Mata Kuliah : PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL
Tanggal : 04 Desember 2014
Konsumsi energi yang tinggi di Indonesia menimbulkan masalah dengan laju pengurangan fosil, seperti minyak dan gas bumi serta batu bara, yang lebih cepat bila dibandingkan dengan laju penemuan cadangan baru. Guna mengatasi masalah tersebut diperlukan diversivikasi dan konservasi energi lain, salah satunya adalah energi nuklir. Pro dan kotra sebagai simbol harapan dan kecemasan yang muncul mengenai rancangan pembangkit tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia. Penulis memiliki pandangan dan persepsi berbeda mengenai nuklir. Berikut akan dibahas mengenai kontra energi nuklir di Indonesia.
Terbatasnya Sumber Bahan Baku Uranium di Indonesia
Uranium
merupakan bahan baku dan bahan bakar utama nuklir. Di Indonesia, potensi
mineral Radioaktif seperti uranium, yaitu di Kalan dan Kawan (Kalmantan) dengan
total potensi hanya sebesar 34.863 ton U308. Saat ini
Indonesia belum dapat memproduksi Uranium dan belum meperoleh izin untuk
melakukan pengayaan Uranium sebagai bahan bakar nuklir.
Selain itu, agar
dapat menghasilkan energi yang efisien, uranium harus diolah melalui
serangkaian tahapan proses yang panjang dan komplek dibanding pemrosesan bahan
bakar fosil seperti batubara, minyak, dan gas. Limbah Uranium sebagai bahan bakar nuklir sendiri berupa limbah radioaktif
aktivitas tinggi yang prinsip pembuangannya sangat rumit yaitu melalui proses pendinginan yang
cukup dan telah disegel dalam wadah atau “canister” terbuat dari logam tahan
korosi seperti tembaga atau stainless steel kemudian disimpan lestari di dikubur
di batuan stabil di dalam tanah dengan kedalaman tak kurang dari 500 m di
batuan dasar (bed rock) dengan waktu paruh 30-50 tahun.
Dibutuhkannya
Waktu dan Perencanaan yang Matang
Membuat suatu Reaktor Nuklir, dari tahap perencanaan
sampai benar-benar jadi, memakan waktu cukup lama sekitar 10-19 tahun. Dalam waktu selama itu, sudah
terbukti bahwa terjadi kemajuan yang cukup pesat dalam pengefisienan pembangkit
listrik lain seperti Solar Panel, Wind Power, Geothermal dan sebagainya. Proses
pembuatan suatu PLTN juga merusak lingkungan, dan limbah CO2nya pun 17 kali
lebih banyak dari tenaga angin ataupun panel surya. Ini belum termasuk situs
penggalian Uranium dan opportunity cost dari Nuclear
Facility itu sendiri.
Menurut riset, di pulau Jawa terdapat
dua calon tapak alternatif untuk PLTN yaitu semenanjung Muria dan Banten.
Lokasi alternatif baik yang lainnya adalah pulau Bangka. Berdasarkan prediksi,
untuk menyelesaikan studi tapak hingga studi kelayakan tempat saja diperlukan
waktu paling tidak 3 tahun. Studi kelayakan tipe reaktor nuklir yang sesuai
dengan teknologi teruji (proven
technology) adalah teknologi yangdigunakan dalam suatu desain yang sudah
terbukti layak pakai melalui pengalaman operasi reaktor minimal 3 tahun secara
selamat dengan faktor kapasitas 75%.
Masuknya opsi nuklir di juga
membutuhkan kesiapan membuat komitmen terhadapa program nuklir, kesiapan
mengundang penawaran untuk PLTN pertama, kesiapan komisioning dan operasi serta
hal yang terpenting kesiapan mengatasi hambatan kebocoran dan bencana nuklir.
Besarnya
Biaya Awal Pembangunan Pembangkit
Indonesia terbukti masih belum mampu membuat rekator nuklir untuk
pembangkit energi nuklir. Dalam studi keekonomian PLTN yang pernah dilakukan
oleh Keystone Center 2007 di Amerika menunjukkan bahwa biaya konstruksi
pembangunan PLTN masih bervariasi antara US$ 3600-4000/KW dengan harga listrik
antara US$ 8-11 cents/KWH. Apabila biaya decommisioning dan pengolahan limbah
ditambahkan sebagai investasi awal maka menjadi US$ 7000/KW sedangkan harga
pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat dua kali lipatnya (Moody’s Corporate Finance). Biaya
tersebut sangat besar dibanding biaya pembangunan energi Batubara atau PLTA.
Biaya awal pembangunan dan pengelolaan
juga berdampak pada harga jual listrik. Data dari luar negeri memperlihatkan
Korea, dengan pembangkit PLTN mempunyai harga jual listriknya 4 sen per KWH
atau sekitar Rp 400. Hal ini berarti Indonesia mempunyai harga lebih mahal berdasarkan
harga hasil subsidi sekitar Rp 700. Hal tersebut nantinya dapat berdampak pada
perekonomian Indonesia.
Ketidaksesuaian dengan letak geografis Indonesia
Pembangunan PLN di Indonesia harus memperhatikan kondisi
geografis Indonesia yang beresiko tinggi, karena terletak di daerah gempa dan
pada ‘Ring of Fire’. Disamping itu,
instalasi PLN juga menjadi titik terlemah dari serangan musuh dan kegiatan
sabotase.
