My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Wednesday, November 25

Organization of INGOs: The Case of Greenpeace Spain

Dalam pemahaman mengenai studi organisasi bisnis internasional, Internasional Non Governmental Organization atau INGO merupakan salah satu subyek yang menarik untuk dikaji. Tidak hanya dalam ranah aplikasi dan implementasinya dalam tatanan hubungan internasional namun juga kondisi intern organisasi seperti struktur pengorganisasian. Berbeda dengan organisasi internasional yang memiliki sistem pngorganisasian atau struktur organisasi yang baku, INGO justru sebaliknya yaitu tidak memiliki susunan yang resmi. Kebanyakan INGO bekerja dengan berdasarkan kebutuhan atau based on need dimana mereka memiliki orientasi yang berbeda-beda sesuai dengan key issue yang mereka tangani. Selain itu beberapa INGO juga memiliki level operation yang berbeda-beda sehingga dengan beragamnya klasifikasi yang mereka miliki, INGO memiliki sifat yang sangat berbeda dengan IGO. INGO lebih bersifat independence dan tidak menggantungkan diri pada state (not rely on any state).[1] Salah satu INGO yang bisa kita amati pengorganisasiannya adalah Greenpeace (GP). Greenpeace merupakan salah satu organisasi internasional yang memiliki fokus terhadap lingkungan global dan environment dimana memiliki kantor cabang lebih dari 40 negara dengan kantor pusat di Amestredam, Belanda. Di dalam paper ini akan coba dijelaskan mengenai bagaimana GP beroperasi dan bagaimana struktur organisasi ataupun pengorganisasian dalam GP. Untuk lebih memperdalam, akan diambil studi kasus GP di Spanyol dimana pada tahun 2004 hingga 2012 GP sempat mengalami perubahan tujuan mengenai konsep campaign power menjadi people power. Thesis statement atau argumen yang dipakai adalah bahwa GP Spain bekerja sesuai dengan kebutuhan global dimana perubahan tujuan organisasi akan membuat perubahan sistem pengorganisasian.
Greenpeace Spain : How does it Work?
Geenpeace (GP) pada mulanya adalah merupakan lembaga swadaya masyarakat berbasis environmental yang didirikan di Vancouver, British Columbia, Kanada pada 1971.[2] Pada awalnya hanya bertujuan untuk menghentikan percobaan nuklir yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat di Alaska dimana  aksi yang digalakkan berupa aksi langsung tanpa kekerasan dan konfrontasi. Nama Greenpeace diadaptasi pasca penghentian aksi aktivis pertama dimana nama awal organisasi ini adalah Don’t Make A Wave Commitee. Kini GP telah memiliki kantor cabang lebih dari 40 negara termasuk Indonesia dan Spanyol dimana fokus tujuan mereka sudah banyak berkembang seperti penghentian berbagai perusakan lingkungan misalnya saja pengujian nuklir, penangkapan ikan, deforestasi dan sebagainya.[3]
Jika ditannya mengenai struktur organisasi, GP internasional tetap berbasis di Belanda sebagai negara awal pendiri dengan 28 cabang regional di 45 negara yang bekerja secara otonom di bawah pengawasan GP internasional. Untuk GP Spain sendiri bermarkas di 107 San Bernardo 128015 Madrid.[4] Pelaksanaan operasional dan organisasional secara garis besar sama seperti di negara-negara lain dimana di tiap aktivitasnya diawasi dan ditinjau pelaporannya oleh GP internasional. Walaupun demikian, GP Spain tidak memiliki line of organization dengan GP di negara-negara lain ataupun dengan GP intrenasional secara khusus. GP Spain mengandalkan network untuk menghubungkan bagaimana line of command yang dapat menghubungkan GP Spain dari konteks lokal ke global. Network dapat menghubungkan kinerja antar cabang GP sehingga memperpendek sosial space dan global space sehingga dapat bekerja sama menangani isu-isu secara bersamaan bahkan menangani isu-isu lintas batas (lintas isu).[5]
Menurut formasi organisasionalnya, GP Spain memiliki struktur sesuai conventional headquarter dimana memiliki sub unit structure namun polanya tidak struktural dalam arti formasi organisasionalnya utamanya tergambar dengan adanya exeutive director sebagai pusat kepemimpinan dengan empat sub unit bagian yaitu  finance department, fundrising department, communication department, campaign department. Struktur utama tersebut kemudian nantinya diadaptasi dan ditambah sesuai dengan program ataupun kebutuhan menurut tujuan yang sedang atau ingin dicapai. Hal tersebut sesuai dengan ciri dari pada format struktur organisasional INGO dimana bersifat tidak baku, based on need dan tidak ada persyaratan adanya kepemimpian (no requirement of head).[6]

GP Mobilization : Push Campaign Power to People and its Impact to Organization
            Ada satu hal menarik yang dapat kita gali melalui program yang sedang digalakkan GP Spain. GP Spain sebagai organisasi advokasi tidak hanya selalu terfokokus ke dalam masalah kekuatan kampanye (campaign power) untuk mengutarakan maksud dan tujuannya. GP Spain menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, lebih menyeluruh dan bersifat terjun langsung ke lapangan atau strategi keterlibatan langsung. Untuk itulah GP Spain menggalakkan mobilisasi pada tahun 2004 untuk mengubah konsep utamanya yang awalnya hanya terfokus ke arah campaign power bergeser ke arah people power yaitu bagaimana memberdayakan orang untuk self-organize yang nantinya berguna bagi keberlanjutan masyarakat di semua level.
            Perubahan tujuan tersebut sekaligus berdampak pada perubahan struktur organisasinya. GP Spain melakukan dengan mengubah kinerja para staffnya dengan membentuk suatu departemen khusus yang bernama Departemen Partisipasi (Participation Department) dengan dikepalai oleh director dan dibantu oleh assistant. Di dalamnya lagi, terdapat 3 sub bidang yaitu volunteers, actions dan enviromental education.[7] Bersama, mereka membangun hubungan dengan orang-orang secara langsung maupun secara online. Untuk lebih jelasnya, bagan gambar struktur dapat dilihat melalui gambar di bawah.




