My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-
Showing posts with label Humanitarian Intervention. Show all posts
Showing posts with label Humanitarian Intervention. Show all posts

Tuesday, September 1

Analisis Intervensi Kemanusiaan di Libya : Was it Necessary ?


Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya

            Libya merupakan negara di Afrika Utara yang berbatasan dengan Mesir di sebelah timur, Tunisia di sebelah barat, Chad dan Nier di sebleah selatan serta Aljazair di sebelah barat daya. Sebagaian besar wilayah Libya terdiri dari gurun pasir maka populasi penduduk lebih terkonsentrasi di wilayah sepanjang laut Mediterania. Perang dan konflik telah menjadi bagian dari peradaan manusia. Pasca perang dingin, masih banyak kita jumpai berbagai konflik yang mengancam dan menjadi tantangan baru terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Konflik di Libya misalanya. Konflik yang terjadi di Libya memang hampir sama dengan konflik-konflik yang dialami di negara lain. Sebagain besar didasari oleh masalah politik dan pemerintahan.
Seperti yang kita tahu, berbagai konflik terjadi di Libya. Mulai dari konflik pada masa pemerintahan Qadaffi hingga kini kependudukan kekuasaan oleh ISIS. Konflik-konflik tersebut sempat menimbulkan respon dunia internasional ketika masa pemerintahaan Qadaffi, Selain itu, mengingat korban yang dari konflik tersebut tidaklah sedikit. Berbagai intervensi mulai dilaksanakan termasuk dengan alasan yang lebih humanis yakni intervensi kemanusiaan. Jumah intervensi kemanusiaan meningkat pesat dalam periode perang dingin dimana hal tersebut terjadi karena banyaknya actor baru yang ingin muncul di panggung dunia untuk membantu mengatasi konflik internal suatu negara yang diakibatkan oleh failed state.[1]
Banyak perdebatan tersendiri mengenai intervensi yang terjadi. Setiap negara ataupun berbagai pihak internasional yang memutuskan untuk melaksanakan intervensi pasti memiliki berbagai pertimbangan yang matang tekait hal tersebut. Negara tidak serta merta melaksanakan tindakan intervensi hanya karena kepentingan humanitarian ataupun adanya legalitas dari yang berwenang. Apabila diamati lebih jauh, selalu ada motif lain atau national mauapun self interest yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut juga dapat lebih membantu kita dalam memahami alasan apa dan mengapa suatu negara melakukan intervensi terhadap negara lain. Dalam papar ini akan coba dianalisis dari studi kasus yang terjadi di Libya, Afrika. Apa yang sebenarnya terjadi di Libya saat ini terkait dengan intervensi kemanusiaan dan apakah intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan merupakan suatu tindakan yang tepat ataukah tidak.

The Brieft History of Libya’s Conflict
            Fenomena arab spring yang menyerang Tunisia, Yaman dan Mesir di awal tahun 2011 akhirnya mempengaruhi Libya. Terjadi demonstrasi besar-besaran di Libya terhadap pemerintahan Muammar Qadaffi yang sudah berkuasa lebih dari 41 tahun.[2] Banyaknya demontrasi yang terjadi di Libya berawal dari protesnya sebagian warga Libya di Benghazi pada tanggal 15 Februari 2011, yang dipicu penahanan seorang pengacara yang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah.[3] Meski dikabarkan polisi sudah membebaskan pengacara tersebut, namun aksi unjuk rasa dan demonstasi terus berlanjut hingga berkembang menjadi bentuk protes terhadap pemerintah mereka secara umum dan terhadap Muammar Qadaffi.[4] Selama menjabat Muammar Qadaffi dipandang sebagai pemimpin bertangan besi yang tidak merepresentasikan kepentingan rakyat Libya. Selain itu, Duta Besar Libya untuk Indonesia, Abdulhamid MA Alwindi dalam wawancaranya  di Jakarta pada 19 Agustus 2013, menyebutkan,
“Gaddafi never gives freedom to Libyan people. Most Libyan is very poor, but he is wallowing in wealth. Nobody likes Gaddafi, he did not bring any development to Libya.”
Dia megemukakan bahwa selama 42 tahun, Gaddafi tidak pernah memberikan kebebasan kepada rakyat Libya. Kebanyakan warga Libya dilanda kemiskinan, tapi ia bergelimang harta. Tak seorang pun suka terhadap Gaddafi, ia tidak membawa perkembangan apapun untuk Libya. Misalnya, tidak ada hotel bintang lima di Tripoli, bahkan hanya satu bandara internasional di Tripoli. Di Benghazi, Bandara Benina, tidak ada fasilitas yang tepat dan standar untuk penerbangan, bahkan landasan biasanya menggunakan jalan raya.[5] Dalam masa kepemimpinannya, Libya juga sempat dikucilkan dalam hubungan internasional karena menjadi ‘oposisi’ politik internasional Amerika Serikat.[6]
            Bentuk protes yang awalnya berlangsung damai pada akhirnya menjadi protes besar-besaran dalam waktu singkat dan merebak ke seluruh penjuru negeri Libya. Banyak warga sipil turun ke jalan sehingga membuat pemerintahan Qadaffi sedikit khawatir. Untuk mempertahankan pemerintahaannya dan kontrol atas Libya, Qadaffi tidak ragu lagi untuk megerahkan kekuatan militernya dalam menghadapi demonstran.[7] Ketegangan semakin meningkat dengan banyaknya pemberontakan dan aksi bersenjata hingga mendirikan organisasi pemerintahan sendiri yang diberi nama Libyan National Council atau National Transitional Council (NTC) pada tanggal 27 Februari 2011. Merasa kekuasaaannya semakin terancam maka Qadaffi dan pasukan militernya tanpa ampun menembak dan menghabisi  siapapun yang menghalanginya. Bahkan dalam pidatonya,  Qadaffi bersiap mengerahkan semua senjatanya untuk mempertahankan Tripoli dari para pemberontak. Tercatat bahwa angka kematian yang ditimbulkan hingga Februari 2012 lebih dari 100 jiwa.[8]



