My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Tuesday, August 11

Intervensi Kemanusiaan di Somalia: Charity atau Duty (?)



Mata Kuliah    : HUMANITARIANISME DAN INTERVENSI KEMANUSIAAN
Tanggal           : 12 Mei 2015  

Kasus intervensi kemanusiaan sudah banyak terjadi di beberapa belahan dunia dan sangat menjadi perhatian internasional. Banyak pula perdebatan timbul terkait hal ini. Intervensi kemanusiaan yang menyangkut motif awal atas dasar kemanusiaan menggundang pertanyaan dalam prakteknya. Apakah memang benar motif tersebut adalah merupakan motif awal dan motif satu-satunya? Apakah memang negara yang memutuskan untuk mengintervensi melaksanakan intervensi tersebut dengan tidak menginginkan apapun atau dalam rangka proses charity semata. Atau apakah terdapat motif dan interest  yang lain dimana hal tersebut dikaitkan dengan duty suatu negara untuk mengintervensi negara lain? Perdebatan mengenai apakah intervensi kemanusiaan merupakan charity atau duty atau bahkan keduanya merupakan perdebatan yang menarik sekaligus tidak mudah untuk dibedah. Karena memang terdapat banyak indikator dan pandangan untuk menjawabnya. Dalam peper ini penulis akan mencoba mengamati apakah intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia adalah merupakan charity ataukah duty.

Konflik dan Pertikaian di Somalia 
Secara geografis, negara Somalia merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dan termasuk merupakan negara yang masih terbelakang. Tinggiya tingkat kemiskinan dan less development membuat Somalia menjadi negara yang rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Konflik yang terjadi di Somalia bisa dikatakan berasal dari warisan kolonialisme Inggris dan Italia dimana mereka berdua berusaha mengkontruksi identitas etnis kolonial tersebut. Jika dilihat sejarahnya, wilayah somalia terbagi-bagi menurut wilayah kependudukan penjajahan. British Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang dulunya dikuasai Italia, dipersatukan dan digabung membentuk Republik Somalia.[1] Dari sana mulai muncul pergerakan-pergerakan etnis yang menuntut hak atas kependudukan wilayah sehingga memicu berbagai konflik di Somalia.

Konflik mulai meruncing ketika Presiden Siad Barre jatuh dari kepemimpinannya pada bulan Januari 1991. Presiden Siad Barre merupakan presiden yang dikenal dengan kepemimpinan dan kebijakannya yang scientific socialism dimana bertujuan untuk menghapuskan clanism dalam memperkuat politik berdasarkan pada kelompok-kelompok. Di dalam masa pemerintahannya Somalia menjadi negara yang memiliki tingkat korupsi pemerintah yang tinggi, absensi legitimasi terhadap pemerintah, banyaknya pelanggaran HAM, perang sipil, serta hilangnya legitimasi hukum.[2] Pasca digulingkannya pemerintahaan presiden Siad, pergolakan dan perang antar klan masih terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan fasilitas umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi agrikultur sehingga menyebabkan krisis pangan. Puluhan ribu warga sipil Somalia berjatuhan dan ribuan lainnya mengungsi dan melarikan diri keluar negeri dan negara-negara tetangganya.[3] 

Intervensi Kemanusiaan oleh AS dan PBB 
Konflik panjang yang terjadi menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan di Somalia sehingga Somalia kehilangan kontrol substansial negaranya. Hal tersebut membuat timbulnya perhatian-perhatian dari dunia internasional termasuk negara tetangganya seperti Ethiopia dan Kenya, AS hingga PBB. UNOSOM I (United Nation Operation in Somalia) diturunkan pada April 1992 untuk memberikan dan mendistribusikan bahan pangan. Sebanyak 3000 pasukan dikirimkan namun operasi ini mengalami kegagalan karena terhambatnya pendistribusian sehingga bahan pangan membusuk.[4] Setelah kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin pasukan intervensi. Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 794 dengan otorisasi dan mandat “all necessary means to establish as soon as possible a secure environment for humanitarian relief operations in Somalia”.[5] Kontribusi AS dikenal dengan UNITAF (Unified Task Force) yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah Piagam PBB Bab VII.[6] Di dalam pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang mengutamakan force di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara serta elemen-elemen militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya intervensi sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap misi-misi PBB yang baru.[7]  