            Struktur ini digunakan hingga periode tahun 2010 dimana di dalamnya banyak tantangan yang dialami GP Spain. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya adalah permasalahan multiple database. Semakin banyak pastispator dalam suatu organisasi, maka database akan semakin tumbuh besar dan rumit karena memang terdapat lebih banyak orang yang terlibat. Hal tersebut berpengaruh terhadap penyatuan kinerja dan penyamaan matriks tujuan. Untuk mengatasi tantangan awal tersebut, digunakan sistem komunikasi online yang diharapkan dapat mempermudah pengorganisasian database. Ternyata pada kenyataannya, timbul tantangan baru yaitu dengan sistem online yaitu transparansi menjadi menurun.[8]
            Akibatnya untuk kesekian kalinya, pengorganisasian dalam GP Spain diubah.  Pada awal tahun 2010, tim education diubah menjadi tim mobilization dimana di dalamnya teradapat  koordinator online mobilization. Kemudian GP Spain juga mendirikan tiga tim lintas departemen dimana masing-masing memiliki anggota 3-4 orang dari fundrising,  communication, dan participation department. Tim lntas departemen atau cross department teams ini bertujuan utama untuk meningkatkan penguatan jaringan sosial (social network), database dan martiks yang ada dalam organisasi. Struktur ini digunakan hingga tahun 2011 dan secara jelas dapat dilihat melalui gambar di bawah.
 

           
            Kemudian hingga awal tahun 2012, cross departement team tersebut akhirnya dikukuhan dan digabungkan menjadi online group dimana lebih terfokus untuk terus meningkatkan kolaborasi dan fokus terhadap isu antar organisasi. Skema lebih jelas dapat dilihat melalui gambar di bawah.
              

               Ketiga skema di atas menggambarkan perubahan struktur pengorganisasian yang dilakukan oleh INGO GP Spain dengan sangat mudahnya. GP Spain langsung menambah atau mengubah struktur orgaisasi untuk menyesuaikan dengan tujuan, visi dan misi mereka. Secara garis besar, struktur organisasi tersebut disusun berdasarkan apa yang memang dibutuhkan (based on need).[9] Selain itu perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ada di lapangan. GP Spain bermasil mengubah konsep campaign power menjadi people power dengan memaksimalkan kinerja staffnya yaitu dengan cara perombakan departemen dan pengorganisasian.     




Conclusion
Organization of INGOs membahas mengenai pentingnya pengorganisasian dalam INGOs. INGOs tidak memiliki susunan pengorganisasian yang baku sama seperti internasional organisasi. Struktur organisasi INGOs berdasarkan orientasi key issue tertentu dimana didasakan pada kebutuhan atau based on need. GP Spain merupakan salah satu contoh INGO yang merubah struktur pengorganisasian seimbang dengan perubahan tujuan yang akan dicapai. GP Spain merubah konsep awal campaign power menjadi people power. Cara yang digunakan adalah merubah pengorganisasian dengan menambah dan merombak departemen. Participation Departement dibentuk untuk menerapkan strategi keterlibatan langsung.Untuk meningkatkan kolaborasi antar organisasi juga dibentuk Cross Departement dan Online Group. Ketiga bentuk perubahan tersebut menunjukkan bahwa struktur organisasi dalam INGOs memang bersifat fleksibel, tidak baku dan memiliki format yang spesial. Walaupun demikian, mereka tetap memiliki line of command sehingga masih tetap dapat berinteraksi dan berhubungan satu sama lain melalui jaringan network yang mengglobal.

Referensi : 
[[1]] Kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional pada 11 November 2015 dengan pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D dan Bapak Vinsensio Dugiis Ph.D.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Greenpeace diakses secara online pada 18 November 2015.
[3] http://www.greenpeace.org/international/en/ situs resmi, diakses secara online pada 18 November 2015.
[4] http://www.greenpeace.org/espana/es/ situs resmi, diakses secara online pada 18 November 2015.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Katz, Hagai & Helmut Anheier. 2006. Global Connectedness: the Structure of Transnational NGO Networks, Global Civil Society 2005/2006, Oxford: Oxford University Press, pp. 240-265.



[1] Kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional pada 11 November 2015 dengan pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D dan Bapak Vinsensio Dugiis Ph.D.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Greenpeace diakses secara online pada 18 November 2015.
[3] http://www.greenpeace.org/international/en/ situs resmi, diakses secara online pada 18 November 2015.
[4] http://www.greenpeace.org/espana/es/ situs resmi, diakses secara online pada 18 November 2015.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Katz, Hagai & Helmut Anheier. 2006. Global Connectedness: the Structure of Transnational NGO Networks, Global Civil Society 2005/2006, Oxford: Oxford University Press, pp. 240-265

Achieving Peace Through International Organization : The Case of World Trade Organization (WTO)

Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya


LONG PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas tengah semester (UTS) mata kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional (OBI)


ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai pengaplikasian logika internasionalisme yang menjelaskan bahwa perdamaian dapat dicapai melalui dua hal yaitu organisasi internasional dan free trade. Cara yang kedua, yaitu peace by international organization dipilih dengan  studi kasus yang diambil adalah mengenai organisasi internasional World Trade Organization (WTO). WTO digunakan sebagai wadah dan jembatan dalam mengatasi konflik yang terjadi antar anggotanya. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan melalui beberapa mekanisme pokok seperti Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement. Beberapa contoh kasus sengeketa yang berhasil diselesaikan dengan baik oleh WTO adalah kasus Selandia Baru versus Australia mengenai impor Apel dan kasus Indoesia versus Amerika Serikat mengenai impor rokok kretek. Dari sana dapat dilihat bahwa perdamaian dapat dicapai melalui adanya organisasi intrenasional. Selain itu juga menunjukkan bahwa menjadi keanggotaan dan menggunakan sistem perdagangan multilateral WTO masih lebih baik daripada jika tidak menggunakan sistem apapun.