Humanitarian Intervension in Libya : Saving Lives or War?
            Tindakan brutal yang dilakukan oleh Qadaffi dan pasukannya tersebut membuat dunia internasional turun tangan. Menurut International Federation for Human Rights (FIDH), tindakan Qadaffi ini merupakan tindakan penindasan terhadap warga sipilnya sendiri dan dikategorikan pada tindakan kejahatan kemanusiaan. International Criminal Court (ICC) juga mengigatkan secara langsung terhadap tindakan kekejaman ini.[9] Menyikapi tindakan brutal tersebut, Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi strategis yang banyak menangani konflik internasional, mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan aset Gaddafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka melakukan perjalanan, serta mengeluarkan himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi Libya. Resolusi tersebut juga menyerukan Qadaffi agar diperiksa di ICC namun tidak dihirukan.[10]
            Atas desakan Liga Arab[11], Resolusi baru kembali dikeluarkan. Resolusi 1973 berdasarkan Piagam PBB Bab VII Pasal 42 ini berisi tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona larangan terbang) di wilayah Libya, dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam Resolusi 1970. No-fly zone ditujukan untuk mencegah pesawat tempur pasukan Qadaffi melakukan misi pembunuhan dari udara.[12] Sementara itu, muncul pasukan koalisi yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris dan Perancis dimana mereka melancarkan operasi Odyssey Dawn  pada tanggal 19 Maret dengan memasuki target-target utama pemerintahan di Libya. Intervensi yang dilakukan didasarkan oleh alasan kemanusiaan dan untuk menegakkan resolusi 1973. Lima hari setelahnya, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified Protection pada tanggal 24 Maret.
Di dalam operasi NATO tersebut tidak diizinkan pengiriman pasukan untuk menduduki Libya, tetapi menyerukan diakhirinya segera semua serangan terhadap warga sipil.[13] Untuk mengehentikan rezim Qadaffi, pasukan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) melakukan serangan dibeberapa kota termasuk kota Sirte yang merupakan kota kelahiran Qadaffi. Serangan NATO juga melibatkan serangan udara, bom-bom banyak dijatuhkan hingga menimbulkan korban termasuk warga sipil. Namun NATO sendiri menolak tuduhan tersebut. Target penyerangan mereka adalah fasilitas penyimpanan kendaraan strategis Libya, yang mendukung pasukan loyalis pro Qadaffi menyerang warga sipil. Puncak dari pergolakan militer dan gerakan revolusi Libya yang terjadi adalah runtuhnya rezim Qadaffi. Setelah ibu kota Libya, Tripoli berhasil dikuasai, pada tanggal 20 Oktober 2011 NATO berhasil melumpuhkan sebuah konvoi yang bergerak meninggalkan kota Sirte. Konvoi tersebut tertangkap oleh pasukan NATO dan berhasil dilumpuhkan. Qadaffi termasuk ke dalam konvi tersebut. Dia berhasil ditangkap dan dilumpuhkan oleh pasukan oposisi dalam keadaan hidup. Dalam konvoi tersebut juga wafat salah seorang anak dari Qadaffi yaitu Mutassim dan pengawalnya sekaligs menteri pertahanan Qadaffi yaitu Abu Bakar Younis. Qadaffi sendiri akhirnya wafat satu jam kemudian dalam perjalanan akibat luka-luka yang dideritanya.[14]
Secara garis besar, intervesi yang dilakukan pasukan koalisi maupun NATO di Libya dalam betuk invasi militer atas dasar kemanusiaan, menggambarkan situasi peperangan yang sangat meresahkan warga Libya. Adanya intervensi kemanusiaan di Libya memetik drama perebutan pertahanan kekuasaan terhadap Libya oleh Qadaffi dan NATO semakin memanas.[15] Menurut pandangan Liberalis, perang merupakan akibat dari pemerintahan yang tidak demokratis dan militeristik dan perang merupakan kepentingan penguasa itu sendiri dan bukan atas dasar mewakili keinginan rakyat. Oleh karena itu negara yang belum menerapkan demokrasi harus menerapkan demokrasi agar tercapai perdamaian walaupun melalui perang sekalipun.[16] Kondisi di Libya menggambarkan keinginan perubahan revolusi demokrasi ke arah yang lebih baik. Dan adanya intervensi kemanusiaan merupakan sarana untuk mendukung terselenggaranya keinginan-keinginan tersebut tanpa melanggar hak asasi dan kehidupan manusia.

AS action : Moral or Interest?
Nato adalah aliansi keamanan Negara-negara atlantik utara yang sangat kental dengan kepentingan AS di dalamnya. Prinsip one for all and all for one menjadikan NATO sebagai aliansi  ditakuti oleh negara-negara lain.[17] Keberadaan NATO di Libya tampak jelas sebagai bentuk perpanjangan tangan Amerika Serikat yang hampir selalu mengatasnamakan hak asasi manusia, kemanusiaan dan demokrasi sebagai basis instrumen untuk melakukan intervensi. Padahal, bukti-bukti tentang pelanggaran HAM dan demokrasi yang dilakukan Amerika Serikat sesungguhnya tidak sulit ditemukan. Dalam setiap peristiwa kekerasan atau konflik pada umumnya Amerika Serikat selalu mengambil peran. Jika konflik telah meluas menjadi perang terbuka, seperti di Libya, maka pemerintah Amerika Serikat akan terjun dan memainkan standar ganda. Standar ganda yang dimaksud adalah adanya kepentingan nasional atau national interest. Apalagi, jika konflik terjadi di wilayah atau kawasan yang strategis dan kaya dengan sumber-sumber daya alam, maka hampir dipastikan di situ Amerika Serikat mengambil peran untuk intervensi.[18]
Memang banyak perdebatan oleh para ilmuwan sosial mengenai politik luar negeri AS terkait konflik yang terjadi di Libya. Terdapat tiga faktor yang dapat dianalisis sebagai hal yang mempengaruhi politik luar negeri AS ini, yaitu adanya kepentingan ekonomi, pemilu AS 2012 dan peran dari opini  masyaraka terkait konflik Libya. Kepentingan ekonomi merupakan hal yang paling sering dikaitkan mengingat adanya paradoks bahwa konflik Libya terjadi ketika krisis ekonomi di AS juga sedang berlangsung.[19] Negara Libya merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-18 yang menghasilan 1.789.000 bbl/hari. Selain itu, kualitas minyak Libya selalu menjadi incaran karena memilki sedikit kadar belerang sehingga mudah diolah. AS sendiri merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke-6 (5%).
Intervensi NATO ke Libya disinyalir merupakan efek dari keberatannya negara-negara barat terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Qadaffi. Qadaffi yang memang anti barat terbukti menjadi mitra yang menyulitkan bagi perusahaan-perusahaan minyak internasional. Ia sering kali menaikkan biaya dan pajak, serta meminta tuntutan-tuntutan yang sulit dipenuhi. Kejahatan Gaddafi bukanlah terhadap kemanusiaan, tetapi karena kebijakannya. NATO sendiri bisa dikatakan menjadi boneka Contextually, NATO intervention is definitely controlled by the US. In this case, NATO has become US ‘puppet’ in putting more influence in Libya related to yang dikendalikan AS. Mengenai motif intervensi ke Libya, Kedutaan besar Kanada Atase Pertahanan untuk Indonesia, Colonel Latouche mengemukakan,[20]
“US might have some interest on oil, but security interest plays the biggest reason.”
Beberapa perusahaan minyak besar berharap Libya mau membuka investasi lebih lanjut pasca sanksi dari Washington dicabut tahun 1994 dan perusahaan-perusahan minyak besar asal AS mulai memasuki negara Afrika Utara tersebut. Akan tetapi, keinginan tersebut sepertinya tidak terlaksana. Pemerintah Libya, di bawah Qadaffi, merenegoisasi ulang jatah perusahaan-perusahaan tersebut. Pembagian jatah minyak dari masing-masing ladang hanya sekitar 12%, dari awalnya 50%. Hal tersebut dilakukan karena Qadaffi tidak menginginkan perusahaan-perusahaan tersebut mengontrol bisnis minyak di Libya, dan  mendapat keuntungan yang besar yang seharusnya dialokasian untuk rakyat Libya sendiri.[21]