UNOSOM II diturunkan pada Maret 1993 sebagai pengganti sekaligus fase kedua dari intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas meneruskan yang dimulai oleh UNITAF untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Somalia. Mandat baru ini juga akan memberdayakan UNOSOM II untuk membantu rakyat Somalia dalam membangun kembali kehidupan ekonomi, politik dan sosial mereka, melalui pencapaian rekonsiliasi nasional untuk menciptakan suatu Negara Somalia yang demokratis. Misi PBB melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan Keamanan melalui Resolusi 814 pada 26 Maret 1993. Namun pengambil alihan operasi tersebut belum secara resmi ditetapkan hingga UNITAF dibubarkan pada 4 Mei 1993. UNISOM II memiliki kekuatan hingga 28.000 personil mencakup 22.000 tentara dan 8.000 logistik dan staf sipil dari berbagai negara.[8]

Perdebatan: Charity atau Duty (?) 
Komitmen dan keputusan untuk mengintervensi suatu negara seharusnya dilakukan ketika negara yang bersangkutan sudah tidak sanggup memenuhi tugasnya untuk menstabilkan keadaannya sendiri. Hal tersebut pada akhirnya menjurus terhadap konsep Responsibility to Protect yang dianut dunia internasional untuk memutuskan melaksanakan intervensi atas dasar dan motif kemanusiaan. Motif kemanusiaan inilah yang dapat kita hubungkan kepada konsep charity dimana charity ini lebih didasarkan atas kindness, phylanthropy dan benevolent yang kesemuanya mengedepankan prinsip moral. Lalu bagaimana jika motif awal atas dasar kemanusiaan ini dicemari oleh self motif ataupun national intrest yang terkandung oleh negara pengintervensi? Menggingat negara pengintervensi juga melaksanakan intervensi atas dasar dan mandat PBB serta mengagungkan prinsip R2P yang danutnya. Akibatnya timbullah perdebatan apakah intervensi ini hanya semata-mata charity ataukah mungkin merupakan duty yang diemban namun diliputi motif dan interesti yang lain.  
Dalam studi kasus intervensi kemanusiaan di Somalia yang dilaksanakan oleh AS maupun PBB, kita dapat memfokuskan pada AS sebagai aktor atau negara yang mengintervensi. Dalam Resolusi 794, AS mendapatkan mandat dan wewenang untuk melaksanakan intervensi di Somalia melalui izin PBB dan kewenangan terhadap segala hal yang dilakukan berdasar atas Piagam PBB Bab VII. Dari sini kita dapat melihat bahwa intervensi ini merupakan duty atau tugas yang diemban AS melalui PBB. AS dengan kekuatan militanya dinilai mampu menjalankan tugas misi kemanusiaan di Somalia. Kemudian apabila kita melihat melalui sudut pandang AS sendiri, muncul perdebatan terkait motif sesungguhnya mengapa AS tertarik bahkan menawarkan diri untuk memimpin pasukan intervensi di Somalia. 
Peran AS dalam mengintervensi Somalia perlu dipertanyakan mengingat wilayah Somalia yang secara geografis sangat menguntungkan sebagai jalur perdagangan internasional. Di samping itu wilayah Somalia memiliki sumber daya alam, seperti minyak, gas dan uranium sedangkan bagian pantai Somalia dijadikan sebagai jalur transportasi maritim internasional yang sangat penting.[9] Dalam sebuah kritikal tulisan yang ditulis oleh Luke Glanville, dijelaskan bahwa AS memiliki motif politik dalam keputusannya mengintervensi Somalia. Pada waktu itu, perang popularitas antara Bush dan Clinton menjadikan Bush mengumpulkan tim keamanan dan memerintahkan mereka untuk mengembangkan cara-cara untuk menghentikan kelaparan di Somalia. Keputusan Bush untuk meluncurkan operasi intervensi Somalia mendapat dukungan positif dari rakyatnya. Melalui New York Times/CBS  dikemukakan bahwa 81 persen orang menyetujui. the US is doing the right thing in sending troops to Somalia to make sure food gets to the people there.[10] 
Namun Bush sendiri menggaris bawahi bahwa motif AS dalam intervensi adalah atas dasar kemanusiaan. Dia mengemukakan bahwa ‘The people of Somalia, especially the children of Somalia, need our help. We’re able to ease their suffering. We must help them live. We must give them hope. America must act’. James Wood juga mengemukakan ‘It was truly his personal decision, based in large measure on his growing feelings of concern as the humanitarian disaster continued to unfold relentlessly despite the half measures being undertaken by the international community’.[11] Pernyaaan tersebut juga diperkuat oleh AS Defence Departement dengan ‘I had the feeling that no matter what was said (by his advisors), he would not want to leave office with 50,000 people starving that he could have saved’. Pernyataan-peryataan di atas menguatkan asumsi kita bahwa memang AS mengintervensi Somalia atas dasar a voluntary act, a matter of kindness rather than duty. Dalam hal ini bisa kita sebut charity,