Introduction
            Logika internasionalisme menjelaskan mengenai dasar pemikiran dari internasionalisme sendiri dimana semua yang ada dalam ranah hubungan interasional ini sebenarnya berangkat dari konsep dan teori internasionalisme. Tidak terkecuali dalam subyek bidang organisasi dan bisnis internasional. Dijelaskan bahwa konsep dan teori internasionalisme berangkat dari pemikiran mengenai bagaimana menciptakan sebuah perdamaian (how to achieve peace) yang pada akhirnya mengakar pada cara menciptakan pedamaian itu sendiri. Sesuai dari akar internasionalisme, terdapat dua cara mencapai perdamaian. Yang pertama adalah perdamaian melalui organisasi internasional (peace by international organization) dan yang kedua adalah perdamaian melalui perdagangan bebas (peace by free trade) yang memfokuskan kepada benefit atau keuntungan dari perdagangan bebas itu sendiri.[1]
Perdamaian melalui organisasi internasional berangkat dari pemikiran kaum realis sedangkan perdamaian melalui perdagangan bebas berangkat dari konsep universalism. Namun keduanya sama-sama menjelaskan mengenai pentingnya penerapan logika internasionalisme dalam hubungan antar state. Intrenasionalisme dapat mempermudah manusia untuk menciptaan ide-idenya dimana tiap negara pasti memiliki common interest masing-masing yang berbeda-beda. Organisasi internasional membantu menyediakan wadah bagi beragam kepentingan termasuk sebagai wadah penyelesaian konflik apabila terjadi. Tulisan ini mengambil cara yang pertama yaitu peace by international organization dimana berusaha menjelaskan bagaimana logika internasionalisme yang memberikan latar belakang untuk operasional organisasi bisnis internasional dengan menghubungkannya ke dalam studi kasus World Trade Organization (WTO) sebagai salah satu contoh organisasi internasional yang digunakan sebaga wadah untuk mecapai perdamaian melalui penyelesaian konflik atau sengketa yang terjadi antar anggota. Research Question yang coba dibangun adalah bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan WTO sebagai organisasi internasional yang menjadi wadah penyelesaian konflik bagi para anggotanya. Thesis statement untuk menjawabnya adalah bahwa WTO menjadi pihak netral dengan menerapkan mekanisme pokok seperti Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement dalam menyelesaikan konflik antar anggotanya demi tercapainya perdamaian.

Logika Internationalisme
Berbeda dengan globalisasi, internasionalism atau internasionalisme berangkat dari konsep politik yang lahir dari tradisi english school tentang masyarakat internasional (intrenational society). Dikatakan bahwa, “internasionalism refer to the promotion of global peace and well being through development and aplication.” Kerja sama diperlukan dalam hubungan internasional sebagai upaya mempromosikan perdamaian global sehingga menuntut aktor-aktor negara untuk saling berhubungan dengan baik (good relation) dalam institusi internasional. Hal itulah yang menyebabkan dalam internasionalisme, nuansa state dinilai lebih dominan. Inrenasionalisme mengacu pada promosi perdamaian global dan kesejahteraan melalui pengembangan dan aplikasi melalui state-centric.[2]
Teori dan konsep internasionalism yang berakar dari bagaimana menciptakan perdamaian (how to achieve peace) pada akhirya memunculkan gagasan dengan mengkombinasikan dua dasar elemen yakni hukum internasional (international law) dan ekonomi internasional (international economic). Hukum internasional berasal dari organisasi sedangkan ekonomi internasional berasal dari perdagangan (trade). Teori internasional mengkombinasikan Para pemikir realism maupun universalism memiliki pandangan masing-masing mengenai akar dari internasionalisme. Para realis lebih memfokuskan terhadap perdamaian melalui organisasi internasional (peace by international organization) sedangkan kaum universalis memfokuskan terhadap perdamaian melalui perdagangan bebas (peace by free trade). Namun keduanya tetap menganggap bahwa internasionalisme dan logika internasionalisme merupakan pondasi dari hubungan-hubungan internasional.[3]
Menurut kaum liberalisme, dasar pembentukan internasionalisme adalah sekumpulan state-rise of nationalism dimana tumbuh dari tatanan order dan perdamaiana (peace). Tatanan oder dan peace tersebut hanya bisa terjaga jika orang-orang maupun bangsa berfikir liberal dan mengedepankan kepercayaan (trust) serta penghormatan hak asasi manusia. Internasionalisme mempermudah manusia untuk menciptakan ide-idenya sehingga diperlukan sebuah wadah untuk menampung ide-ide tersebut. Dan organisasi internasional merupakan alat dari internasionalisme dimana mengedepankan kerja sama (cooperation) untuk mencapai self determination, humanitarian and global citizenship, peace and security, economic stability.[4] Di dalam teori ketergantungan atau dependency teory, dikemukakan bahwa rasa ketergantungan antar negara timbul karena internasionalisme dimana di ujugnya dapat tercapai peace. Di dalam logika internasionalisme dapat dibangun konsep kepercayaan bahwa dengan bekerja sama, maka dapat memfasilitasi perdamaian. Melalui organisasi badan internasional seperti WTO, wadah pelaksanakan perdamaian antar negara akan semakin terbuka lebar.