Alasan suatu negara mengintervensi negara lain seharusnya dilakukan dengan alasan dan pertimbangan matang. Jika memang berlandaskan alasan kemanusiaan, sesuai dengan prinsip Respnsibility to Protect, tanggung jawab negara untuk melindungi negara lain adalah untuk responsibility to prevent; responsibility to react dan responsibility to rebuild.[22] Pada kasus intervensi di Libya, cukup sulit dianalisa motif intervensi AS karena memang pada kenyataannya, tidak ada data-data yang pasti. Tetap banyak korban jiwa yang ditimbulkan bahkan setelah dilaksanakannya intervensi. Reputasi pemerintahaan Qadaffi juga dihancurkan karena keberaniaannya menyampaikan ide-ide radikal anti barat.

The Debates : Was it Necessary?
            Hal yang terpenting adalah mengenai kondisi Libya pasca turunnya rezim Qadaffi. Apakah memang pemberontakan serta demokrasi atas revolusi Libya memang benar-benar membawa dampak positif ataupun tidak. Setelah runtuhnya rezim Qadaffi maka Libya berusaha berbenah diri membangun kembali negaranya sendiri. Namun hingga kini dapat kita lihat bersama bahwa kondisi di Libya belum stabil. Kelompok-kelompok yang dahulu menggencarkan kekuatannya untuk menumbangkan Qadaffi, kini berebut kekuasaan. Sedangkan Libya timur dimana gerakan awal pemberontakan dicetuskan, sekarang muncul rasa tidak puas dan kecewa. Mereka justru berniat untuk memisahkan diri dari Libya. Tidak luput dari sorotan, wilayah Libya bagian selatan yang berbatasan langsung dengan negara Chad dan negara-negara tetangga juga masih kacau karena tidak ada yang mengawasi daerah perbatasan.[23] Profesor Maximilian C. Forte dari Concordia University, Kanada, yang menulis tentang sebuah artikel mengenai kejatuhan Libya sebagai bangsa dan masyarakat yang berjudul ‘Slouching Towards Sirte: NATO’s War On Libya and Africa’, beliau menerima surat dari orang asing yang tinggal di Libya. Dari surat tersebut beliau dapat menyimpulkan,[24]
“Without fail, every single one of them has since fled the country. I would say that now the consensus has to be that, regardless of whatever measure one chooses, Libya is far worse off now.”
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dan dilema baru. Apakah intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan di Libya merupakan suatu tindakan yang tepat ataukah tidak. Mengingat kekejaman rezim Qadaffi di Libya sendiri dan banyakna aksi militer yang digunakan bahkan setelah adanya intervensi yang mana juga makin menimbulkan banyak korban bagi warga sipil Libya. Duta Besar Libya untuk Indonesia menyatakan,[25] 
After Gaddafi ignored the 1970 Resolution, the implementation of 1973 Resolution must be by military act, because without it nothing can stop Gaddafi. The intervention itself is required in order to save libyan lives and stop Gaddafi from doing more atrocities in the region. If Gaddafi doesn’t stop now there will be collateral damage, not only in Libya, but Africa as well.[26]
Apabila di analisis lebih dalam, penulis setuju dengan pernyataan di atas. Memang rezim Qadaffi yang sudah terang-terangan berani membantai warga sipilnya sendiri demi pertahanan kekuasaan harus dihentikan dengan cara apapun untuk meminimalisir korban. Dan penulis juga memahami bahwa di dalam proses intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh negara lain termasuk AS dan NATO tidak bisa terlepas dari intervensi militer karena memang intervensi militer ini merupakan bagian dari intervensi kemanusiaan. Alasan mengapa intervensi militer dilakukan adalah militer dengan teknologinya yang tinggi dapat bergerak cepat dan memiliki dampak langsung dalam membantu humanity. Intervensi militer tidak selalu mengenai perang, senjata dan tentara. Namun hanya merupakan alat lain dari upaya bernegosiasi yang digunakan sebagai pilian paling akhir. Penggunaan kekuatan militer di Libya adalah untuk menyeimbangi kebrutalan atas rezim Qadaffi dan tentu saja untuk meminimalisir korban yang ada.
            Jadi di sini penulis berpendapat bahwa intervensi yang dilakukan di Libya sudah tepat. Mengenai motif lain yang terkadung dan dibawa oleh negara pengintervensi, terus terang penulis hanya bisa berasumsi mengingat keterbatasan data yang ada. Bahkan dari pihak Libya sendiri sempat membantah mengenai motif lain yang terkandung selain kemanusiaan. Bahwa NATO hanya memiliki memiliki motif untuk menyelamatkan nyawa dan menegakkan resolusi dewan keamanan PBB. Duta besar Libya mengemukakan,[27]
“NATO and the US did not take anything from Libya and there were no compensation whatsoever. If NATO motivation is about oil, why NATO intervene former Yugoslavia? There are no valuable resources there. Libyan people instead shows their gratitude to NATO in helping them overthrown a dictator, which has oppressed the people for so long.
Jika memang motif dari pada intervensi kemanusiaan di Libya memang atas dasar humanity maka tindakan NATO dan kawan-kawanya sudah sangat tepat. Lalu apakah intervensi ini berdampak pada perdamaian dan keamanan internasional? Proffessor forte kembali menjelaskan,
“If we were to speak of the Libyan case, the impact of NATO's war has clearly been a destabilizing one presumably, right from the start, as the overthrow of any regime is by definition an act of destabilization. I mean this more broadly however, in terms of regional destabilization, with an obvious impact on events in Mali, Nigeria, Chad, Egypt and Syria, and an increase in both funds and weapons for armed militant groups.”
Hal tersebut menguatkan asumsi bahwa intervensi kemanusiaan di Libya walaupun belum membawa kestabilan penuh bagi negara Libya sendiri, namun dapat membawa perubahan destabilisasi yang baik bagi Libya. Apabila dihubungkan dengan konsep Responsibility to Protect, Stewart Patrict dalam tulisannya mengemukakan,[28]
“Libya has demonstrated the viability of a well-implemented RtoP intervention, but one should not assume that the United States and its allies will now apply it universally.”
Konsep RtoP yang sudah dijalankan dengan baik, Semua membutuhkan proses dan penulis yakin, dengan adanya intervensi di Libya pada masa Qadaffi merupakan babak baru perubahan revolusi Libya menjadi lebih baik.
  
