Mata Kuliah : ORGANISASI BISNIS INTERNASIONAL
Tanggal : 22
Oktober 2015
Kasus
intervensi kemanusiaan menjadi salah satu kajian yang menarik untuk mengupas
seberapa efektif dan akuntabel organisasi internasional seperti PBB dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Paper ini mencoba menjelaskan mengenai
efektifitas PBB dalam menyelesaikan kasus kemanusiaan di Somalia dimana dalam
menjalankan tugasnya, PBB sebagai organisasi internasional menjadi aktor utama
dalam merepresentasikan pemikiran tidak hanya negara anggotanya namun juga
dunia internasional. PBB sebagai organisasi internasional memiliki legalitas
dan legitimasi mengenai intervensi kemanusiaan dimana muncul
pada tahun 1990an berdasarkan hukum internasional dan
piagam PBB Bab VII, yaitu dunia internasional melalui Dewan Keamanan PBB berhak
melakukan intervensi apabila terjadi pelangaran HAM yang berat di suatu negara
atau kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.[1] Melalui studi
kasus Somalia dapat dianalisis tindakan dan kegagalan yang dilakukan PBB sehingga menjadi pelajaran yang pasti untuk ke depannya
yaitu bagaimana membuat organisasi internasional yang lebih efektif dan
akuntabel. Stadi kasus Somalia
merupakan salah satu contoh kegagalan PBB sebagai organisasi internasional.
Mengapa PBB terkesan kurang efektif dalam melaksanakan tugasnya di kasus
Somalia? Thesis statement yang coba dibangun penulis adalah bahwa kurang efektifnya intervensi kemanusiaan di
Somalia oleh PBB dikarenakan kurang sigapnya PBB dalam
membuat keputusan di konflik Somalia dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan
negara-negara besar.
Conflict in Somalia
Secara
geografis, negara Somalia merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dan termasuk
merupakan negara yang masih terbelakang. Tinggiya tingkat kemiskinan dan less development membuat Somalia menjadi
negara yang rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Konflik yang
terjadi di Somalia bisa dikatakan berasal dari warisan kolonialisme Inggris dan
Italia dimana mereka berdua berusaha mengkontruksi identitas etnis kolonial
tersebut. Jika dilihat sejarahnya, wilayah somalia terbagi-bagi menurut wilayah
kependudukan penjajahan. British
Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang
dulunya dikuasai Italia, dipersatukan dan digabung membentuk Republik Somalia.[2] Dari sana
mulai muncul pergerakan-pergerakan etnis yang menuntut hak atas kependudukan
wilayah sehingga memicu berbagai konflik di Somalia.
Konflik
mulai meruncing ketika Presiden Siad Barre jatuh dari
kepemimpinannya pada bulan Januari 1991. Presiden Siad Barre merupakan presiden yang dikenal dengan kepemimpinan dan kebijakannya yang scientific socialism dimana bertujuan untuk menghapuskan
clanism dalam memperkuat politik berdasarkan pada
kelompok-kelompok. Di dalam masa
pemerintahannya Somalia menjadi negara yang memiliki
tingkat korupsi pemerintah yang tinggi, absensi legitimasi terhadap pemerintah,
banyaknya pelanggaran HAM, perang sipil, serta hilangnya legitimasi hukum.[3] Pasca
digulingkannya pemerintahaan presiden Siad, pergolakan dan perang antar klan
masih terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan
fasilitas umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi
agrikultur sehingga menyebabkan krisis pangan. Puluhan ribu
warga sipil Somalia berjatuhan dan
ribuan lainnya mengungsi dan melarikan diri keluar negeri dan negara-negara tetangganya.[4]
United Nations’s Action in
Humanitarian Intervention
Konflik
panjang yang terjadi menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan di Somalia
sehingga Somalia kehilangan kontrol substansial negaranya. Hal tersebut membuat
timbulnya perhatian-perhatian dari dunia internasional termasuk negara
tetangganya seperti Ethiopia dan Kenya, negara besar seperti AS hingga organisasi
internasional seperti PBB. Lalu
bagaimana PBB ikut andil dalam intervensi kemanusiaan di Somalia ini? Kontribusi
PBB dapat diperinci sebagai berikut:[5]
a. UNOSOM I (United nations
Operation in Somalia)
Pada awalnya PBB memberikan mandat melalui UNOSOM I (United nations Operation in Somalia)
yang diturunkan pada April 1992 untuk memberikan dan mendistribusikan bahan
pangan. Namun operasi ini gagal karena 3000 pasukan yang dikirimkan tidak
berhasil mendistribusikan bahan pangan sehingga membusuk.
b. UNITAF (Unified Task Force)
Setelah kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin
pasukan intervensi. Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi
794 dengan otorisasi dan mandat “all necessary
means to establish as soon as possible a secure environment for humanitarian
relief operations in Somalia”[6].