Machanism of Achieving Peace Through World Trade Organization (WTO)
Pada tahun 1994, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) resmi digantikan oleh World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota dan mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.[5] Hasil perjanjian Uruguay Round selama 8 tahun dari 1986-1994 tersebut merupakan awal dari era baru dalam konteks perdagangan dunia. Di samping terbentuknya institusi WTO, Uruguay Round juga telah berhasil membangun sistem dan mekanisme yang lebih komprehensif. Item-item perdagangan yang muncul pada era sekarang diadopsi dalam WTO. Tujuan utama WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi melalui UU No. 7/1994.[6]
Sebagai forum yang mempertemukan aktor politik internasional atau negara yang memiliki kepentingan di bidang perdagangan. WTO sebagai organisasi internasional berperan sebagai tempat dan forum bagi negara – negara untuk mempererat hubungan kerja sama maupun memiliki kepentingan di bidang perdagangan. Tidak hanya itu, WTO juga menjadi tempat untuk membuat agenda, kebijakan, maupun perjanjian sebagai sarana dalam melaksanakan perdagangan internasional.  Sebagai sosok vital yang berperan sebagai pengatur, WTO juga bertanggung jawab sebagai mediator dari sengketa perdagangan internasional antara dua negara atau lebih. Suatu sengketa dapat terjadi apabila ada pertentangan misalnya karena adanya pelanggaran ketentuan GATT yang menimbulkan kerugian salah satu pihak. Penyelesaian sengketa WTO sendiri diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau lebih dikenal dengan nama Dispute Settlement Understanding (DSU).  Pengaturan tentang DSU ini dipercayakan kepada sebuah badan yang disebut Dispute Settlement Body (DSB), dimana perwakilan dari seluruh anggota WTO ikut berpartisipasi.[7]
            Lalu bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa apabila benar-benar terjadi konflik? Dalam mekanisme penyelesaian sengketa dalam rezim perdagangan WTO, semua negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Harapannya adalah terwujudnya keadilan serta kompetisi yang fair dalam perdagangan dunia.[8] Menurut John H. Jackson: penyelesaian sengketa perdagangan dalam WTO, memuat sekitar tiga puluh bentuk, termasuk beberapa kewenangan untuk melakukan tindakan sepihak dari peserta yang dirugikan.[9] Namun secara garis besar mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO memiliki empat proses utama yaitu Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement.[10]
1.      Consultations (Konsultasi)
Pada awalnya pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan melalui konsultasi bilateral. Dan apabila pihak yang bersengketa gagal mencapai kesepakatan dan menyetujui untuk membawanya ke WTO maka WTO akan mengambil alih dan menawarkan  jasa mencari penyelesaian dengan baik. Pihak bersengketa diberi waktu untuk mengadakan konsultasi selama enam puluh hari kerja.
2.      Panel Proceedings (Permintaan suatu panel)
Apabila setelah enam puluh hari konsultasi tersebut juga gagal dalam mencapai keputusan, maka pemohon dapat meminta DSB untuk membentuk suatu panel untuk mengadakan pengkajian. Pembentukan suatu panel adalah otomatis dan keanggotan penalis harus terbentuk dalam sepuluh hari setelah persetujuan pembentukan panel.
3.      Appellate Review Proceedings (Proses Banding)
Dalam enam puluh hari, laporan panel harus disahkan dan apabila salah satu
pihak bersengketa tidak setuju dengan ketentuan atau legalitas interpretasi yang berkembang selama dalam proses, pihak yang berkeberatan tersebut dapat mengajuakan keberatannya melalui proses banding. Selanjutnya untuk menangani pengajuan keberatan tersebut, akan dibentuk Apelate Body, yang terdiri dari tujuh orang, yang dalam hal ini yang mewakili adalah para anggota WTO sendiri.
4.      Implementation and Enforcement (Implementasi dan Pelaksanaan)
Apabila sudah disahkannya suatu keputusan final dalam rekomendasi dan pengaturannya, maka pelaksanaannya haruslah dilaksanakan sepenuhnya dengan cepat. Karena hal ini amatlah penting bagi kebersamaan
Sistem penyelesaian sengketa WTO merupakan elemen pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan WTO sangat penting dalam rangka penerapan sistem dan fungsi WTO secara efektif. Dalam konteks hubungan politik maupun perdagangan intemasional, hambatan yang diberlakukan oleh satu negara akan menghambat keseluruhan proses liberalisasi perdagangan global. Oleh sebab itu, adanya organisasi internasional seperti WTO dapat menjadi fungsi yang baik sebgaai wadah maupun jembatan dalam pencapaian perdamaian dimana terbukanya border antar state melalui keanggotaannya dalam organisasi internasional secara tidak langsung dapat menekan berkembangnya konflik itu sendiri.
           