 (Jumlah kata : 2842 kata)


[1] Cristina Gabriela Badescu, 2011. Humanitarian Intervention and the Responsibility to Protect: Security and Human Rights . New York: Routledge. h. 22-23.
[2] NATO Humanitarian Intervention in Libya: Saving Lves or War of Power. Diakses melalui < https://www.academia.edu/4859242/NATO_Humanitarian_Intervention_in_Libya_Saving_Lives_or_War_for_Power> pada 16 April 2015

[3] Legalitas dan Motivasi NATO dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya.

[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Intervensi Kemanusiaan di Libya. Diakses melalui < http://azizfahri.blogspot.com/2012/11/intervensi-kemanusiaan-di-libya.html> pada 16 April 2015
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Fact Sheet: UN Security Council Resolution 1970, Libya Sanctions. Diakses melalui < http://usun.state.gov/briefing/statements/2011/157194.htm> pada 16 April 2015
[11] Liga Arab atau League of Arab State merupakan sebuah organisasi regional yang terdiri dari negara-negara Arab yang didirikan pada 22 Maret 1945 untuk mengkoordinasikan tindakan ekonomi, niaga, kebudayaan dsb. Diakses melalui < http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Arab> pada 16 April 2014
[12] Ibid.
[13] Penyebab Kematian Qadaffi adalah NATO. Diakses melalui < http://gus-dayat.com/2011/10/30/penyebab-kematian-qaddafi-itu-adalah-nato/>  pada 16 April 2014
[14] Proses Berakhirnya Kekuasaan Rezim Presiden Muammar Khadaffi: Studi Kasus Revolusi Libya. Diakses melalui < https://www.academia.edu/5809733/Proses_berakhirnya_kekuasaan_rezim_Presiden_Muammar_Khadaffi_Studi_Kasus_revolusi_Libya_2011> pada 16 April 2015
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.

[18] Mohammad Shoelhi. 2007. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Hlm. 71 dalam Legalitas dan Motivasi NATO dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya.  Diakses melalui < https://jerryindrawan.wordpress.com/2013/04/23/legalitas-dan-motivasi-nato-dalam-melakukan-intervensi-kemanusiaan-di-libya/> pada 16 April 2015

[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] ICISS, 2001. The Responsibility To Protect. Report of The International Commission of Intervention and States Sovereignty. Ottawa: International Development Research Centre. Diakses melalui <http://responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf> pada 16 April 2015
[23] Foreign Policy: Peran Jerman dalam Pembangunan di Libya Pasca Rezim Qadaffi. Diakses melalui <https://jekejek.wordpress.com/2013/06/09/foreign-policy-rasionalisasi-peran-jerman-dalam-pembangunan-di-libya-pasca-rezim-khadaffi/> pada 17 April 2015
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Patrict, Stewart. Libya and The Future of Humanitarian Intervention. Diakses melalui <http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-of-humanitarian-intervention > pada 17 April 2015

Humanitarian Intervention and The UN : Lessons from Somalia and Rwanda



Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya

ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai aksi intervensi kemanusiaan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di negara Somalia dan Rwanda. Melalui kedua studi kasus tersebut dapat dijelaskan mengenai efektifitas intervensi PBB terkait aksi kemanusiaan yang dilakukan sehingga kita dapat menganalisis tindakan dan kegagalannya serta mendapatkan pelajaran yang pasti untuk ke depannya. Kegagalannya terletak dari kurang sigapnya PBB dalam membuat keputusan di berbagai konflik dan juga terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan negara-negara besar. Dari sanalah tantangan muncul bagi PBB untuk menjalankan misinya sebagai aktor utama menjaga kestabilan perdamaian dan keamanan internasional yaitu melalui perbaikan kinerja terkait aksi yang lebih pro aktif dan merepresentasikan pemikiran semua elemen masyarakat internasional.

