My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Tuesday, August 11

Dinamika Responsibility : Studi Kasus Konflik PT. Freeport Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); Antara Transnational Responsibility dan Environmental Responsibility



Mata Kuliah    : Multinational Corporation
Tanggal           : 26 Maret 2015

Di pertemuan mata kuliah minggu lalu telah dijelaskan secara detail mengenai 4 bentuk dinamika responsibility yang dilakukan state maupun individu sebagai suatu konsep yang berasal dari prinsip moral dimana keempat dinamika responsibility tersebut dapat berimplikasi dalam sistem dan mempengaruhi multinational corporation. Keempat responsibility tersebut adalah national responsibility, transnational responsibility, humanitarian responsibility dan spesific responsibility. Terdapat tiga karakter yang bersifat singular dalam sistem yaitu yang pertama, national responsibility sebagai yang paling konservatif atau yang paling sedikit digunakan. Yang kedua, semua bentuk responsibility tidak dapat dijankan bersamaan. Dan yang terakhir, di dalam beberapa kasus teretentu, dapat menimbulkan konflik.

Pada penulisan paper ini, akan coba ditunjukkan suatu contoh tindakan atau kasus yang menunjukkan bahwa keempat atau paling tidak dua responsibility apabila dijalankan secara bersama-sama akan menimbulkan konflik. Konflik tersebut dihubungkan dan difokuskan pada yang terjadi di multinational corporation sebagai obyek yang dikupas dalam mata kuliah ini. Kasus yang coba diambil adalah kasus mengenai konflik yang terjadi oleh salah satu multinational corporation terbesar di Indonesia yaitu PT. Freeport Indonesia dengan salah satu forum organsasi non pemerintah terbesar mengenai keberlangsungan lingkungan, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
 
Responsbility PT. Freeport Indonesia dan WALHI
            Keberlangsungan suatu perusahan multinational corporation memang tidak terlepas dari tanggung jawab yang tidak hanya berpijak pada keuntungan ekonomis semata namun juga aspek sosial dan lingkungan. PT. Freeport Indonesia sebagai salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia telah memulai operasinya sejak tahun 1969 dan sampai dengan saat ini tidak terlepas dari berbagai konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal baik itu terkait dengan tanah ulayat, pelanggaran adat, maupun kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi. PT. Freeport Indonesia sebagai perusahaan multinasional memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan perusahaannya dan memperoleh keuntungan finansial dan ekoomi yang besar. Di dalam usahanya tersebut, perusahaan pertambagan terbesar dan bermodal asing pertama di Indonesia ini mulai melakukan eksploitasi di kabupaten Timika propinsi Papua.
            PT. Freeport Indonesia merupakan anak perusahaan dari perusahaan AS Freeport McMoran Copper and Gold Inc. Keduanya terdaftar d bursa efek New York dan PT. Freeport Indonesia terdaftar di bursa efek Jakarta. Perusahaan ini memiliki transnational responsibility untuk memperoleh keuntungan profit oriented tinggi dimana pembagian pemegang saham pada Maret 2006 adalah :
Freeport McMoran Copper and Gold Inc                               81,28%
PT. Indocopper Investana                                                       9,36 %
Pemerintah Indonesia                                                                         9, 36 %
Sejatinya perusahaan berbeasis Amerika Serikat ini mempunyai lebih dari 90% kepemilikan dari anak perusahaan Indonesianya. Pengaturan keuangan di tambang Freeport menjadi lebih kompleks karena sekarang perusahaan ini merupakan joint venture antara persahaan AS (Freeport McMoran) dan Inggris (Rio Tinto). Dan pada bulan Mei 1995, Rio Tinto menginvestasi kira-kira $1,7 miliar untuk menggandakan tingkat produksi dan mendanai penelitian.
Kehadiran PT. Freeport Indonesia di Kabupaten Timika dinilai berdampak negatif dimana terjadi masalah sosial terpinggirkannya masyarakat Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan, masalah lingkungan seperti : limbah tailing hampir 1 milyar ton waste rock yang menghancurkan gunung gasberg, tercemarnya sungai aijwa, meluapnya danau wanagon, dan masalah pelanggaran HAM seperti : pembunuhan dan penghilangan orang, penyiksaan dan kekerasan seksual dilokasi dan sekitar tambang. Banyaknya dampak negatif yang timbul menjadikan berbagai organisasi sipil maupun non govermental merasa tergerak untuk bertanggung jawab mengatasi permasalahan yang ada, termasuk permasalahan terkait pencemaran lingkungan.
Sebagai forum organisasi lingkungan hidup non pemerintah terbesar di Indonesia dengan perwakilan di 26 propinsi dan lebih dari 430 organisasi anggota, WALHI bekerja membangun transformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan kehidupan. WALHI bekerja sama dan berjarigan dengan Friends of he Earth International, federasi organisasi lingkungan hidup yang merupakan akar rumput terbesar di dunia dan memiliki anggota organisasi di 71 negara dan melibatkan lebih dari sejuta orang di dunia.

