Mata Kuliah : HUMANITARIANISME DAN INTERVENSI
KEMANUSIAAN
Tanggal : 10
April 2015
Kasus genosida memang
menjadi perhatian internasional dimana merupakan sebuah kejahatan tragis atas
pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok
tertentu. Dalam beberapa kasus, aksi ini dilatar belakangi oleh perbedaan etnis
dan kerugian yang ditimbulkan oleh genosida ini tidak hanya menyangkut
penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia namun juga mengancam kestabilan
keamanan internasional. Aksi genosida ini memang sudah banyak terjadi
bertaun-tahun yang lalu sejak abad sebelum masehi dan hal tersebut berlangsung
hingga kini. Banyak kasus genosida yang penanganannya tidak tuntas sehingga
menimbulkan pertanyaaan, bagaimana peran dunia internasional menanggapi
berbagai kasus genosida? Seberapa efektif hukum internasional untuk mengatasi
kasus ini? Dari sana penulis mencoba memaparkan dengan menghubungkan dengan
kasus genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994.
Pembunuhan Etnis di Rwanda
Rwanda merupakan sebuah negeri
berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah. Pembantaian massal yang terjadi di Rwanda
atau dikenal Genocide Rwanda terjadi selama periode 100 hari pada tahun 1994 dan dilatar belakangi oleh konflik etnis. Terdapat 2 etnis utama
di Rwanda yaitu etnis Hutu dan etnis minoritas Tutsi. Dari segi fisik dan
budaya kedua etnis tersebut sebenarnya dapat dikatakan serupa. Perbedaan utamanya
adalah dianggapnya etnis Tutsi sebagai etnis yang lebih mapan dan bersatatus
sosial tinggi karena etnis Tutsi memiliki kerjaannya sendiri di tanah Rwanda,
dibandingkan dengan etnis Hutu yang sebagian besar berprofesi sebagai petani
rendahan dan pekerja kasar. Perbedaan
etnis dan suku antara Tutsi-Hutu sebenarnya diciptakan dan ditonjolkan oleh
penjajah dan penguasa asing yang memiliki kepentingan nasional di Rwanda
sehingga kebencian etnis Hutu terhadap etnis Tutsi mulai membumbung.[1]
Menyusul
terjadinya arus kemerdekaan di Asia-Afrika, Rwanda pun merdeka sebagai negara
Republik di tahun 1962 atas bantuan Belgia sehinga pemerintahan didominasi oleh
komunitas Hutu. Karena banyaknya konflik menjelang kemerdekaan, ratusan ribu
orang dari komunitas Tutsi melarikan diri ke luar negeri dan mendirikan
kelompok bersenjata yang bernama Front
Patriotique Rwandais (FPR) yangbertujuan untuk memperjuangkan kembali
hak-hak komunitas Tutsi yangterusir dari Rwanda.[2] Di dalam tragedi genosida ini
terjadi pembantaian terhadap 800.000 orang suku Tutsi dan Hutu
moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe. Peristiwa ini bermula
pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi
korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Disinyalir peristiwa
penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden
Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana berencana melakukan persatuan
etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu.[3]
Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu
pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%)
dan Twa (1%), Konsep pemerintahan power sharing yang melibatkan banyak suku ini
tercantum dalam Piagam Arusha (Arusha Accord). Habyarimana mengangkat perdana
menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda
jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan
sistem pemerintahan satu suku.[4] Peristiwa tragis penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam
setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade. Kelompok militan Rwanda,
Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa
memedulikan status dan sebagainya.
Aksi genosida ini juga dilatar belakangi kecurigaan pelaku penembakan presiden
yang berasal dari suku Tutsi.
Dalam seratus hari pembantaian
berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak
sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.
Aplikasi Peran dan Hukum Internasional terhadap
Genoside Rwanda
Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai:[5]
“…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”
Menurut hukum internasional dalam pasal II konvensi, genosida merupakan sebuah kejahatan yang menurut hukum internasional harus dicegah dan dihukum yang berdasarkan dengan kesepakatan meraka dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG) tanggal 9 Desember 1948.
Lalu bagaimana reaksi pihak internasional dalam kasus genosida di Rwanda ini? Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional. Jadi negeri yang lain tidak memiliki national interest terhadap Rwanda. Selain itu, negeri ini tidak memiliki sumber daya alam yang menguntungkan menurut negara-negara tersebut. Pihak internasional baru benar-benar turun tangan menyelesaikan konflik yan terjadi setelah melihat banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan. PBB yang merupakan organisasi internasional yang berperan penting menjaga keamanan dan perdamaian dunia, di dalam konflik Rwanda ini, dinilai tidak tegas dan lamban dalam menyelesaikan konflik. Seharusnya PBB lebih berperan penting untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan melakukan sebuah Human Intervention. Untuk menebus dan menyelesaikan konflik yang ada hingga tuntas, didirikan ICTR. Munculnya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) menunjukkan kepedulian dunia internasional akan terselesainya konflik etnis tersebut dilihat dari parameter Hukum Humaniter Internasional.[6]
ICTR atau International Criminal Tribunal for Rwanda didirikan dengan alasan terjadinya pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) yang terjadi di Rwanda. Tujuan pendirian ICTR ini adalah untuk membantu proses rekonsiliasi di Rwanda dan untuk mengembalikan kedamaian di negara tersebut. Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28 orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[7]
Simpulan
:
Genosida
merupakan sebuah kejahatan tragis atas
pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok
tertentu. Genosidadi Rwanda terjadi selama periode 100 hari pada
tahun 1994, dilatar belakangi oleh
konflik etnis dan memakan korban jiwa hingga 800.000 jiwa. PBB dinilai tidak tegas dan lamban dalam menyelesaikan konflik. Seharusnya PBB lebih
berperan penting untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan
melakukan sebuah Human Intervention untuk meminimalisir korban yang ada. ICTR atau International Criminal Tribunal for Rwanda
didirikan dengan alasan terjadinya pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian
Law) yang terjadi di Rwanda. Tujuan pendirian ICTR ini adalah untuk
membantu proses rekonsiliasi di Rwanda dan untuk mengembalikan kedamaian di
negara tersebut. Secara garis besar,
peran dunia internasional dan hukum internasional pada kasus genosida di Rwanda
ini dinilai kurang efektif karena hanya terfokus untuk mengadili pelaku
kejahatan di akhir konflik dan mengesampingkan fokus untuk meminimalisir korban
jiwa saat genosida berlangsung.
[1] Rwanda Genocide Timeline
dalam http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 9 April 2015
[2] http://republik-tawon.blogspot.com/2013/03/rwanda-negara-mini-yang-menjadi-arena.html diakses pada 9 April 2015
[5] Cooper, Allan D. 2011. From Slavery to Genocide : The Fallacy of
Debt in Reparations. Journal of
Black Studies 2012 43: 107 originally published online 10 June 2011Journal. h.
112.
[6] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda dalam <
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran
> diakses pada 10 April 2015
0 komentar:
Post a Comment