Examples of Cases Handled by World Trade Organization (WTO)
               Berikut adalah beberapa contoh kasus yang mampu diselesaikan dengan baik oleh WTO. 
a.      Selandia Baru versus Australia
Pada tahun 2007, terjadi kasus antara Selandia Baru dan Australia dimana diakibatkan Australia menghentikan impor buah apel dari Selandia Baru dengan alasan apel tersebut terdapat kandungan berbahaya yaitu bakteri fire bright, European cancer dan serangga penyebab pest. Penghentian impor apel tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1920 dan terulang lagi pada tahun 2007. Australia melakukan tindakan fitosanitasi atau upaya yg mengharuskan pemindahan atau penghancuran tanaman yg terinfeksi atau terserang patogen atau hama. Tindakan Australia terhadap proses fitosanitasi impor apel tersebut dianggap tidak sesuai karena penilaian risiko terhadap buah apel Selandia Baru tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kurangnya bukti ilmiah . Oleh karena hal itu Selandia Baru mengajukan gugatan terhadap Australia ke WTO dengan alasan Australia tidak konsekuen dalam menerapkan SPS Agreement (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures) yaitu kesepakatan tentang penerapan ketentuan Sanitasi dan Fitosanitasi.[11]
Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement Of Disputes atau lebih dikenal dengan sebutan DSU, mengatur prosedur penyelesaian sengketa melalui WTO dengan beberapa proses awal seperti Konsultasi dan Mediasi yang dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2007. Karena tidak memberi titik cerah maka Pembentukan Panel dilakukan tanggal 17 Desember 2007 sebgai dewan penengah yang beranggotakan Chili, komunitas eropa, Jepang, Cina, Taipe, Amerika Serikat dan Pakistan. WTO juga memberikan hak banding pada pihak yang ingin mengajukan banding yang didasarkan pada laporan panel dan intepretasi hukum.[12]
Keputusan WTO terhadap kasus ini adalah bahwa Panel menyimpulkan tindakan Australia lebih mengarah kepada menghambat perdagangan ketimbang perlindungan fitosanitari itu sendiri dimana Australia dianggap tidak konsisten dengan pasal 5 (6 ) SPS Agreement. Hal itu laporan oleh panel dan riset ilmiah yang tidak sesuai standart. WTO menerapkan prosedur tidak memberikan hukuman terhadap pihak yang kalah melainkan memberi jangka waktu terhdap pihak yang kalah untuk merubah aturanya agar sesuai dengan SPS Agreement. Maka dari itu WTO memberikan waktu untuk Australia merubah sistem aturanya agar sesuai dengan SPS Agreement.
b.      Indonesia versus Amerika Serikat      
Kasus pertentangan isu perdagangan juga dialami negara kita Indonesia dengan Amerika Serikat. Kasus yag diangkat adalah mengenai pembatasan rokok kretek impor dimana Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Barack Obama mengeluarkan kebijakan baru mengenai pengendalian tembakau sehubungan dengan regulasi AS mengenai Federal Food, Drug, Cosmetic Act yang isinya melarang produksi dan penjualan rokok dengan ciri aroma seperti kretek, Strawbery, anggur, jeruk, kopi, vanilla dan coklat sehingga berdampak pada kerugian terhadap Indonesia sebagai produsen.[13] Indonesia kemudian melayangkan keberatannya kepada WTO pada juni 2010 yang berisi protes terhadap kebijakan AS atas larangan terhadap produk-produk tembakau yang mengandung zat aditif tambahan, seperti cengkeh yang dinilai Indonesia cukup diskriminatif.
Amerika Serikat kemudian menanggapi lewat tuntutan naik banding pada 5 Januari 2012 setelah dikeluarkannya putusan panel pada 2 September 2011 oleh WTO.  WTO menjadi penengah sekaligus moderator dalam kasus ini. WTO melaksanakan prosedur penyelesaian sengketa dengan memposisikan diri sebagai pihak yang netral dengan meminta konsultasi awal pada AS mengenai ketentuan undang-undang pengendalian tembakau yang telah dilaksanakan AS pada tahun 2009. Menanggapi hal tersebut, AS sempat mengajukan banding namun pada akhirnya berdasarkan segala pertimbangan, WTO memenangkan Indonesia dalam sengketa ini pada 2 September 2012 hingga melakukan tindakan pengawasan atas realisasi dari putusan akhirnya
Kedua kasus diatas menunjukkan efektfitas dan peran WTO sebagai organisasi internasional yang mewadahi sekaligus sebagai jembatan dalam penyelesaian berbagai konflik antar anggota. Meskipun dalam beberapa hal WTO banyak mengalami kekurangan, namun di kedua kasus ini, WTO terbukti berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi internasional yang menjadikan berkembangnya perdamian. Logika internasionalisme terbukti dapat diaplikasikan dalam beberapa kasus untuk dua negara sehingga melalui internasionalisme itu sendiri, border atau batasan antara negara menjadi terbuka. Terbukanya dan terealisasinya kerja sama melalui organisasi internasional, dapat membuka kesempatan untuk mencapai suatu perdamaian.

Conclusion
            Logika internasionalisme digunakan sebagai latar belakang pembentukan dan operasional organisasi bisnis internasional. Di dalam logika internasionalisme terkandung pemikiran bagaimana menciptakan sebuah perdamaian (how to achieve peace). Pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni melalui organisasi internasional (peace by international organization) dan yang kedua adalah perdamaian melalui perdagangan bebas (peace by free trade). Dalam kasus ini, WTO menjadi forum organisasi internasional yang melaksanakan peace by international organzation dimana melalui kerja sama dan keanggotaan dalam WTO, konflik yang terjadi dapat teratasi. WTO menjadi wadah sekaligus jembatan penghubung penyelesaian sengketa melalui beberapa mekanisme pokok seperti Consultations, Panel Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement. Beberapa ontoh kasus sengeketa yang berhasil diselesaikan dengan baik oleh WTO adalah kasus Selandia Baru versus Australia mengenai impor Apel dan kasus Indoesia versus Amerika Serikat mengenai impor rokok kretek. Kedua kasus tersebut menunjukkan dan menguatkan asumsi penulis bahwa menjadi keanggotaan dan menggunakan sistem perdagangan multilateral WTO masih lebih baik daripada jika tidak menggunakan sistem apapun. Selain mempermudah dalam masalah poitik dan perdagangan, organisasi internasional juga memiliki fungsi sebagai jembatan mendapatkan perdamaian. Sesuai dengan logika internasionalisme bahwa melalui kerja sama di organisasi internasional, maka bisa memfasilitasi perdamaian.

References
[1] Kuliah Organisasi Bisnis Internasional pada 17 September 2015 dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Andilolo, Shanty Roma. 2005. Peran dispute settlement body (DSB) WTO dalam penyelesaian sengketa dagang. Tesis Hubungan Internasional. Universitas Indonesia.
[6] Sutoyo, Susanto dan tim. Sekilas WTO (World Trade Organization). Edisi Ketiga. Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral.
[7] Petros Mavroidis et.al., 2010, The Law of The World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, US : West Thomson Reuters.
[8] Ibid.
[9] Jackson, John H. 1974. Legal Problem of Economic Relation , St paul minn dalam Sinaga, Thor B. 2014. Efektifitas Peran dan Fungsi WTO (World Trade Organization) dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Jurnal Societatis.
[10] Peter van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University , hlm. 173
[11] Ibid.
[12] Meilia, Koman et all. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Terhadap Kasus Tindakan Fitosanitasi Impor Apel Selandia Baru oleh Australia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana.
[13] Bernadetha, Theresia. 2012. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Rokok Kretek Impor Antara Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.



