Mata Kuliah : Multinational Corporation
Tanggal : 26 Maret 2015
Di pertemuan mata kuliah minggu lalu telah dijelaskan secara detail
mengenai 4 bentuk dinamika responsibility yang dilakukan state maupun individu
sebagai suatu konsep yang berasal dari prinsip moral dimana keempat dinamika responsibility
tersebut dapat berimplikasi dalam sistem dan mempengaruhi multinational
corporation. Keempat responsibility tersebut adalah national responsibility,
transnational responsibility, humanitarian responsibility dan spesific
responsibility. Terdapat tiga karakter yang bersifat singular dalam sistem
yaitu yang pertama, national responsibility sebagai yang paling konservatif
atau yang paling sedikit digunakan. Yang kedua, semua bentuk responsibility
tidak dapat dijankan bersamaan. Dan yang terakhir, di dalam beberapa kasus
teretentu, dapat menimbulkan konflik.
Pada penulisan paper ini, akan coba ditunjukkan suatu contoh tindakan
atau kasus yang menunjukkan bahwa keempat atau paling tidak dua responsibility
apabila dijalankan secara bersama-sama akan menimbulkan konflik. Konflik
tersebut dihubungkan dan difokuskan pada yang terjadi di multinational
corporation sebagai obyek yang dikupas dalam mata kuliah ini. Kasus yang coba
diambil adalah kasus mengenai konflik yang terjadi oleh salah satu multinational
corporation terbesar di Indonesia yaitu PT. Freeport Indonesia dengan salah
satu forum organsasi non pemerintah terbesar mengenai keberlangsungan
lingkungan, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Responsbility PT. Freeport Indonesia dan WALHI
Keberlangsungan suatu perusahan
multinational corporation memang tidak terlepas dari tanggung jawab yang tidak
hanya berpijak pada keuntungan ekonomis semata namun juga aspek sosial dan
lingkungan. PT. Freeport Indonesia sebagai salah satu perusahaan tambang
terbesar di Indonesia telah memulai operasinya sejak tahun 1969 dan sampai
dengan saat ini tidak terlepas dari berbagai konflik berkepanjangan dengan
masyarakat lokal baik itu terkait dengan tanah ulayat, pelanggaran adat, maupun
kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi. PT. Freeport Indonesia sebagai
perusahaan multinasional memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan
perusahaannya dan memperoleh keuntungan finansial dan ekoomi yang besar. Di
dalam usahanya tersebut, perusahaan pertambagan
terbesar dan bermodal asing pertama di Indonesia ini mulai melakukan eksploitasi di kabupaten Timika
propinsi Papua.
PT.
Freeport Indonesia merupakan anak perusahaan dari perusahaan AS Freeport
McMoran Copper and Gold Inc. Keduanya terdaftar d bursa efek New York dan PT.
Freeport Indonesia terdaftar di bursa efek Jakarta. Perusahaan ini memiliki
transnational responsibility untuk memperoleh keuntungan profit oriented tinggi
dimana pembagian pemegang saham pada Maret 2006 adalah :
Freeport McMoran Copper and Gold Inc 81,28%
PT. Indocopper Investana 9,36
%
Pemerintah Indonesia 9,
36 %
Sejatinya perusahaan berbeasis Amerika Serikat ini
mempunyai lebih dari 90% kepemilikan dari anak perusahaan Indonesianya.
Pengaturan keuangan di tambang Freeport menjadi lebih kompleks karena sekarang
perusahaan ini merupakan joint venture antara
persahaan AS (Freeport McMoran) dan Inggris (Rio Tinto). Dan pada bulan Mei
1995, Rio Tinto menginvestasi kira-kira $1,7 miliar untuk menggandakan tingkat
produksi dan mendanai penelitian.
Kehadiran PT.
Freeport Indonesia di Kabupaten Timika dinilai berdampak negatif
dimana terjadi masalah sosial terpinggirkannya masyarakat Amungme dan Kamoro
serta lima suku kekerabatan, masalah lingkungan seperti : limbah tailing hampir
1 milyar ton waste rock yang menghancurkan gunung gasberg, tercemarnya
sungai aijwa, meluapnya danau wanagon, dan masalah pelanggaran HAM seperti : pembunuhan
dan penghilangan orang, penyiksaan dan kekerasan seksual dilokasi dan sekitar
tambang. Banyaknya dampak negatif
yang timbul menjadikan berbagai organisasi sipil maupun non govermental merasa
tergerak untuk bertanggung jawab mengatasi permasalahan yang ada, termasuk
permasalahan terkait pencemaran lingkungan.