Introduction
            Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang menjadi wadah dalam berbagai hubungan dan kerja sama internasional termasuk kerjasama dalam menjaga kestabilan perdamaian dan keamanan dunia. Aksi-aksi terkait banyak dijalankan terutama aksi-aksi kemanusiaan dimana banyaknya konflik dan pertikaian serta bencana alam yang terjadi menjadikan PBB harus selalu sigap dan siap dalam menjalankan tugasnya sebagai aktor dan organ utama ini. Intervesni kemanusiaan sendiri dilakukan sebagi upaya untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di suatu negara, dengan kekuatan-kekuatan tertentu, baik itu dengan kekuatan diplomatik dan militer di suatu negara dengan atau tanpa persetujuan negara yang mengalami konflik internal tersebut.[1]
Sebagaimana disebutkan dalam Piagam PBB, salah satu tujuan utama PBB adalah, “to achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character”.[2] Berdasarkan hal tersebut humanitarian atau kemanusiaan menjadi fokus bahasan yang penting dan utama dan tidak bisa dipisahkan dalam sebagian besar pelaksanaan kegiatan PBB. Dunia internasional menjadikan PBB sebagai organisasi untuk menkoordinasikan berbagai operasi terkait kemanusiaan akibat konflik maupun bencana alam. Istilah humanitarian dan human right atau hak asas manusia tercatat dan disebutkan tujuh kali dalam Piagam PBB sehingga menjadikan perlindungan hak asasi manusia ini menjadi tujuan utama sekaligus prinsip organisasi. Pada tahun 1948, telah disebutkan melalui Universal Declaration of Human Rights menjadikan hak asasi manusia tercantum dalam ranah hukum internasional dimana sejak saat itu. PBB di dalam kegiatannya telah banyak melindungi hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan melalui instumen hukum maupun kegiatan langsung termasuk intervensi.
Terlepas dari masalah hukum dan legalitas, terdapat kewajiban moral yang harus dijunjung tinggi oleh dunia internasioan termasuk oleh PBB. Adanya banyak perdebatan terkait intervensi kemanusiaan dan banyaknya perbedaan kepentingan menjadi salah satu alasan utama yang dapat menghambat maksimalnya aksi PBB dalam intervensi kemanusiaan. Namun demikian hingga kini, peran PBB terbukti masih selalu aktif dan diandalkan dalam beberapa kasus. Merujuk pada beberapa kasus intervensi kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia, PBB selalu hadir menawarkan diri untuk menjadi aktor dalam intervensi ini. Terlepas apakah aksi intervensi kemanusiaan tersebut dilaksanakan secara maksimal ataupun tidak. Nyatanya, masih di beberapa kasus tertentu masih banyak terlihat ketidaksempurnaan aksi PBB dalam intervensi kemanusiaan.
Dalam paper ini akan coba dijelaskan bagaimana peran dan signifikansi PBB dalam aksi-aksi terkait kemanusiaan di beberapa studi kasus tertentu. Apa saja tantangan dan hambatan yang timbul dan bagaimana PBB mengatasinya. Selain itu juga akan coba diuraikan tantangan yang bisa timbul dan dihadapi PBB di masa yang akan datang khususnya seberapa jauh PBB dapat menjalankan visi dan misinya sebagai organ yang utama dalam menjaga kestabilan perdamaian dan keamanan dunia. Untuk lebih mudah memahaminya penulis akan mengangkat beberapa studi kasus yang menarik terkait intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia tahun 1992, dan Rwanda tahun 1994 dimana melalui kedua kasus tersebut dapat kita analisis dan evaluasi kinerja PBB sebagai aktor intervensi yang tugas utamanya adalah menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.

United Nations’s Action in Humanitarian Intervention
Istilah humanitarianisme memang sulit untuk dijelaskan namun apabila dikaji lebih jauh humanitarianisme merupakan suatu prinsip yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam hak asasi manusia dimana termasuk ke dalamya adalah pelarangan penganiayaan terhadap warga sipil maupun pengakuan hak-hak asasi manusia itu sendiri. Humanitarianisme sering dikaitkan dengan intervensi kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan timbul ketika suatu negara dirasa tidak mau atau tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya untuk melindungi serta memulihkan pelanggaran HAM warga negaranya sendiri sehingga tanggung jawab tersebut diambil alih oleh dunia internasional.[3]
Disini PBB hadir sebagai aktor yang memiliki legalitas dan legitimasi resmi untuk melaksanakan intervensi kemanusiaan tersebut. PBB digunkan sebagai organisasi yang merespresentasikan aksi dan tindakan serta pemikiran dunia internasional. Legalitas dan legitimasi mengenai intervensi kemanusiaan muncul pada tahun 1990an berdasarkan hukum internasional dan piagam PBB Bab VII, yaitu dunia internasional melalui Dewan Keamanan PBB berhak melakukan intervensi apabila terjadi pelangaran HAM yang berat di suatu negara atau kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.[4]
Era 1990 menjadi era keemasan banyak terjadinya intervensi kemanusiaan karena di masa ini, pemikiran suatu negara untuk melindungi negara lain yang terancam mulai berkembang. Selain itu jumlah intervensi kemanusiaan di dunia internasional begitu banyak dan meningkat drastis di era ini termasuk intervensi militer di Somalia pada tahun 1992 dan Rwanda di tahun 1994. Meskipun banyak perdebatan dan pertentangan mengenai makna intervensi kemanusiaan yang timbul saat itu dimana menyangkut motif sesungguhnya di balik intervensi hingga keabsahan intervensi namun berbagai perdebatan tersebut akhirnya melahirkan suatu konsep pada tahun 2001 yang dikenal dengan The Responsibility of Protect (R2P) oleh International Commsion on Intervention and States Sovereignty (ICISS).
 The Responsibility of Protect (R2P) merupakan suatu konsep yang mengemukakan bahwa intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai untuk melindungi hak asasi manusia dan terancamnya kestabilan internasional. The Responsibility of Protect  merubah fokus perdebatan antara sovereignty versus human right menjadi bagaimana cara terbaik melindungi manusia dari berbagai ancaman kemusnahan massal.[5] Konsep inilah yang sebenarnya mendasari dunia internasional melalui organisasi PBB untuk mengintervensi suatu negara. Beberapa intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh PBB dapat dianalisis melalui studi kasus sebagai berikut:

Ø  Somalia (1992)
Somalia merupakan negara di Afrika Timur yang masih terbelakang. tingkat kemiskinanannya tinggi dan less development sehingga rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Studi kasus intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata kasus intervensi yang menimbulkan perdebatan mengenai motif sesungguhnya di balik intervensi tersebut. Perdebatan berujung terhadap apakah intervensi termasuk charity ataukah duty ataukah bahkan keduanya. Secara singkat, konflik yang terjadi di Somalia berawal dari jatuhnya Presiden Siad Barre pata tahun 1991. Pasca digulingkannya pemerintahaan presiden Siad, pergolakan dan perang antar klan[6] terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan fasilitas umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi agrikultur sehingga menyebabkan krisis pangan.[7]
Lalu bagaimana PBB ikut andil dalam intervensi kemanusiaan di Somalia ini? Kontribusi PBB dapat diperinci sebagai berikut:[8]
a.       UNOSOM I (United nations Operation in Somalia)
Pada awalnya PBB memberikan mandat melalui UNOSOM I (United nations Operation in Somalia) yang diturunkan pada April 1992 untuk memberikan dan mendistribusikan bahan pangan. Namun operasi ini gagal karena 3000 pasukan yang dikirimkan tidak berhasil mendistribusikan bahan pangan sehingga membusuk.
b.      UNITAF (Unified Task Force)
Setelah kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin pasukan intervensi. Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 794 dengan otorisasi dan mandat “all necessary means to establish as soon as possible a secure environment for humanitarian relief operations in Somalia[9]. Kontribusi AS dikenal dengan UNITAF (Unified Task Force) yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah Piagam PBB Bab VII.[10] Di dalam pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang mengutamakan force di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara serta elemen-elemen militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya intervensi sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap misi-misi PBB yang baru.[11]
c.       UNOSOM II
UNOSOM II diturunkan pada Maret 1993 sebagai pengganti sekaligus fase kedua dari intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas meneruskan yang dimulai oleh UNITAF untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Somalia. Mandat baru ini juga akan memberdayakan UNOSOM II untuk membantu rakyat Somalia dalam membangun kembali kehidupan ekonomi, politik dan sosial mereka, melalui pencapaian rekonsiliasi nasional untuk menciptakan suatu Negara Somalia yang demokratis. Misi PBB melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan Keamanan melalui Resolusi 814 pada 26 Maret 1993. Namun pengambil alihan operasi tersebut belum secara resmi ditetapkan hingga UNITAF dibubarkan pada 4 Mei 1993. UNISOM II memiliki kekuatan hingga 28.000 personil mencakup 22.000 tentara dan 8.000 logistik dan staf sipil dari berbagai negara.[12]

