Mata Kuliah : HUMANITARIANISME DAN INTERVENSI
KEMANUSIAAN
Tanggal : 12 Mei 2015
Kasus intervensi
kemanusiaan sudah banyak terjadi di beberapa belahan dunia dan sangat menjadi
perhatian internasional. Banyak pula perdebatan timbul terkait hal ini.
Intervensi kemanusiaan yang menyangkut motif awal atas dasar kemanusiaan
menggundang pertanyaan dalam prakteknya. Apakah memang benar motif tersebut
adalah merupakan motif awal dan motif satu-satunya? Apakah memang negara yang
memutuskan untuk mengintervensi melaksanakan intervensi tersebut dengan tidak
menginginkan apapun atau dalam rangka proses charity semata. Atau apakah
terdapat motif dan interest yang
lain dimana hal tersebut dikaitkan dengan duty suatu negara untuk
mengintervensi negara lain? Perdebatan mengenai apakah intervensi kemanusiaan
merupakan charity atau duty atau bahkan keduanya merupakan
perdebatan yang menarik sekaligus tidak mudah untuk dibedah. Karena memang
terdapat banyak indikator dan pandangan untuk menjawabnya. Dalam peper ini
penulis akan mencoba mengamati apakah intervensi kemanusiaan yang terjadi di
Somalia adalah merupakan charity ataukah duty.
Konflik dan Pertikaian di Somalia
Secara
geografis, negara Somalia merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dan termasuk
merupakan negara yang masih terbelakang. Tinggiya tingkat kemiskinan dan less development membuat Somalia menjadi
negara yang rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Konflik yang
terjadi di Somalia bisa dikatakan berasal dari warisan kolonialisme Inggris dan
Italia dimana mereka berdua berusaha mengkontruksi identitas etnis kolonial
tersebut. Jika dilihat sejarahnya, wilayah somalia terbagi-bagi menurut wilayah
kependudukan penjajahan. British
Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang
dulunya dikuasai Italia, dipersatukan dan digabung membentuk Republik Somalia.[1] Dari sana
mulai muncul pergerakan-pergerakan etnis yang menuntut hak atas kependudukan
wilayah sehingga memicu berbagai konflik di Somalia.
Konflik
mulai meruncing ketika Presiden Siad Barre jatuh dari
kepemimpinannya pada bulan Januari 1991. Presiden Siad Barre merupakan presiden yang dikenal dengan kepemimpinan dan kebijakannya yang scientific socialism dimana bertujuan untuk menghapuskan
clanism dalam memperkuat politik berdasarkan pada
kelompok-kelompok. Di dalam masa
pemerintahannya Somalia menjadi negara yang memiliki
tingkat korupsi pemerintah yang tinggi, absensi legitimasi terhadap pemerintah,
banyaknya pelanggaran HAM, perang sipil, serta hilangnya legitimasi hukum.[2] Pasca
digulingkannya pemerintahaan presiden Siad, pergolakan dan perang antar klan
masih terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan
fasilitas umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi
agrikultur sehingga menyebabkan krisis pangan. Puluhan ribu
warga sipil Somalia berjatuhan dan
ribuan lainnya mengungsi dan melarikan diri keluar negeri dan negara-negara tetangganya.[3]
Intervensi Kemanusiaan oleh AS dan PBB
Konflik panjang yang terjadi
menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan di Somalia sehingga Somalia kehilangan
kontrol substansial negaranya. Hal tersebut membuat timbulnya
perhatian-perhatian dari dunia internasional termasuk negara tetangganya
seperti Ethiopia dan Kenya, AS hingga PBB. UNOSOM I (United Nation Operation in Somalia) diturunkan pada April 1992
untuk memberikan dan mendistribusikan bahan pangan. Sebanyak 3000 pasukan
dikirimkan namun operasi ini mengalami kegagalan karena terhambatnya pendistribusian
sehingga bahan pangan membusuk.[4] Setelah
kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin pasukan intervensi.
Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 794 dengan otorisasi
dan mandat “all necessary means to
establish as soon as possible a secure environment for humanitarian relief
operations in Somalia”.[5] Kontribusi AS
dikenal dengan UNITAF (Unified Task Force)
yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah Piagam PBB Bab VII.[6] Di dalam
pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang mengutamakan force
di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara serta elemen-elemen
militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar bertujuan untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya intervensi
sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap misi-misi PBB yang
baru.[7]
UNOSOM II diturunkan pada Maret
1993 sebagai pengganti sekaligus fase kedua dari intervensi kemanusiaan di
Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas meneruskan yang dimulai oleh UNITAF untuk
menciptakan perdamaian dan stabilitas di Somalia. Mandat baru ini juga akan
memberdayakan UNOSOM II untuk membantu rakyat Somalia dalam membangun kembali
kehidupan ekonomi, politik dan sosial mereka, melalui pencapaian rekonsiliasi
nasional untuk menciptakan suatu Negara Somalia yang demokratis. Misi PBB
melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan Keamanan melalui Resolusi 814 pada 26
Maret 1993. Namun pengambil alihan operasi tersebut belum secara resmi ditetapkan
hingga UNITAF dibubarkan pada 4 Mei 1993. UNISOM II memiliki kekuatan hingga
28.000 personil mencakup 22.000 tentara dan 8.000 logistik dan staf sipil dari
berbagai negara.[8]
Perdebatan: Charity
atau Duty (?)
Komitmen dan keputusan untuk
mengintervensi suatu negara seharusnya dilakukan ketika negara yang
bersangkutan sudah tidak sanggup memenuhi tugasnya untuk menstabilkan
keadaannya sendiri. Hal tersebut pada akhirnya menjurus terhadap konsep Responsibility to Protect yang dianut
dunia internasional untuk memutuskan melaksanakan intervensi atas dasar dan
motif kemanusiaan. Motif kemanusiaan inilah yang dapat kita hubungkan kepada
konsep charity dimana charity ini lebih didasarkan atas kindness, phylanthropy dan benevolent yang kesemuanya mengedepankan
prinsip moral. Lalu bagaimana jika motif awal atas dasar kemanusiaan ini dicemari
oleh self motif ataupun national intrest yang terkandung oleh
negara pengintervensi? Menggingat negara pengintervensi juga melaksanakan
intervensi atas dasar dan mandat PBB serta mengagungkan prinsip R2P yang
danutnya. Akibatnya timbullah perdebatan apakah intervensi ini hanya
semata-mata charity ataukah mungkin
merupakan duty yang diemban namun
diliputi motif dan interesti yang
lain.
Dalam studi kasus intervensi
kemanusiaan di Somalia yang dilaksanakan oleh AS maupun PBB, kita dapat
memfokuskan pada AS sebagai aktor atau negara yang mengintervensi. Dalam
Resolusi 794, AS mendapatkan mandat dan wewenang untuk melaksanakan intervensi
di Somalia melalui izin PBB dan kewenangan terhadap segala hal yang dilakukan
berdasar atas Piagam PBB Bab VII. Dari sini kita dapat melihat bahwa intervensi
ini merupakan duty atau tugas yang
diemban AS melalui PBB. AS dengan kekuatan militanya dinilai mampu menjalankan
tugas misi kemanusiaan di Somalia. Kemudian apabila kita melihat melalui sudut
pandang AS sendiri, muncul perdebatan terkait motif sesungguhnya mengapa AS
tertarik bahkan menawarkan diri untuk memimpin pasukan intervensi di Somalia.
