My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Tuesday, August 11

Efektifitas Peran Dunia dan Hukum Internasional terhadap Kasus Genosida (Studi Kasus Genosida di Rwanda)



Mata Kuliah    : HUMANITARIANISME DAN INTERVENSI KEMANUSIAAN
Tanggal                       : 10 April 2015



Kasus genosida memang menjadi perhatian internasional dimana merupakan sebuah kejahatan tragis atas pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam beberapa kasus, aksi ini dilatar belakangi oleh perbedaan etnis dan kerugian yang ditimbulkan oleh genosida ini tidak hanya menyangkut penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia namun juga mengancam kestabilan keamanan internasional. Aksi genosida ini memang sudah banyak terjadi bertaun-tahun yang lalu sejak abad sebelum masehi dan hal tersebut berlangsung hingga kini. Banyak kasus genosida yang penanganannya tidak tuntas sehingga menimbulkan pertanyaaan, bagaimana peran dunia internasional menanggapi berbagai kasus genosida? Seberapa efektif hukum internasional untuk mengatasi kasus ini? Dari sana penulis mencoba memaparkan dengan menghubungkan dengan kasus genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994.

Pembunuhan Etnis di Rwanda
            Rwanda merupakan sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah. Pembantaian massal yang terjadi di Rwanda atau dikenal Genocide Rwanda terjadi selama periode 100 hari pada tahun 1994 dan dilatar belakangi oleh konflik etnis. Terdapat 2 etnis utama di Rwanda yaitu etnis Hutu dan etnis minoritas Tutsi. Dari segi fisik dan budaya kedua etnis tersebut sebenarnya dapat dikatakan serupa. Perbedaan utamanya adalah dianggapnya etnis Tutsi sebagai etnis yang lebih mapan dan bersatatus sosial tinggi karena etnis Tutsi memiliki kerjaannya sendiri di tanah Rwanda, dibandingkan dengan etnis Hutu yang sebagian besar berprofesi sebagai petani rendahan dan pekerja kasar. Perbedaan etnis dan suku antara Tutsi-Hutu sebenarnya diciptakan dan ditonjolkan oleh penjajah dan penguasa asing yang memiliki kepentingan nasional di Rwanda sehingga kebencian etnis Hutu terhadap etnis Tutsi mulai membumbung.[1]
            Menyusul terjadinya arus kemerdekaan di Asia-Afrika, Rwanda pun merdeka sebagai negara Republik di tahun 1962 atas bantuan Belgia sehinga pemerintahan didominasi oleh komunitas Hutu. Karena banyaknya konflik menjelang kemerdekaan, ratusan ribu orang dari komunitas Tutsi melarikan diri ke luar negeri dan mendirikan kelompok bersenjata yang bernama Front Patriotique Rwandais (FPR) yangbertujuan untuk memperjuangkan kembali hak-hak komunitas Tutsi yangterusir dari Rwanda.[2] Di dalam tragedi genosida ini terjadi pembantaian terhadap 800.000 orang suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe. Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Disinyalir peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu.[3]
Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%), Konsep pemerintahan power sharing yang melibatkan banyak suku ini tercantum dalam Piagam Arusha (Arusha Accord). Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.[4] Peristiwa tragis penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade. Kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa memedulikan status dan sebagainya. Aksi genosida ini juga dilatar belakangi kecurigaan pelaku penembakan presiden yang berasal dari suku Tutsi.
            Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.
Aplikasi Peran dan Hukum Internasional terhadap Genoside Rwanda
Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai:[5]
“…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”
Menurut hukum internasional dalam pasal II konvensi, genosida merupakan sebuah kejahatan yang menurut hukum internasional harus dicegah dan dihukum yang berdasarkan dengan kesepakatan meraka dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG) tanggal 9 Desember 1948.
Lalu bagaimana reaksi pihak internasional dalam kasus genosida di Rwanda ini? Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional. Jadi negeri yang lain tidak memiliki national interest terhadap Rwanda. Selain itu, negeri ini tidak memiliki sumber daya alam yang menguntungkan menurut negara-negara tersebut. Pihak internasional baru benar-benar turun tangan menyelesaikan konflik yan terjadi setelah melihat banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan. PBB yang merupakan organisasi internasional yang berperan penting menjaga keamanan dan perdamaian dunia, di dalam konflik Rwanda ini, dinilai tidak tegas dan lamban dalam menyelesaikan konflik. Seharusnya PBB lebih berperan penting untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan melakukan sebuah Human Intervention. Untuk menebus dan menyelesaikan konflik yang ada hingga tuntas, didirikan ICTR. Munculnya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) menunjukkan kepedulian dunia internasional akan terselesainya konflik etnis tersebut dilihat dari parameter Hukum Humaniter Internasional.[6]
ICTR atau International Criminal Tribunal for Rwanda didirikan dengan alasan terjadinya pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) yang terjadi di Rwanda. Tujuan pendirian ICTR ini adalah untuk membantu proses rekonsiliasi di Rwanda dan untuk mengembalikan kedamaian di negara tersebut. Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28 orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[7]

Simpulan :
            Genosida merupakan sebuah kejahatan tragis atas pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok tertentu. Genosidadi Rwanda terjadi selama periode 100 hari pada tahun 1994, dilatar belakangi oleh konflik etnis dan memakan korban jiwa hingga 800.000 jiwa. PBB dinilai tidak tegas dan lamban dalam menyelesaikan konflik. Seharusnya PBB lebih berperan penting untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan melakukan sebuah Human Intervention untuk meminimalisir korban yang ada. ICTR atau International Criminal Tribunal for Rwanda didirikan dengan alasan terjadinya pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) yang terjadi di Rwanda. Tujuan pendirian ICTR ini adalah untuk membantu proses rekonsiliasi di Rwanda dan untuk mengembalikan kedamaian di negara tersebut. Secara garis besar, peran dunia internasional dan hukum internasional pada kasus genosida di Rwanda ini dinilai kurang efektif karena hanya terfokus untuk mengadili pelaku kejahatan di akhir konflik dan mengesampingkan fokus untuk meminimalisir korban jiwa saat genosida berlangsung.


[1] Rwanda Genocide Timeline dalam  http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 9 April 2015
[3] Ibid.
[5] Cooper, Allan D. 2011. From Slavery to Genocide : The Fallacy of Debt in Reparations.  Journal of Black Studies 2012 43: 107 originally published online 10 June 2011Journal. h. 112.
[6] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda dalam  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran >  diakses pada 10 April 2015
[7] Ibid.
 

0 komentar:

Post a Comment