[1] Kuliah Organisasi Bisnis Internasional pada 17 September 2015 dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Andilolo, Shanty Roma. 2005. Peran dispute settlement body (DSB) WTO dalam penyelesaian sengketa dagang. Tesis Hubungan Internasional. Universitas Indonesia.
[6] Sutoyo, Susanto dan tim. Sekilas WTO (World Trade Organization). Edisi Ketiga. Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral.
[7] Petros Mavroidis et.al., 2010, The Law of The World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, US : West Thomson Reuters.
[8] Ibid.
[9] Jackson, John H. 1974. Legal Problem of Economic Relation , St paul minn dalam Sinaga, Thor B. 2014. Efektifitas Peran dan Fungsi WTO (World Trade Organization) dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Jurnal Societatis.
[10] Peter van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge University , hlm. 173
[11] Ibid.
[12] Meilia, Koman et all. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Terhadap Kasus Tindakan Fitosanitasi Impor Apel Selandia Baru oleh Australia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana.
[13] Bernadetha, Theresia. 2012. Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Rokok Kretek Impor Antara Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Globalization and Human Right Struggle: The Case of Rwanda’s Genocide

Persoalan penindasan hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu isu yang menarik untuk dibahas di ranah hubungan internasional. Pasalnya apabila kita berbicara mengenai HAM, maka juga menyangkut pembahasan mengenai nilai-nilai manusia sebagai makhluk sosial yang patut ditegakkan dalam kehidupan dan tatanan global. Adanya globalisi membuat perkembangan dan kemajuan informasi serta komunikasi sehingga mempermudah akses untuk pelaksanaan penindasan HAM itu sendiri. Di lain pihak, globalisasi juga membuat menguatnya dukungan dan pengakuan terhadap HAM. HAM menyangkut hak dasar kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia yang dimiliki semua orang tanpa terkecuali. Namun adanya perbedaan politik, sosial, budaya dan ekonomi antar negara terkadang berpengaruh terhadap meningkatnya penindasan HAM di suatu wilayah. Misalnya saja adanya minoritas terhadap suatu kaum yang menyebabkan adanya diskriminasi hingga pada akhirnya mengancam hak dan kebebasan untuk hidup. Salah satunya adalah dalam kasus genosida Rwanda. Di dalam paper ini akan coba dijelaskan mengenai bagaimana keterkaitan antara globalisasi dan HAM melalui studi kasus genosida Rwanda dan bagaimana hal tersebut menjadi isu internasional. Thesis statement atau argumen yang dipakai adalah bahwa adanya globalisasi mendorong terjadinya genosida Rwanda sekaligus juga mendorong terjadinya penegakan HAM di Rwanda dari dunia internasional. Globalisasi mempermudah penyampaian informasi propaganda rasis melalui media sebagai katalis penindasan HAM di Rwanda sekaligus globalisasi juga menjadikan dunia internasional lebih mudah mendapatkan informasi dan terrgerak berlomba-lomba melaksanakan intervensi kemanusiaan di Rwanda.



Globalization and Human Right
            Sebelum membahas lebih jauh mengenai case study yang ada, terlebih dahulu kita perlu membahas mengenai hubungan globalisasi dan hak asasi manusia. Pada dasarnya hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat di individu manusia. Dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada pasal pertama mengemukakan bahwa “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood[1] dimana menjelaskan bahwa semua orang berhak atas hak untuk hidup yang tentunya dibatasi juga oleh hak-hak orang lain. Lalu bagaimana hubungannya dengan globalisasi? Memang globalisasi sendiri membawa efek positif maupun negatif termasuk ke dalam aspek hak asasi manusia itu sendiri. Arat mengemukakan bahwa[2],
“Globalization and Human Rights, as a whole, is concerned about understanding the ‘phenomenon’ of globalization and its impact on human rights, whether it establishes a threat to human rights or creates opportunities for the advancement of human rights.”
            Dari sana dapat dilihat bahwa globalisasi seperti pisau bermata dua dimana keberadaannya dapat menjadi ancaman bagi HAM sekaligus sebaliknya, yaitu dapat menjadi pendorong peningkatan kemajuan HAM. Globalisasi menembus sekaligus memperpendek batas ruang dan waktu sehingga terjadi keterkaitan jaringan yang saling berhubungan. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih di bidang komunikasi seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.[3] Globalisasi juga membuat keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa sebagai tatanan dunia semakin besar. Internasionalisme melalui hadirnya organisasi internasional seperti PBB turut membantu menghangatkan kembali isu-isu seputar HAM. Kemajuan HAM sudah menjadi proses dari globalisasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan,
“The advancement of human rights, for example, has been a part of the globalization process: a set of norms and values has been recognized as universal human rights, even though they may not be fully accepted or implemented.”[4]
Dikatakan bahwa  nilai-nilai HAM telah diakui secara universal walaupun mungkin belum dapat sepenuhnya dilaksanakan. Penindasan mengenai HAM tidak hanya sebatas diketahui sebagai isu global, namun juga harus ada tindak lanjut penanganan dunia internasional dalam arti globalizing issues such as human right struggle, demand discussion.[5]

