagai organisasi internasional menjadi aktor utama dalam merepresentasikan pemikiran tidak hanya negara anggotanya namun juga dunia internasional. PBB sebagai organisasi internasional memiliki legalitas dan legitimasi mengenai intervensi kemanusiaan dimana muncul pada tahun 1990an berdasarkan hukum internasional dan piagam PBB Bab VII, yaitu dunia internasional melalui Dewan Keamanan PBB berhak melakukan intervensi apabila terjadi pelangaran HAM yang berat di suatu negara atau kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.[1] Melalui studi kasus Somalia dapat dianalisis tindakan dan kegagalan yang dilakukan PBB sehingga menjadi pelajaran yang pasti untuk ke depannya yaitu bagaimana membuat organisasi internasional yang lebih efektif dan akuntabel. Stadi kasus Somalia merupakan salah satu contoh kegagalan PBB sebagai organisasi internasional. Mengapa PBB terkesan kurang efektif dalam melaksanakan tugasnya di kasus Somalia? Thesis statement yang coba dibangun penulis adalah bahwa kurang efektifnya intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB dikarenakan kurang sigapnya PBB dalam membuat keputusan di konflik Somalia dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan negara-negara besar.      



Conflict in Somalia
            Secara geografis, negara Somalia merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dan termasuk merupakan negara yang masih terbelakang. Tinggiya tingkat kemiskinan dan less development membuat Somalia menjadi negara yang rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Konflik yang terjadi di Somalia bisa dikatakan berasal dari warisan kolonialisme Inggris dan Italia dimana mereka berdua berusaha mengkontruksi identitas etnis kolonial tersebut. Jika dilihat sejarahnya, wilayah somalia terbagi-bagi menurut wilayah kependudukan penjajahan. British Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang dulunya dikuasai Italia, dipersatukan dan digabung membentuk Republik Somalia.[2] Dari sana mulai muncul pergerakan-pergerakan etnis yang menuntut hak atas kependudukan wilayah sehingga memicu berbagai konflik di Somalia.
            Konflik mulai meruncing ketika Presiden Siad Barre jatuh dari kepemimpinannya pada bulan Januari 1991. Presiden Siad Barre merupakan presiden yang dikenal dengan kepemimpinan dan kebijakannya yang scientific socialism dimana bertujuan untuk menghapuskan clanism dalam memperkuat politik berdasarkan pada kelompok-kelompok. Di dalam masa pemerintahannya Somalia menjadi negara yang memiliki tingkat korupsi pemerintah yang tinggi, absensi legitimasi terhadap pemerintah, banyaknya pelanggaran HAM, perang sipil, serta hilangnya legitimasi hukum.[3] Pasca digulingkannya pemerintahaan presiden Siad, pergolakan dan perang antar klan masih terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan fasilitas umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi agrikultur sehingga menyebabkan krisis pangan. Puluhan ribu warga sipil Somalia berjatuhan dan ribuan lainnya mengungsi dan melarikan diri keluar negeri dan negara-negara tetangganya.[4]
           
United Nations’s Action in Humanitarian Intervention
Konflik panjang yang terjadi menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan di Somalia sehingga Somalia kehilangan kontrol substansial negaranya. Hal tersebut membuat timbulnya perhatian-perhatian dari dunia internasional termasuk negara tetangganya seperti Ethiopia dan Kenya, negara besar seperti AS hingga organisasi internasional seperti PBB. Lalu bagaimana PBB ikut andil dalam intervensi kemanusiaan di Somalia ini? Kontribusi PBB dapat diperinci sebagai berikut:[5]
a.       UNOSOM I (United nations Operation in Somalia)
Pada awalnya PBB memberikan mandat melalui UNOSOM I (United nations Operation in Somalia) yang diturunkan pada April 1992 untuk memberikan dan mendistribusikan bahan pangan. Namun operasi ini gagal karena 3000 pasukan yang dikirimkan tidak berhasil mendistribusikan bahan pangan sehingga membusuk.
b.      UNITAF (Unified Task Force)
Setelah kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin pasukan intervensi. Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 794 dengan otorisasi dan mandat “all necessary means to establish as soon as possible a secure environment for humanitarian relief operations in Somalia[6]. Kontribusi AS dikenal dengan UNITAF (Unified Task Force) yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah Piagam PBB Bab VII.[7] Di dalam pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang mengutamakan force di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara serta elemen-elemen militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya intervensi sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap misi-misi PBB yang baru.[8]
c.       UNOSOM II
UNOSOM II diturunkan pada Maret 1993 sebagai pengganti sekaligus fase kedua dari intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas meneruskan yang dimulai oleh UNITAF untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Somalia. Mandat baru ini juga akan memberdayakan UNOSOM II untuk membantu rakyat Somalia dalam membangun kembali kehidupan ekonomi, politik dan sosial mereka, melalui pencapaian rekonsiliasi nasional untuk menciptakan suatu Negara Somalia yang demokratis. Misi PBB melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan Keamanan melalui Resolusi 814 pada 26 Maret 1993. Namun pengambil alihan operasi tersebut belum secara resmi ditetapkan hingga UNITAF dibubarkan pada 4 Mei 1993. UNISOM II memiliki kekuatan hingga 28.000 personil mencakup 22.000 tentara dan 8.000 logistik dan staf sipil dari berbagai negara.[9]
 