Ø  Rwanda (1994)
Rwanda merupakan sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah. Tahun 1994 menjadi sejarah hitam bagi Rwanda dimana terjadi pembantaian etnis besar-besaran atau genosida. Konflik di Rwanda berawal dari pertenangan antara etnis Hutu dan Tutsi mengenai pertentangan tentang siapa yang seharusnya dan sepantasnya menjalankan roda pemerintahan. Dimulai pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Peristiwa tragis penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade oleh kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi. Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.[13]
Lain halnya dengang Somalia, konflik yang terjadi di Rwanda dinilai tidak mendapat perhatian secara maksimal dari pihak internasional, dalam arti pihak internasional maupun PBB dinilai lamban dalam merespon permasalahan yang ada. Padahal dalam kasus ini terjadi kejahatan internasional yaitu pembunuhan secara massal atau disebut genosida. Negara-negara besar seperti Perancis, Inggris dan Amerika Serikat hanya bergerak menyelamatkan dan mengungsikan warga negaranya yang saat itu berada di Rwanda. Alasan utama tinggal diamnya negara-negara besar adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional. Jadi negeri yang lain tidak memiliki national interest terhadap Rwanda. Selain itu, negeri ini tidak memiliki sumber daya alam yang menguntungkan menurut negara-negara tersebut.
Bagaimana dengan PBB? Dalam konflik Rwanda ini, intervensi kemanusiaan yang dilaksanakan oleh PBB hanya sebatas menjadikan dirinya sebagai peacekeeping dimana kontribusinya dapat diperinci sebagai berikut:
a.       UNOMUR (United Nations Observer Mission Uganda-Rwanda)
Keterlibatan PBB sudah dimulai ketika mulai banyak terjadi pentempuran antara angkatan bersenjata pemerintah (Armed Forces of the mainly Hutu Government of Rwanda) dengan pemberontak Tutsi (Tutsi-led Rwandese Patriotic Front (RPF)). Rwanda dan Uganda kemudian meminta pengerahan pengamat militer di sepanjang perbatasan untuk mencegah penggunaan militer dan bentrokan dengan RPF. Dewan Keamanan PBB pada bulan Juni 1993 akhirnya mendirikan Observer Mission Uganda-Rwanda (UNOMUR).[14]


b.      UNAMIR (United Nations Assistance Mission for Rwanda)
UNAMIR awalnya didirikan untuk membantu melaksanakan Perjanjian Perdamaian Arusha ditandatangani oleh para pihak Rwanda pada 4 Agustus  1993. UNAMIR didirikan Dewan Keamanan PBB dengan mandatto assist in ensuring the security of the capital city of Kigali; monitor the ceasefire agreement, including establishment of an expanded demilitarized zone and demobilization procedures; monitor the security situation during the final period of the transitional Government's mandate leading up to elections; assist with mine-clearance; and assist in the coordination of humanitarian assistance activities in conjunction with relief operations.” Namun seiring berkembangnya konflik yang terjadi di Rwanda, PBB berkali-kali memperbaharui resolusi-resolusinya. Melalui resolusi DK PBB 912 (1994) pada 21 April 1994, UNAMIR bertindak sebagai perantara antara pihak-pihak yang bertikai. Setelah situasi di Rwanda memburuk lebih lanjut, mandat UNAMIR ini diperluas oleh DK melalui resolusi 918 (1994) pada 17 Mei 1994, untuk memungkinkan UNAMIR berkontribusi terhadap keamanan dan perlindungan pengungsi dan warga sipil.[15]
Pasca konflik dan berakhirnya genjatan senjata, UNAMIR tetap berperan aktif untuk Rwanda. Tugas UNAMIR disesuaikan lebih lanjut oleh DK PBB untuk memastikan stabilitas dan keamanan dan mendorong kembalinya populasi pengungsi serta membantu mencapai rekonsiliasi nasional. Hal tersebut diperkuat oleh resolusi 997 (1995) tanggal 9 Juni 1995. Resolusi berikutnya juga dikeluarkan yaitu resolusi 965 (1994) 30 November 1994 yang membahas mengenai pengadilan internasional untuk kejahatan di Rwanda dan resolusi 1029 (1995) dengan fokus utama memfasilitasi pengembalian keamanan dengan persetujuan pemerintah Rwanda.[16]


c.       ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda)
ICTR dibentuk taggal 8 November 1994 oleh Dewan Keamanan sebagai pengadilan internasional untuk Rwanda dengan tujuan tunggal mengadili dan menuntut tanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda.[17] Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28 orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[18]

Evaluation and Challanges for United Nations
            Terdapat masing-masing poin yang harus ditekankan dalam aksi PBB terkait dua contoh studi kasus intervensi kemanusiaan di atas yang bisa kita analisis sebagai bahan evalusi kinerja serta efektifitas PBB dalam menjalankan misi dan visinya menjaga perdamaian dan kestabilan dunia. Pertama dalam kasus Somalia, PBB menjadi aktor utama dalam menyelenggarakan operasi-operasi peacekeeping dan peacebuilding serta memberikan izin maupun mandat melalui resolusi-resolusinya. Dalam operasi UNISOM I, PBB mengalami kegagalan di sektor pendistribusian makanan. Dikatakan bahwa,
“Deployment of UNOSOM I was slow and chronic lawlessness prevented aid from being distributed.”[19]
Dari sana dapat kita lihat bahwa kegagalan PBB adalah karena tindakan mereka yang cenderung lamban. Dikatakan juga bahwa,
“The complete failure of the Somali state had made it impossible for relief workers to safely distribute aid to those in need and thus food was often left to rot in the Port of Mogadishu”[20]