Kontribusi AS dikenal dengan UNITAF (Unified
Task Force) yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah
Piagam PBB Bab VII.[7]
Di dalam pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang
mengutamakan force di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara
serta elemen-elemen militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar
bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya
intervensi sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap
misi-misi PBB yang baru.[8]
c. UNOSOM II
UNOSOM II diturunkan pada Maret 1993 sebagai pengganti sekaligus
fase kedua dari intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas
meneruskan yang dimulai oleh UNITAF untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas
di Somalia. Mandat baru ini juga akan memberdayakan UNOSOM II untuk membantu
rakyat Somalia dalam membangun kembali kehidupan ekonomi, politik dan sosial
mereka, melalui pencapaian rekonsiliasi nasional untuk menciptakan suatu Negara
Somalia yang demokratis. Misi PBB melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan
Keamanan melalui Resolusi 814 pada 26 Maret 1993. Namun pengambil alihan
operasi tersebut belum secara resmi ditetapkan hingga UNITAF dibubarkan pada 4
Mei 1993. UNISOM II memiliki kekuatan hingga 28.000 personil mencakup 22.000
tentara dan 8.000 logistik dan staf sipil dari berbagai negara.[9]
Evaluation and Challanges
for United Nations as IGO
Terdapat masing-masing poin
yang harus ditekankan dalam aksi PBB terkait contoh studi kasus intervensi
kemanusiaan di atas yang bisa kita analisis sebagai bahan evalusi kinerja serta
efektifitas PBB dalam menjalankan misi dan visinya menjaga perdamaian dan
kestabilan dunia. Pertama dalam kasus Somalia, PBB menjadi aktor utama dalam
menyelenggarakan operasi-operasi peacekeeping
dan peacebuilding serta
memberikan izin maupun mandat melalui resolusi-resolusinya. Dalam operasi
UNISOM I, PBB mengalami kegagalan di sektor pendistribusian makanan. Dikatakan
bahwa,
“Deployment
of UNOSOM I was slow and chronic lawlessness prevented aid from being distributed.”[10]
Dari sana dapat kita lihat bahwa kegagalan PBB adalah karena
tindakan mereka yang cenderung lamban. Dikatakan juga bahwa,
“The complete failure of
the Somali state had made it impossible for relief workers to safely distribute
aid to those in need and thus food was often left to rot in the Port of
Mogadishu”[11]
“..the hunger crisis in
Somalia was not a result of a lack of food, but rather a lack of access to
food.”[12]
Memang hal kecil seperti pendistribusian makanan terdengar hal yang simple dan mudah dilakukan, namun dalam
kondisi di tengah-tengah konflik, ternyata organisasi besar seperti PBB
nyatanya belum mampu melaksanakan secara maksimal sehingga mengakibatkan hal
besar seperti krisis pangan dan kelaparan.
Memperbaiki kegagalannya, PBB akhirnya mengeluarkan
mandat untuk menjadikan AS pemimpin bagi misi operasi lainnya di Somalia yaitu
UNITAF. PBB menyadari betul kesalahannya dan mengambil tindakan tepat dengan
mengalihkan misi operasi melalui AS. Namun salah satu critical tulisan menyebutkan dan mempertanyakan benar dan sudah tepatkah
tindakan PBB mengalihkan kekuasaan kepada AS? Kenapa semudah itu?
Beberapa percaya bahwa AS memiliki self interest atas intervensinya di Somalia dimana seharusnya PBB
lebih bisa menganalis dan tidak gegabah dalam memberikan mandat. Disebutkan
bahwa,
“..If the American people are to say yes to UN
peacekeeping, the United
Nations must know when to
say no.”[13]
PBB merupakan organisasi internasional terbesar dan
merepresentasikan pemikiran negara-negara maupun masyarakat internasional. Dan
tidak seharusnya PBB dengan mudah tunduk terhadap negara lain walaupun negara tersebut memiliki
pengaruh dan power yang besar seperti
AS. PBB harus bisa menganalisis dan berani untuk berkata ‘tidak’ terhadap
apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran dunia internasional.
Lalu tantangan seperti
apa yang dihadapi PBB saat ini dan di masa yang akan datang? Berdasarkan studi
kasus yang dipaparkan, dapat terlihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi
PBB adalah kurang sigapnya aksi PBB terkait intervensi kemanusiaan. Dalam kasus
di Somalia, PBB cenderung lamban dan acuh terhadap permasalahan dan konflik
yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Penulis menaganlisis bahwa
terdapat banyak alasan namun satu hal yang panting, permasalahan tersebut
diakibatkan kurang seragamnya kepentingan politik negara-negara anggota PBB.