Evaluation and Challanges for United Nations as IGO
            Terdapat masing-masing poin yang harus ditekankan dalam aksi PBB terkait contoh studi kasus intervensi kemanusiaan di atas yang bisa kita analisis sebagai bahan evalusi kinerja serta efektifitas PBB dalam menjalankan misi dan visinya menjaga perdamaian dan kestabilan dunia. Pertama dalam kasus Somalia, PBB menjadi aktor utama dalam menyelenggarakan operasi-operasi peacekeeping dan peacebuilding serta memberikan izin maupun mandat melalui resolusi-resolusinya. Dalam operasi UNISOM I, PBB mengalami kegagalan di sektor pendistribusian makanan. Dikatakan bahwa,
“Deployment of UNOSOM I was slow and chronic lawlessness prevented aid from being distributed.”[10]
Dari sana dapat kita lihat bahwa kegagalan PBB adalah karena tindakan mereka yang cenderung lamban. Dikatakan juga bahwa,
“The complete failure of the Somali state had made it impossible for relief workers to safely distribute aid to those in need and thus food was often left to rot in the Port of Mogadishu”[11]

“..the hunger crisis in Somalia was not a result of a lack of food, but rather a lack of access to food.”[12]
Memang hal kecil seperti pendistribusian makanan terdengar hal yang simple dan mudah dilakukan, namun dalam kondisi di tengah-tengah konflik, ternyata organisasi besar seperti PBB nyatanya belum mampu melaksanakan secara maksimal sehingga mengakibatkan hal besar seperti krisis pangan dan kelaparan.
Memperbaiki kegagalannya, PBB akhirnya mengeluarkan mandat untuk menjadikan AS pemimpin bagi misi operasi lainnya di Somalia yaitu UNITAF. PBB menyadari betul kesalahannya dan mengambil tindakan tepat dengan mengalihkan misi operasi melalui AS. Namun salah satu critical tulisan menyebutkan dan mempertanyakan benar dan sudah tepatkah tindakan PBB mengalihkan kekuasaan kepada AS? Kenapa semudah itu?
Beberapa percaya bahwa AS memiliki self interest atas intervensinya di Somalia dimana seharusnya PBB lebih bisa menganalis dan tidak gegabah dalam memberikan mandat. Disebutkan bahwa,
“..If the American people are to say yes to UN peacekeeping, the United
Nations must know when to say no.”[13]
PBB merupakan organisasi internasional terbesar dan merepresentasikan pemikiran negara-negara maupun masyarakat internasional. Dan tidak seharusnya PBB dengan mudah tunduk terhadap negara lain walaupun negara tersebut memiliki pengaruh dan power yang besar seperti AS. PBB harus bisa menganalisis dan berani untuk berkata ‘tidak’ terhadap apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran dunia internasional.
Lalu tantangan seperti apa yang dihadapi PBB saat ini dan di masa yang akan datang? Berdasarkan studi kasus yang dipaparkan, dapat terlihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi PBB adalah kurang sigapnya aksi PBB terkait intervensi kemanusiaan. Dalam kasus di Somalia, PBB cenderung lamban dan acuh terhadap permasalahan dan konflik yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Penulis menaganlisis bahwa terdapat banyak alasan namun satu hal yang panting, permasalahan tersebut diakibatkan kurang seragamnya kepentingan politik negara-negara anggota PBB. Terlebih lagi, kekuatan keputusan PBB terletak pada negara-negara besar seperti AS dan Perancis misalnya. Dikatakan bahwa,
“The UN made the great powers permanent member of the Security Council and gave them the ability to veto any action implemented by the Council”[14]
Dalam beberapa aksi intervensi kemanusiaan, negara besar seperti AS banyak memegang kendali termasuk intervensi di Somalia. Padahal, belum tentu intervensi yang mereka lakukan murni atas dasar norma dan nilai kemanusiaan. Bahkan di kasus Somalia, perdebatan mengenai motif sebenarnya atas intervensi muncul.
            Dari sana dapat terjawab pertanyaaan dapatkah suatu organisasi internasional bersifat demokratis? Dimana keputusan-keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh satu negara tertentu. Misalnya saja seperti negera super power AS. Penulis setuju bahwa organisasi internasional tidak bisa bersifat demokratis. Hal tersebut dikarenakan organisasi internasional terdiri dari sistem tawar birokrasi yang banyak dari para anggotanya yang memiliki beragam kepentingan. Roberd Dahl (1999) memperkuat pernyataan serupa dengan mengemukakan,
“IOs may pursue important goals, but its bureacratic character, remoteness, and lack of participation by ordinary citizens invariably undermine democratic accountability”[15]
Kurangnya partisipasi anggota juga dapat menjadikan lemahnya demokrasi. Terlepas dari itu, alasan lain adanya defisit demokrasi ini adalah karena negara yang tergabung dalam organisasi internasional itu sendiri masih banyak yang tidak bersifat demokrastis.