Konflik yang Terjadi
            Konflik yang ditimbulkan PT. Freeport Indonesia terhadap masyarakat dan lingkungan Papua sudah terjadi sejak lama. Koflik antara PT. Freeport Indonesia dan WALHI mulai menjadi perhatian masyarakat ketika pihak WALHI mengeluarkan laporan secara resmi mengenai dampak lingkungan hidup operasi pertambangan tembaga dan emas Freeport-Rio Tinto di Papua tahun. Laporan ini merupakan upaya WALHI untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT. Freeport Indonesia. Hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidakjelasan informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik yang sering berujung pada kekerasan dan pelanggaran HAM. Laporan ini disusun atas bantuan sukarela ilmuwan-ilmuwan yang melakukan penelitian di wilayah tambang Freeport.
            Penyusunan laporan oleh WALHI ini diharapkan dapat digunakan seterusnya tidak hanya oleh WALHI, namun oleh semua pihak yang ingin mewujudkan keadilan lingkungan, sosial, ekonomi dari operasi tambang skala besar. Selain itu lapoan ini juga diharapkan dapat berkontribusi pada upaya pengkajian lanjutan yang lebih sistematis dan komprehensif dalam aspek ekonomi, sosial dan teknis sehingga dapat memberikan pilihan kebijakan publik berorientasi manfaat jangka panjang, terutama untuk masyarakat Papua.
            Kehadiran PT. Freeport Indonesia di wilayah adat suku Amugme sejak terjadi kontrak karya tahun 1967 mengundnag banyak persoalan bagi suku Amugme yang mendiami dataran tinggi di puncak Grasberg maupun suku Kamoro yang mendiami dataran rendah Mimika. Persoalan yang timbul adalah pencemaran lingkungan di sekitar wilayah operasional. Ribuan hektar hutan kayu rusak, sejumlah habitat sungai punah bahkan manusia juga ikut menjadi korban akibat pembuangan Tailing. Tailings sendiri merupakan bijih logam halus yang dikeluarkan dari kilang setelah proses ekstraksi mineral. Menurut catatan, tambang Freeport telah membuang 1 miliar ton tailing ke sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa dimana hal tersebut sudah jelas dilarang oleh PP 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
            Sejak tahun 1972 hingga 1997 Freeport telah membuang 253 juta tn tailings, dimana 114 juta dibuang di dataran rendah dan 8 juta dibuang di muara sungai Ajkwa, sedangakan mayoritas limbah tailings sebesar 131 ton berakhir di laut Arafura. Dan sejak saat itu laju pembuangan telah meningkat secara dramatis. Batas legal total padatan yang tersuspensi (total suspended solid, TTS) dalam air tawar adalah 50 mg/L sedangkan tailings yang mencemari sungai-sungai mencapai ratusan ribu mg/L.

Kesimpulan :
            Dari pemaparan singkat mengenai konflik yang terjadi antara PT. Freeport Indonesia dan WALHI di atas dapat dilihat bahwa kedua aktor tersebut memiliki kepentingan dan responsibility masing-masing. PT. Freeport Indonesia sebagai perusahaan multinasional corporation memiliki transnational responsibility atau tanggung jawab kolektif untuk memenuhi standard keuntungan maksimal (profit oriented) yang ditetukan dimana dilihat dari sisi ekonomi, hal tersebut dilakukan untuk keberlangsungan perusahaan itu sendiri. Sedangkan WALHI, sebagai salah satu forum organsasi non pemerintah terbesar mengenai keberlangsungan lingkungan memiliki tanggung jawab atau yang dikenal dengan environmental responsibility untuk mengelola dan mengurus lingkungan. WALHI mencoba juga mencoba menjembatani keinginan PT. Freeport Indonesia dengan masyarakat Papua itu sendiri. Walaupun konflik yang terjadi bukan merupakan konflik fisik, namun kasus Freeport ini dapat menunjukkan bahwa semua bentuk responsibility tidak bisa berjalan bersamaan dan apabila dipaksakan dalam kasus tertentu menimbulkan konflik dan dapat mempengaruhi keberlangsungan multinational corporation itu sendiri.

Referensi :
WALHI. 2006. Laporan Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua.

 

0 komentar:

Post a Comment