Peran AS dalam
mengintervensi Somalia perlu dipertanyakan mengingat wilayah Somalia yang secara
geografis sangat menguntungkan sebagai jalur perdagangan internasional. Di
samping itu wilayah Somalia memiliki sumber daya alam, seperti minyak, gas dan
uranium sedangkan bagian pantai Somalia dijadikan sebagai jalur transportasi
maritim internasional yang sangat penting.[9]
Dalam sebuah kritikal tulisan yang ditulis oleh Luke Glanville, dijelaskan
bahwa AS memiliki motif politik dalam keputusannya mengintervensi Somalia. Pada
waktu itu, perang popularitas antara Bush dan Clinton menjadikan Bush
mengumpulkan tim keamanan dan memerintahkan mereka untuk mengembangkan
cara-cara untuk menghentikan kelaparan di Somalia. Keputusan Bush untuk
meluncurkan operasi intervensi Somalia mendapat dukungan positif dari
rakyatnya. Melalui New York Times/CBS dikemukakan bahwa 81 persen orang menyetujui. ‘the US is doing the right thing in sending troops to
Somalia to make sure food gets to the people there.’[10]
Namun Bush
sendiri menggaris bawahi bahwa motif AS dalam intervensi adalah atas dasar
kemanusiaan. Dia mengemukakan bahwa ‘The people of Somalia,
especially the children of Somalia, need our
help. We’re able to ease their suffering. We must help them live. We must give them hope. America must act’. James Wood juga
mengemukakan ‘It was truly his personal
decision, based in large measure on his growing feelings of concern as the
humanitarian disaster continued to unfold relentlessly despite the half
measures being undertaken by the international community’.[11]
Pernyaaan tersebut juga diperkuat oleh AS
Defence Departement dengan ‘I had the
feeling that no matter what was said (by his advisors), he would not want to
leave office with 50,000 people starving that he could have saved’. Pernyataan-peryataan
di atas menguatkan asumsi kita bahwa memang AS mengintervensi Somalia atas
dasar a voluntary
act, a matter of kindness rather than duty. Dalam hal ini bisa
kita sebut charity,
Simpulan
:
Studi kasus intervensi kemanusiaan
yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata kasus intervensi yang
menimbulkan perdebatan mengenai motif sesungguhnya di balik intervensi tersebut.
Perdebatan berujung terhadap apakah intervensi termasuk charity ataukah duty ataukah
bahkan keduanya. Berdasarkan pendapat-pendapat yang didapatkan melalui beberapa
studi pustaka, dapat dianalisa dan disimpulkan bahwa intervensi kemanusiaan
yang terjadi di AS merupakan kombinasi keduanya, yaitu charity sekaligus duty.
AS sebagai negara adidaya yang memiliki power
secara tidak langsung juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan bantuan atas
dasar moral dan kemanusiaan terhadap negara lainnya termasuk Somalia. Mampunya
AS mengemban tugas intervensi membuat dewan keamanan PBB memberikan otoritasnya
dan mandatnya sehingga AS dapat melaksanakan tugasnya. Kebebasan tersebut
membuat munculnya motif yang lain seperti motif politik maupun ekonomi sehingga
intervensi kemanusiaan lebih ke arah duty
dari pada sekedar kindness atau charity. Sehingga seperti yang
dikemukakan Walher, ‘.. international humanitarianism seems more like duty than kindness, or
maybe it is a combination: two in one, a gift that we have to give’[12] intervensi
ini merupakan kombinasi dari keduanya.
[1] Peranan PBB dalam Penyelesaian Permasalahan Krisis
Kemanusiaan di Somalia. Diakses
dalam < http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peranan-pbb-dalam-penyelesaian_02.html> pada
11 Mei 2015.
[3] Humanitarian Intervention in Somalia. Diakses dalam < http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html
> pada 11 Mei 2015.
[4] Intervensi Kemanusiaan di Somalia: Moral or
Interest. Diakses dalam <
http://nopriagis-cipta-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-104325-Humanitarianisme%20dan%20Intervensi%20Kemanusiaan-Intervensi%20Kemanusiaan%20di%20Somalia:%20Moral%20or%20Interest.html
> pada 12 Mei 2015.
[5] United Nation Operation in Somalia II. Diakses dalam < http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II >
pada 11 Mei 2015.
[7] Unified Task Force. Diakses dalam < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force> pada 11 Mei 2015
[10] Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of The
Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf> pada 11 Mei 2015.
[12] Walzer, Michael. On Humanitarianism: Is Helping Others
Charity, or Duty, Or Both?. Diakses
dalam < https://www.foreignaffairs.com/articles/2011-07-01/humanitarianism
> pada 12 Mei 2015.
0 komentar:
Post a Comment