Bergantungnya
Indonesia pada Korporasi Asing
Apabila Indonesia mendirikan PLTN, peran
korporasi asing sangat besar kemungkinannaya untuk masuk dan terlibat di
Indonesia karena Indonesia sendiri terbukti belum mampu memenuhi kebutuhan
Uranium sebagai bahan baku, kebutuhan investasi dana untuk pembangunan awal,
pengembangan dan pengelolaan PLTN dan juga bergantungnya Indonesia padanegara
lain apabila terjadi bencana nuklir.
Dalam konteks keamanan negara,
kegiatan PLTN perlu diinformasikan dengan rinci dan apa adanya tentang resiko
apabila terjadi bencana nuklir termasuk penguasaan teknologi, ketergantungan
dengan negara lain, bahaya radiasi yang dapat meresahkan masyarakat, boikot
negara lain, kondisi daerah bencana, SDM yang stabil secara emosional dan
sebagainya.
Terkikisnya
Human Security
Dalam pembangunan berbagai hal, resiko sudah pasti ada, namun pada
pembangunan PLTN perlu diperhatikan juga resiko yang kegagalan yang muncul dan
dampaknya bagi keamanan masyarakat. Perlu diperhatikan dan dikaji secara
menyeluruh akibat-akibatnya bagi masyarakat secara umum. Khususnya bagi
masyarakat sekitar tapak pembangunan karena mereka yang paling merasakan secara
langsung.
Kebocoran reaktor dapat mengakibatkan
radiasi tingkat tinggi yang bisa berdampak pada kematian massal dan kerusakan
lingkungan. Belum lagi radiasi yang timbul tidak kasat mata dan hanya dapat
dihilangkan dalam kurun waktu lama. Selain kematian, juga terdapat bahaya
perubahan genetika (cacat fisik, penyakit dan sebagainya). Indonesia sendiri
belum optimal mengatasi bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan
sebagainya dan tentu saja Indonesia sangat tidak siap mengatasi bencana besar
akibat dari nuklir.
Reaktor
Nuklir Memicu Perang Nuklir
Apabila setiap
negara mampu memiliki sebuah reaktor, bukan tidak mungkin mereka juga meriset
bahkan mengembangkan Nuclear Weapon. Teori konspirasi itu sangat mudah dilakukan dan tidak sulit untuk
suatu negara untuk menyembunyikan informasi soal pembangunan senjata nuklir itu
sendiri. Negara yang memiliki
pengayaan Uranium U235 diatas 20% berarti negara tersebut kemungkinan mampu
membuat senjata nuklir. Sedangkan kebutuhan untuk PLTN hanya sekitar 4%
Pertimbangan
Non Teknis
Belum adanya kemampuan Indonesia membuat peralatan terkait dengan PLTN. Sebagai contoh saat trafo PLN meledak di Jakarta, PLN menunggu alat dari Perancis sehingga terjadi pemadaman listrik bergilir. Bagaimana kalo PLN?
Banyaknya
Potensi Energi Nasional yang lainnya
Potensi energi nasional lainnya selain
nuklir sangat melimpah ruah dan bervariatif di Indonesia. Besaran energi baru
di Indonesia yang dapat dipetakan: (a) Tenaga air diperkirakan 75,67 GW (b)
Panas bumi 28,00 GW (c) Biomassa 49,81 GW (d) Energi Laut (hydro kinetik)
240,00 GW, Matahari (6-7 jam/hari)
1200,00 GW. Di sisi lain juga terdapat potensi energi fosil seperti batu bara
104 Milyar Ton dan Gas Bumi 384,7 TSCF. Dengan banyaknya potensi tersebut dan
lebih rendahnya tingkat resiko bahaya yang timbul, juga sudah mahirnya
Indonesia dalam pengelolaan energi tesebut, maka pengelolaan energi nuklir
dapat dijadikan pilihan terakhir setelah energi nasial yang lainnya
Konklusi
Pemanfaatan energi nukir harus bertumpu pada perkembangan teknologinya dibandingkan terhadap sumber daya enerinya sehingga dapat mendukung terwujudnya keamanan pasokan energi (security of energi supply) dalam jangka waktu panjang. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLN) merupakan salah satu pilihan dan bukan menjadi pilihan utama dalam rangka memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat. Sedangkan pilihan lain, yakni pemanfaatan energi baru yang terbarukan. Seperti tenaga panas bumi, tenaga angin, tenaga surya, tenaga air, biomassa dan hydrokinetik energi (pemanfaatan air lait untuk energi) masih bisa dioptimalkan. Pada dasarnya kita tidak memerlukan PLTN, kita tidak perlu mengambil resiko dari berbagai bahaya nuklir bila kita memiliki berbagai renewable energi yang masih bisa dimanfaatkan. Bahkan bila kita memfokuskan diri untuk pengembangan energi selain nuklir, kita bisa menemukan sumber listrik lain selain nuklir.
Referensi :
Anonim. 2013. Pengembangan Teknologi Nuklir
Guna Pemanfaatan Energi Terbarukan dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Energi
Nasional. Jurnal Kajian Lemhannas RI.
mr-goblin48.blogspot.com/2013/01/limbah-radioaktif-ringkasan-limbah_16.html
0 komentar:
Post a Comment