Simpulan : 
Studi kasus intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata kasus intervensi yang menimbulkan perdebatan mengenai motif sesungguhnya di balik intervensi tersebut. Perdebatan berujung terhadap apakah intervensi termasuk charity ataukah duty ataukah bahkan keduanya. Berdasarkan pendapat-pendapat yang didapatkan melalui beberapa studi pustaka, dapat dianalisa dan disimpulkan bahwa intervensi kemanusiaan yang terjadi di AS merupakan kombinasi keduanya, yaitu charity sekaligus duty. AS sebagai negara adidaya yang memiliki power secara tidak langsung juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan bantuan atas dasar moral dan kemanusiaan terhadap negara lainnya termasuk Somalia. Mampunya AS mengemban tugas intervensi membuat dewan keamanan PBB memberikan otoritasnya dan mandatnya sehingga AS dapat melaksanakan tugasnya. Kebebasan tersebut membuat munculnya motif yang lain seperti motif politik maupun ekonomi sehingga intervensi kemanusiaan lebih ke arah duty dari pada sekedar kindness atau charity. Sehingga seperti yang dikemukakan Walher, ‘.. international humanitarianism seems more like duty than kindness, or maybe it is a combination: two in one, a gift that we have to give’[12] intervensi ini merupakan kombinasi dari keduanya.



[1] Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis Kemanusiaan di Somalia. Diakses dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html>  pada 11 Mei 2015.
[2] Ibid.
[3] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html > pada 11 Mei 2015.
[4] Intervensi Kemanusiaan di Somalia: Moral or Interest. Diakses dalam < http://nopriagis-cipta-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-104325-Humanitarianisme%20dan%20Intervensi%20Kemanusiaan-Intervensi%20Kemanusiaan%20di%20Somalia:%20Moral%20or%20Interest.html > pada 12 Mei 2015.
[5] United Nation Operation in Somalia II. Diakses dalam < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada 11 Mei 2015.
[6] Ibid.
[7] Unified Task Force. Diakses dalam < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> pada 11 Mei 2015
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 11 Mei 2015.
[11] Ibid.
[12] Walzer, Michael. On Humanitarianism: Is Helping Others Charity, or Duty, Or Both?.  Diakses dalam < https://www.foreignaffairs.com/articles/2011-07-01/humanitarianism > pada 12 Mei 2015.
 

0 komentar:

Post a Comment