Human Right Struggle : Rwanda’s Genocide
            Genosida merupakan sebuah kejahatan tragis atas pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok tertentu. Dikatakan bahwa,
Genocide is the deliberate and systematic eradication or mass killing of a group or large population identified by the perpetrators. It is the large- scale violation of human rights.
Pernyataan tersebut menekankan bahwa genosida merupakan pelanggaran skala besar dalam hak asasi manusia. Pembunuhan terhadap satu individu saja merupakan suatu kejahatan kemanusiaan. Apalagi pembunuhan besar-besaran seperti genosida. Sisi kemanusian semakin terkikis sehingga diperlukan penanganan dan perhatian ekstra dari dunia internasional terhadap isu-isu HAM ini.
Di kasus Rwanda, pembantaian massal atau dikenal genosida Rwanda terjadi selama periode kurang lebh 100 hari pada tahun 1994 dan dilatar belakangi oleh konflik etnis. Rwanda merupakan sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah dimana terdapat 2 etnis utama yaitu etnis mayoritas Hutu dan etnis minoritas Tutsi. Dari segi fisik dan budaya kedua etnis tersebut sebenarnya dapat dikatakan serupa. Perbedaan utamanya adalah dianggapnya etnis Tutsi sebagai etnis yang lebih mapan dan bersatatus sosial tinggi karena etnis Tutsi memiliki kerjaannya sendiri di tanah Rwanda, dibandingkan dengan etnis Hutu yang sebagian besar berprofesi sebagai petani rendahan dan pekerja kasar. Perbedaan etnis dan suku antara Tutsi-Hutu sebenarnya diciptakan dan ditonjolkan oleh penjajah dan penguasa asing yang memiliki kepentingan nasional di Rwanda sehingga kebencian etnis Hutu terhadap etnis Tutsi mulai membumbung.[6]
Pasca penembakan presiden Habyarimana pada 6 April 1994, yang memang dikenal sebagai perintis pemerintahan multi etnis (power sharing), ketegangan antar etnis Hutu dan Tutsi meningkat. Disinyalir dan dicurigai peristiwa penembakan keji itu dilakukan etnis Tutsi sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Komunitas Tutsi yang merasa tertekan dan terpinggirkan oleh komunitas mayoritas Hutu kemudian mendirikan kelompok bersenjata yang bernama Front Patriotique Rwandais (FPR) dimana bertujuan untuk memperjuangkan kembali hak-hak komunitas Tutsi yang terusir dari Rwanda.[7] Sedangkan etnis Hutu membentuk kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi. Peristiwa tragis penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade. Kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membunuh siapa saja, terutama dari golongan etnis Tutsi tanpa memedulikan status dan sebagainya. Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.
Hal yang menarik adalah, dibalik peristiwa genosida Rwanda ternyata ada peran besar media sebagai alat propaganda rasis yang digunakan untuk memperbesar kesenjangan dan kebencian antar etnis Tutsi dan Hutu di Rwanda. Media yang digunakan adalah Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Stasiun radio milik pemerintah Rwanda ini mengudara sejak 8 Juli 1993 sampai 31 Juli 1994 dan didengar oleh penduduk Rwanda. Radio ini sering dianggap memainkan peran penting dalam menciptakan suasana kekerasan rasial dengan menyiarkan propaganda rasis terhadap suku Tutsi, suku Hutu moderat, bangsa Belgia, dan misi UNAMIR Perserikatan Bangsa-Bangsa.yang memungkinkan terjadinya genosida. Kata-kata progandanya misalnya saja “You have missed some of the enemies. You must go back there and finish them off. The graves are not yet full!” yang kemudian banyak diadaptasi ke dalam film maupun novel. Diperkirakan bahwa 9,9% pelaku kekerasan genosida diakibatkan oleh siaran radio ini. Perkiraan tersebut berarti jumlah korban akibat siaran radio ini mencapai 51.000 jiwa.[8]

International Reaction : Lesson from Rwanda
Lalu bagaimana dengan aksi dari dunia internasional terkait kasus Rwanda ini? Di era globalisasi, kemudahan akses informasi maupun komunikasi turut mempermudah penegakan mengenai isu HAM yang tengah berkembang di suatu negara, hingga pada akhirnya menjadi suatu isu global. Media memegang peran yang sangat penting dalam terangkatnya kasus genosida Rwanda ke ranah internasional. Media menjadi pembuka mata dunia bahwa terdapat ketidakadilan yang tengah terjadi sehingga dunia berlomba-lomba mengirimkan bantuan atas dasar kemanusian terhadap kasus ini. Selain itu konsep Responsibility to Protect (RtoP) yang dicanangkan dan dilegalkan oleh PBB sebagai norma internasional, turut mendorong adanya intervensi ke dalam kasus Rwanda. RtoP merupakan konsep dengan ide pokok yang mengemukakan bahwa intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai untuk melindungi hak asasi manusia dan terancamnya kestabilan internasional. RtoP merubah fokus perdebatan antara sovereignty versus human right menjadi bagaimana cara terbaik melindungi manusia dari berbagai ancaman kemusnahan massal [9]
Melalui adanya internasionalisme, juga dapat dilihat adanya aksi dan reaksi dari organisasi internasional seperti PBB yang turut memdukung penegakan maupun menekan terjadinya penindasan HAM. PBB melakukan intervensi kemanusiaan dengan menjadikan dirinya sebagai peacekeeping dimana kontribusinya antara lain dengan didirikannya UNOMUR (United Nations Observer Mission Uganda-Rwanda), UNAMIR (United Nations Assistance Mission for Rwanda) dan ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda). UNAMOR merupakan pengamat militer yang dibentuk Dewan Keamanan PBB pada Juli 1993 untuk mencegah penggunaan militer dan bentrokan Tutsi-led Rwandese Patriotic Front (RPF) di sepanjang perbatasan. Keterlibatan PBB sudah dimulai ketika mulai banyak terjadi pentempuran antara angkatan bersenjata pemerintah (Armed Forces of the mainly Hutu Government of Rwanda) dengan pemberontak Tutsi RPF.[10]
Sedangkan UNAMIR awalnya didirikan untuk membantu melaksanakan Perjanjian Perdamaian Arusha ditandatangani oleh para pihak Rwanda pada 4 Agustus  1993. UNAMIR didirikan Dewan Keamanan PBB dan seiring berkembangnya konflik yang terjadi di Rwanda, PBB berkali-kali memperbaharui resolusi-resolusinya. Melalui resolusi DK PBB 912 (1994) pada 21 April 1994, UNAMIR bertindak sebagai perantara antara pihak-pihak yang bertikai. Setelah situasi di Rwanda memburuk lebih lanjut, mandat UNAMIR ini diperluas oleh DK melalui resolusi 918 (1994) pada 17 Mei 1994, untuk memungkinkan UNAMIR berkontribusi terhadap keamanan dan perlindungan pengungsi dan warga sipil.[11]
Pasca konflik dan berakhirnya genjatan senjata, UNAMIR tetap berperan aktif untuk Rwanda. Tugas UNAMIR disesuaikan lebih lanjut oleh DK PBB untuk memastikan stabilitas dan keamanan dan mendorong kembalinya populasi pengungsi serta membantu mencapai rekonsiliasi nasional. Hal tersebut diperkuat oleh resolusi 997 (1995) tanggal 9 Juni 1995. Resolusi berikutnya juga dikeluarkan yaitu resolusi 965 (1994) 30 November 1994 yang membahas mengenai pengadilan internasional untuk kejahatan di Rwanda dan resolusi 1029 (1995) dengan fokus utama memfasilitasi pengembalian keamanan dengan persetujuan pemerintah Rwanda.[12]
Kedua aksi dari PBB, yaitu UNOMUR dan UNAMIR tersebut menunjukkan bahwa konflik kemanusiaan di Rwanda sudah berkembang menjadi isu internasional. Ditandai dengan adanya intervensi PBB sebagai representasi dunia internasional. Tidak berhenti sampai disitu, PBB juga membentuk ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) dibentuk taggal 8 November 1994 melalui Dewan Keamanan sebagai pengadilan internasional untuk Rwanda dengan tujuan tunggal mengadili dan menuntut tanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda.[13] Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28 orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[14]
Dibentuknya ICTR secara tidak langsung merupakan langkah dunia internasional untuk menekan terjadinya penindasan hak asasi manusia. Melalui ICTR diharapkan para pelaku tindak kejahatan HAM dan kemanusiaan mendapatkan efek jera. Namun hal tersebut tidak menjamin sepenuhnya. Dewasa ini, di era globalisasi yang semakin berkembang, semakin banyak tantangan seputar isu HAM yang harus ditangani oleh dunia internasional seperti masih maraknya diskriminasi dan genosida, masih banyaknya under development dan extreme poverty serta sebagainya.[15]