Sebagai forum organisasi lingkungan
hidup non pemerintah terbesar di Indonesia dengan perwakilan di 26 propinsi dan
lebih dari 430 organisasi anggota, WALHI bekerja membangun transformasi sosial,
kedaulatan rakyat dan keberlanjutan kehidupan. WALHI bekerja sama dan
berjarigan dengan Friends of he Earth International, federasi organisasi
lingkungan hidup yang merupakan akar rumput terbesar di dunia dan memiliki
anggota organisasi di 71 negara dan melibatkan lebih dari sejuta orang di
dunia.
Konflik yang Terjadi
Konflik yang ditimbulkan PT. Freeport Indonesia
terhadap masyarakat dan lingkungan Papua sudah terjadi sejak lama. Koflik
antara PT. Freeport Indonesia dan WALHI mulai menjadi perhatian masyarakat
ketika pihak WALHI mengeluarkan laporan secara resmi mengenai dampak lingkungan
hidup operasi pertambangan tembaga dan emas Freeport-Rio Tinto di Papua tahun.
Laporan ini merupakan upaya WALHI untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai
dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT.
Freeport Indonesia. Hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan
pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidakjelasan informasi tersebut
akhirnya berbuah kepada konflik yang sering berujung pada kekerasan dan
pelanggaran HAM. Laporan ini disusun atas bantuan sukarela ilmuwan-ilmuwan yang
melakukan penelitian di wilayah tambang Freeport.
Penyusunan laporan oleh WALHI ini
diharapkan dapat digunakan seterusnya tidak hanya oleh WALHI, namun oleh semua
pihak yang ingin mewujudkan keadilan lingkungan, sosial, ekonomi dari operasi
tambang skala besar. Selain itu lapoan ini juga diharapkan dapat berkontribusi
pada upaya pengkajian lanjutan yang lebih sistematis dan komprehensif dalam
aspek ekonomi, sosial dan teknis sehingga dapat memberikan pilihan kebijakan
publik berorientasi manfaat jangka panjang, terutama untuk masyarakat Papua.
Kehadiran PT. Freeport Indonesia di
wilayah adat suku Amugme sejak terjadi kontrak karya tahun 1967 mengundnag
banyak persoalan bagi suku Amugme yang mendiami dataran tinggi di puncak
Grasberg maupun suku Kamoro yang mendiami dataran rendah Mimika. Persoalan yang
timbul adalah pencemaran lingkungan di sekitar wilayah operasional. Ribuan
hektar hutan kayu rusak, sejumlah habitat sungai punah bahkan manusia juga ikut
menjadi korban akibat pembuangan Tailing. Tailings sendiri merupakan bijih
logam halus yang dikeluarkan dari kilang setelah proses ekstraksi mineral. Menurut
catatan, tambang Freeport telah membuang 1 miliar ton tailing ke sistem sungai
Aghawagon-Otomona-Ajkwa dimana hal tersebut sudah jelas dilarang oleh PP
82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Sejak tahun 1972 hingga 1997 Freeport telah
membuang 253 juta tn tailings, dimana 114 juta dibuang di dataran rendah dan 8
juta dibuang di muara sungai Ajkwa, sedangakan mayoritas limbah tailings
sebesar 131 ton berakhir di laut Arafura. Dan sejak saat itu laju pembuangan
telah meningkat secara dramatis. Batas legal total padatan yang tersuspensi (total
suspended solid, TTS) dalam air tawar adalah 50 mg/L sedangkan tailings
yang mencemari sungai-sungai mencapai ratusan ribu mg/L.
Kesimpulan :
Dari pemaparan singkat mengenai konflik yang
terjadi antara PT. Freeport Indonesia dan WALHI di atas dapat dilihat bahwa
kedua aktor tersebut memiliki kepentingan dan responsibility masing-masing. PT.
Freeport Indonesia sebagai perusahaan multinasional corporation memiliki
transnational responsibility atau tanggung jawab kolektif untuk memenuhi
standard keuntungan maksimal (profit oriented) yang ditetukan dimana
dilihat dari sisi ekonomi, hal tersebut dilakukan untuk keberlangsungan
perusahaan itu sendiri. Sedangkan WALHI, sebagai salah satu forum organsasi non
pemerintah terbesar mengenai keberlangsungan lingkungan memiliki tanggung jawab
atau yang dikenal dengan environmental responsibility untuk mengelola dan
mengurus lingkungan. WALHI mencoba juga mencoba menjembatani keinginan PT.
Freeport Indonesia dengan masyarakat Papua itu sendiri. Walaupun konflik yang
terjadi bukan merupakan konflik fisik, namun kasus Freeport ini dapat
menunjukkan bahwa semua bentuk responsibility tidak bisa berjalan bersamaan dan
apabila dipaksakan dalam kasus tertentu menimbulkan konflik dan dapat
mempengaruhi keberlangsungan multinational corporation itu sendiri.
Referensi :
WALHI.
2006. Laporan Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas
Freeport-Rio Tinto di Papua.
0 komentar:
Post a Comment