“..the hunger crisis in Somalia was not a result of a lack of food, but rather a lack of access to food.”[21]
Memang hal kecil seperti pendistribusian makanan terdengar hal yang simple dan mudah dilakukan, namun dalam kondisi di tengah-tengah konflik, ternyata organisasi besar seperti PBB nyatanya belum mampu melaksanakan secara maksimal sehingga mengakibatkan hal besar seperti krisis pangan dan kelaparan. Memperbaiki kegagalannya, PBB akhirnya mengeluarkan mandat untuk menjadikan AS pemimpin bagi misi operasi lainnya di Somalia yaitu UNITAF.
“UNITAF quickly went to work securing supply routes throughout Mogadishu and the greater Somali countryside. The transformation of the Port of Mogadishu into a secure military zone quickly allowed aid groups to continue the importation of humanitarian supplies free from the threat of thievery or extortion by the local militias.”[22]
Pernyataan tersebut memperlihatkan UNITAF telah mampu mengambil alih dengan baik tugas PBB walaupun dibentuk untuk sementara dan sebagai organisasi operasi peralihan hingga dibentuknya UNOSOM II. PBB menyadari betul kesalahannya dan mengambil tindakan tepat dengan mengalihkan misi operasi melalui AS. Namun critical tulisan lain menyebutkan dan mempertanyakan sebaliknya. Benar dan sudah tepatkah tindakan PBB mengalihkan kekuasaan kepada AS? Kenapa semudah itu? Beberapa percaya bahwa AS memiliki self interest atas intervensinya di Somalia dimana seharusnya PBB lebih bisa menganalis dan tidak gegabah dalam memberikan mandat. Disebutkan bahwa,


“..If the American people are to say yes to UN peacekeeping, the United
Nations must know when to say no.”[23]
PBB merupakan organisasi internasional terbesar dan merepresentasikan pemikiran negara-negara maupun masyarakat internasional. Dan tidak seharusnya PBB mudah tunduk terhadap negara lain walaupun negara tersebut memiliki pengaruh dan power yang besar seperti AS. PBB harus bisa menganalisis dan berani untuk berkata ‘tidak’ terhadap apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran dunia internasional.
Sedangkan terhadap kasus intervensi kemanusiaan di Rwanda, sebenarnya cukup banyak yang tulisan yang membahas dan mengevaluasi mengenai kegagalan PBB dalam intervensi kemanusiaan di Rwanda. Kegagalan tersebut dalam arti bahwa PBB tidak bisa lebih cepat memberikan intervensi sehingga genosida tidak bisa dihindarkan. UNOMUR dan UNAMIR merupakan langkah awal PBB dalam mengintervensi Rwanda. Namun di dalam operasinya, UNAMIR tidak dapat menyelesaikan misinya dengan baik. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jika dianalisis, penyebab yang pertama adalah terdapat hubungan dengan studi kasus terdahulu di Somalia. Dikemukakan bahwa,
“..the “shadow of Somalia” was still present and made states as well as the UN Secretariat unwilling to engage in another Peace Operation in Africa.”
Adanya kegagalan intervensi kemanusiaan di Somalia, membuat PBB sendiri ragu untuk mengerahkan operasi militer. Terlebih lagi, banyak negara yang tidak mendukung operasi ini karena tidak adanya national interest di Rwanda.[24]
“inaction was due to national interest: the United States decided not to intervene in Rwanda as there was no national interest at stake. France, which had national interests at stake, did not try to save Rwandan lives, but actively contributed to the genocide.”[25]

“The veto clause was not resorted to by any member of the Secutiry Council and the resolution authorising UNAMIR was adopted after the peace aggrement was signed in Arusha, Tanzania on 4 August 1993. The only western power with any influence in Rwandese politics was France.”[26]
Dikatakan bahwa beberapa aksi internasional memang dipelopori dan dipimpin AS, dan apabila tidak ada dukungan dan sponsor dari AS, maka operasi pengiriman pasukan perdamaian tidak akan maksimal. Hal tersebut membuat terjadinya hambatan UNAMIR yaitu tidak memadainya pasukan tentara.[27] Selain itu, adanya pasukan intervensi Perancis, yang pada dasarnya memiliki kepentingan atas Rwanda tidak menolong menghentikan genosida namun justru sebaiknya yaitu mendanai dan membantu pasukan pemberontakan militan melawan warga sipil. Kurangnya interest dari dunia internasional terhadap kasus di Rwanda pada akhirnya menjadi tanggung jawab PBB juga. Dalam arti,
“The Security Council bears a responsibility for its lack of political will to do more to stop the killing.”
Dikatakan juga, minimnya aksi intervensi PBB dikarenakan kurangnya laporan dari media mengenai genosida yang terjadi sehingga tidak ada dorongan dan tekanan dari masyarakat internasional secara terbuka. Untuk membayar kesalahannya, PBB kemudian membentuk ICCTR dimana  fokus untuk mengadili pelaku kejahatan genosida.
Lalu tantangan seperti apa yang dihadapi PBB saat ini dan di masa yang akan datang? Berdasarkan dua studi kasus yang dipaparkan, dapat terlihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi PBB adalah kurang sigapnya aksi PBB terkait intervensi kemanusiaan. Dalam kasus di Somalia maupun Rwanda, PBB cenderung lamban dan acuh terhadap permasalahan dan konflik yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Penulis menaganlisis bahwa terdapat banyak alasan namun satu hal yang panting, permasalahan tersebut diakibatkan kurang seragamnya kepentingan politik negara-negara anggota PBB. Terlebih lagi, kekuatan keputusan PBB terletak pada negara-negara besar seperti AS dan Perancis misalnya. Dikatakan bahwa,
“The UN made the great powers permanent member of the Security Council and gave them the ability to veto any action implemented by the Council”[28]
Dalam beberapa aksi intervensi kemanusiaan, negara besar seperti AS banyak memegang kendali termasuk intervensi di Somalia. Padahal, belum tentu intervensi yang mereka lakukan murni atas dasar norma dan nilai kemanusiaan. Bahkan di kasus Somalia, perdebatan mengenai motif sebenarnya atas intervensi muncul. Di dalam kasus Rwanda AS sebenarnya bisa dengan jelas membaca kejadian yang terjadi namun karena tidak ada national interest, maka tidak ada aksi yang nyata pula. Dari sini muncul tantangan tersendiri bagi PBB  yaitu yang pertama untuk lebih sigap dalam membaca situasi dan konfli yang ada sehingga mampu memberikan keputusan yang tepat dan cepat. Yang kedua adalah untuk lebih bisa memilah dan menganalisis keputusan yang diambil menyangkut ide dari negara-negara besar beserta kepentingannya. Seperti yang dikemukaan  White, “A clear political objective is a necessary pre-condition for sucessful military operation”  bahwa berbagai operasi militer termasuk intervensi, membutuhkan analisis mengenai tujuan politik yang jelas oleh aktor-aktor intervensi.