Conclusion
Hak asasi manusia merupakan hak dasar dan fundamental yang melekat dalam tiap individu manusia. Sesuai dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada pasal pertama mengemukakan bahwa semua orang berhak atas hak untuk hidup yang tentunya dibatasi juga oleh hak-hak orang lain. Adanya globalisasi turut mempengaruhi perkembangan seputar isu HAM. Globalisasi berdampak positif maupun negatif terhadap HAM itu sendiri. Adanya globalisi membuat perkembangan dan kemajuan informasi serta komunikasi sehingga memperpendek jarak ruang dan waktu. Akibatnya adalah lebih mudahnya akses untuk pelaksanaan penindasan HAM itu sendiri. Di lain pihak, globalisasi juga berdampak menguatkan dukungan dan pengakuan terhadap HAM. Dalam kasus genosida Rwanda, terdapat adanya penindasan HAM yang disebabkan oleh adanya diskriminasi etnis sehingga menyebabkan terjadinya genosida atau pembunuhan massal. Globalisasi mempermudah penyampaian informasi propaganda rasis melalui media radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM) sebagai katalis penindasan HAM di Rwanda. Globalisasi juga sekaligus menjadikan dunia internasional lebih mudah mendapatkan informasi dan terrgerak berlomba-lomba melaksanakan intervensi kemanusiaan di Rwanda. Media memegang peran yang sangat penting dalam terangkatnya kasus genosida Rwanda ke ranah internasional. Selain itu, berkembangnya isu HAM sebagai isu internasional juga dikarenakan adanya konsep Responsibility to Protect dan internasionalisasi melalui organisasi internasional seperti PBB yang keduanya dapat mendorong dunia internasional tergerak menangani kasus genosida Rwanda.

Referensi : 
[] UN, The Universal Declaration of Human Rights, diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/ pada 15 November 2015.
[2] Arat, Zehra F. Kabasakal. 2003. The Globalization of Human Rights, edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W. Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo: United Nations University Press.
[3] Basuki, Udiyo. 2013. Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM dalam Konstitusi Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Rwanda Genocide Timeline dalam  http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 15 November 2015
[8] Wiltenburg, Mary. 2004. After the Genocide, Redemption. Christian Science Monitor on April 7, 2004. Dikases secara online melalui < http://www.csmonitor.com/2004/0407/p01s03-woaf.html > pada 17 November 2015.
[9] Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNPROFOR (United Nations Protection Force-Croatia/Bosnia/Macedonia).
[0] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 17 November 2015
[1] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 17 November 2015
[2] Ibid.
[3] International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 17 November 2015.
[4] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran> pada 17 November 2015
[5] Kuliah Internasionalisme dan Globalisasi: Isu dan Strategi sub bab Human Right Struggle pada 11 November 2015 dengan pengampu Prof. Dr. Makarim Wibisono. Magister Hubungan Internasional. Universitas Airlangga Surabaya.



[1] UN, The Universal Declaration of Human Rights, diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/ pada 15 November 2015.
[2] Arat, Zehra F. Kabasakal. 2003. The Globalization of Human Rights, edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W. Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo: United Nations University Press.
[3] Basuki, Udiyo. 2013. Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM dalam Konstitusi Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Rwanda Genocide Timeline dalam  http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 15 November 2015
[8] Wiltenburg, Mary. 2004. After the Genocide, Redemption. Christian Science Monitor on April 7, 2004. Dikases secara online melalui < http://www.csmonitor.com/2004/0407/p01s03-woaf.html > pada 17 November 2015.

[9] Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNPROFOR (United Nations Protection Force-Croatia/Bosnia/Macedonia).
[10] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 17 November 2015
[11] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 17 November 2015
[12] Ibid.
[13] International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 17 November 2015.
[14] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran> pada 17 November 2015
[15] Kuliah Internasionalisme dan Globalisasi: Isu dan Strategi sub bab Human Right Struggle pada 11 November 2015 dengan pengampu Prof. Dr. Makarim Wibisono. Magister Hubungan Internasional. Universitas Airlangga Surabaya.