Conclusion :
Studi kasus intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata kurang efektifnya PBB sebagai salah satu organisasi internasional dalam menjalankan tugasnya. Dalam beberapa kasus PBB mungkin mampu memperlihatkan kinerja baiknya namun tidak dikasus Somalia ini. Kurang efektifnya intervensi tersebut dapat dilihat dari banyaknya korban jiwa, kegagalan di beberapa misi, juga permaslahan yang terjadi berlarut-larut. Hal itu dikarenakan kurang sigapnya PBB dalam membuat keputusan di konflik Somalia dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan negara-negara besar. Cerminan tersebut memperkuat asumsi bahwa organisasi internasional tidak bersifat demokratis dikarenakan organisasi internasional terdiri dari sistem tawar birokrasi yang banyak dari para anggotanya yang memiliki beragam kepentingan. Selain itu juga disebabkan kurangnya partisipasi anggota dan karena negara yang tergabung dalam organisasi internasional itu sendiri masih banyak yang tidak bersifat demokrastis.












Referensi :
[1] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
2 Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis Kemanusiaan di Somalia. Diakses dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html>  pada 21 Oktober 2015.
3 Ibid.
[1] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html > pada 21 Oktober 2015.
4 Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
5 United nations Operation in Somalia II. Diakses kembali secara online melalui < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 21 Oktober 2015.
6 Ibid.
7 Unified 8Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> 21 Oktober 2015
8 Ibid.
9 Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
10 White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[1]1 Ibid.   
[1]2 Ibid.
[1]3 Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
[1]4 Dahl, Robert A. 1999. Can International Organization be Democratic? A Skeptic’s View, in Ian Shapiro and C. Hacker-Cordon, Democracys Edges, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 19-36.



[1] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
[2] Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis Kemanusiaan di Somalia. Diakses dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html>  pada 21 Oktober 2015.
[3] Ibid.
[4] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html > pada 21 Oktober 2015.
[5] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[6] United nations Operation in Somalia II. Diakses kembali secara online melalui < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 21 Oktober 2015.
[7] Ibid.
[8] Unified Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> 21 Oktober 2015
[9] Ibid.
[10] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[11] White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[12] Ibid.        
[13] Ibid.
[14] Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
[15] Dahl, Robert A. 1999. Can International Organization be Democratic? A Skeptic’s View, in Ian Shapiro and C. Hacker-Cordon, Democracys Edges, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 19-36.

0 komentar:

Post a Comment