Conclution
            PBB merupakan organisasi internasional tertinggi yang merepresentasikan aksi dunia internasional termasuk dalam aksi-aksi intervensi kemanusiaan. Studi kasus mengenai intervensi kemanusiaan di Somalia dan Rwanda merupakan kasus tidak maksimalnya PBB dalam bertindak sebagai aktor penjaga kestabilan dan keamanan internasional. Evaluasi yang dapat diambil bahwa di dua kasus ini, PBB cenderung lamban dalam bersikap maupun memberikan mandat dan perintah. Terlebih lagi, PBB dengan mudah memberikan kepercayaan kepada negara dengan super power seperti AS untuk mendominasi bahkan menggantikan aksinya. Di kasus Somalia, tindakan tersebut pada akhirnya menimbulkan perdebatan mengenai motif di balik intervensi. Dan di kasus Rwanda, menyebabkan timbulnya potret nyata kegagalan intervensi sehingga menimbulkan genosida. Pelajaran yang dapat diambil dari Somalia dan Rwanda, bahwa muncul tantangan baru bagi PBB untuk memperbaiki kinerjanya lebih pro aktif dan lebih sigap dalam membaca situasi dan konflik yang ada sehingga mampu memberikan keputusan yang tepat dan cepat. Kemudian PBB juga dituntut tidak mendiskriminasi keputusan hanya berdasarkan negara-negara besar saja namun keputusan yang benar-benar merepresentasikan pemikiran masyarakat internasional.

References
[1] Wheeler J. Nicholas & Bellamy J. Alex. 2001. Humanitarian Intervention in World Politics  dalam Baylis .John & Smith Steve The Globalization of World Politics. Oxford University Press, New York 2001. Chapter 30
2 Journal of The United nations. Diakses secara online melalui  <http://www.un.org/en/documents/journal.asp> pada 24 Juni 2015.
3 Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
4 Ibid.
5 Zimmermann, Dominik. 2014. Why is The Practice of Humanitarian Intervention so Controversial?
6 Konstruksi identitas etnis berawal dari pembagian wilayah somalia menurut wilayah kependudukan penjajahan. British Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang dulunya dikuasai Italia.
7 Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses kembali secara online melalui http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html  pada 27 Juni 2015.
8 Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 27 Juni 2015.
9 United nations Operation in Somalia II. Diakses kembali secara online melalui < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 27 Juni 2015.
10 Ibid.
11 Unified Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> pada 27 Juni 2015
12 Ibid.
13 Rwanda Genocide Timeline. Diakses kembali secara online melalui <http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm> pada 27 Mei 2015
14 Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 27 Juni 2015
15 Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 27 Juni 2015
16 Ibid.
17 International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 27 Juni 2015.
18 Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran> pada 27 Juni 2015
19 Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 28 Juni 2015.
20 White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 27 Juni 2014.
21 Ibid.     
22 Ibid.
23 Ibid.
24 Maritz, Dominique. 2012. Rwanda Genocide: Failure of The International Community. E-International Relation Student. Jurnal online diakses melalui < http://www.e-ir.info/2012/04/07/rwandan-genocide-failure-of-the-international-community/> pada 29 Juni 2015.
25 Ibid.
26 Ibid.
27 Lysistrata, Mako Mira. Peranan Operasi Peacekeeping PBB dalam Stabilitas di Rwanda Periode 1993-1994.  Diakses melalui < https://prezi.com/vcv-9yj9ikrs/peranan-operasi-peacekeeping-pbb-dalam-stabilitas-di-rwanda/> pada 29 Juni 2015.
28 Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.







(Jumlah kata : 3.616 kata)


[1] Wheeler J. Nicholas & Bellamy J. Alex. 2001. Humanitarian Intervention in World Politics  dalam Baylis .John & Smith Steve The Globalization of World Politics. Oxford University Press, New York 2001. Chapter 30
[2] Journal of The United nations. Diakses secara online melalui  <http://www.un.org/en/documents/journal.asp> pada 24 Juni 2015.
[3] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press, New York 2004
[4] Ibid.
[5] Zimmermann, Dominik. 2014. Why is The Practice of Humanitarian Intervention so Controversial?

[6] Konstruksi identitas etnis berawal dari pembagian wilayah somalia menurut wilayah kependudukan penjajahan. British Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang dulunya dikuasai Italia.
[7] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses kembali secara online melalui http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html  pada 27 Juni 2015.
[8] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 27 Juni 2015.
[9] United nations Operation in Somalia II. Diakses kembali secara online melalui < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 27 Juni 2015.
[10] Ibid.
[11] Unified Task Force. Diakses kembali melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> pada 27 Juni 2015
[12] Ibid.
[13] Rwanda Genocide Timeline. Diakses kembali secara online melalui <http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm> pada 27 Mei 2015
[14] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 27 Juni 2015
[15] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 27 Juni 2015
[16] Ibid.
[17] International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 27 Juni 2015.
[18] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran> pada 27 Juni 2015
[19] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 28 Juni 2015.
[20] White, Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf> pada 27 Juni 2014.
[21] Ibid.          
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Maritz, Dominique. 2012. Rwanda Genocide: Failure of The International Community. E-International Relation Student. Jurnal online diakses melalui < http://www.e-ir.info/2012/04/07/rwandan-genocide-failure-of-the-international-community/> pada 29 Juni 2015.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Lysistrata, Mako Mira. Peranan Operasi Peacekeeping PBB dalam Stabilitas di Rwanda Periode 1993-1994.  Diakses melalui < https://prezi.com/vcv-9yj9ikrs/peranan-operasi-peacekeeping-pbb-dalam-stabilitas-di-rwanda/> pada 29 Juni 2015.
[28] Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.