Terlebih lagi, kekuatan keputusan PBB terletak pada negara-negara besar seperti
AS dan Perancis misalnya. Dikatakan bahwa,
“The UN made the great powers permanent member
of the Security Council and gave them the ability to veto any action
implemented by the Council”[14]
Dalam beberapa aksi intervensi kemanusiaan, negara besar seperti AS
banyak memegang kendali termasuk intervensi di Somalia. Padahal, belum tentu
intervensi yang mereka lakukan murni atas dasar norma dan nilai kemanusiaan.
Bahkan di kasus Somalia, perdebatan mengenai motif sebenarnya atas intervensi muncul.
Dari sana dapat terjawab pertanyaaan dapatkah
suatu organisasi internasional bersifat demokratis? Dimana keputusan-keputusan
yang diambil tidak dipengaruhi oleh satu negara tertentu. Misalnya saja seperti
negera super power AS. Penulis setuju bahwa organisasi internasional tidak bisa
bersifat demokratis. Hal tersebut dikarenakan organisasi internasional terdiri
dari sistem tawar birokrasi yang banyak dari para anggotanya yang memiliki
beragam kepentingan. Roberd Dahl (1999) memperkuat pernyataan serupa dengan
mengemukakan,
“IOs may pursue important goals, but its bureacratic
character, remoteness, and lack of participation by ordinary citizens
invariably undermine democratic accountability”[15]
Kurangnya partisipasi anggota juga dapat
menjadikan lemahnya demokrasi. Terlepas dari itu, alasan lain adanya defisit
demokrasi ini adalah karena negara yang tergabung dalam organisasi
internasional itu sendiri masih banyak yang tidak bersifat demokrastis.
Conclusion
:
Studi kasus intervensi kemanusiaan
yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata kurang efektifnya PBB sebagai
salah satu organisasi internasional dalam menjalankan tugasnya. Dalam beberapa
kasus PBB mungkin mampu memperlihatkan kinerja baiknya namun tidak dikasus
Somalia ini. Kurang efektifnya intervensi tersebut dapat dilihat dari banyaknya
korban jiwa, kegagalan di beberapa misi, juga permaslahan yang terjadi
berlarut-larut. Hal itu dikarenakan kurang sigapnya PBB
dalam membuat keputusan di konflik Somalia
dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan
negara-negara besar. Cerminan
tersebut memperkuat asumsi bahwa organisasi internasional tidak bersifat
demokratis dikarenakan organisasi internasional terdiri dari sistem tawar
birokrasi yang banyak dari para anggotanya yang memiliki beragam kepentingan.
Selain itu juga disebabkan kurangnya partisipasi anggota dan karena negara yang
tergabung dalam organisasi internasional itu sendiri masih banyak yang tidak
bersifat demokrastis.
Referensi
:
[1] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian
Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York
2004
2 Peranan PBB dalam Penyelesaian
Permasalahan Krisis Kemanusiaan di Somalia. Diakses dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html> pada 21 Oktober 2015.
3 Ibid.
[1] Humanitarian Intervention in
Somalia. Diakses
dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html
> pada 21 Oktober 2015.
4 Glanville, Luke. Somalia
Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention.
Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
5 United nations Operation in Somalia II.
Diakses kembali secara online melalui <
http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 21 Oktober 2015.
6 Ibid.
7 Unified 8Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> 21 Oktober
2015
8 Ibid.
9 Glanville, Luke. Somalia
Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention.
Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 21 Oktober 2015.
10 White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia,
paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui
<http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 21 Oktober 2015.
[1]1 Ibid.
[1]2 Ibid.
[1]3 Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia
Press.
[1]4 Dahl, Robert A. 1999. Can International Organization be Democratic? A Skeptic’s View, in Ian Shapiro and C.
Hacker-Cordon, Democracy’s Edges, Cambridge: Cambridge University Press,
pp. 19-36.
[1] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and
Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
[2] Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis
Kemanusiaan di Somalia. Diakses
dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html> pada 21
Oktober 2015.
[4] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html
> pada 21 Oktober 2015.
[5] Glanville, Luke. Somalia
Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention.
Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf>
pada 21 Oktober 2015.
[6] United nations Operation in
Somalia II. Diakses kembali secara online melalui <
http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 21 Oktober 2015.
[7] Ibid.
[8] Unified Task Force.
Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force>
21 Oktober
2015
[9] Ibid.
[10] Glanville, Luke. Somalia
Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention.
Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf>
pada 21 Oktober 2015.
[11] White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for
CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf>
pada 21 Oktober 2015.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping
and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
[15] Dahl, Robert A.
1999. Can International Organization be Democratic? A Skeptic’s View, in Ian Shapiro and C.
Hacker-Cordon, Democracy’s Edges, Cambridge: Cambridge University Press,
pp. 19-36.
0 komentar:
Post a Comment