My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-
Showing posts with label UAS. Show all posts
Showing posts with label UAS. Show all posts

Thursday, June 16

Kemunculan Private Authority : Studi Kasus PT. Shell Indonesia

Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya


LONG PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester (UAS) mata kuliah Organisasi dan Bisnis Internasional (OBI)


ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai kemunculan private authority yang secara tidak langsung menunjukkan terjadinya kekosongan legitimasi dimana negara atau state tidak lagi dapat memberikan jaminan atau menjadi yang terbaik. Kemunculan private authority diakibatkan oleh weberian institution sehingga menjadikan adannya absence of legitimate. Kemunculannya dikaji melalui studi kasus multinational corporation PT. Shell di Indonesia. Perkembangan dan eksistensinya di Indonesia mengalami pasang surut problematika perubahan status mulai dari  PT. Shell yang pada awalnya hanya menjadi back up dan kontraktor bagi Pertamina hingga memiliki izin beroperasi secara bebas di Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas ini menunjukkan bahwa state authority mulai terdegradasi dan tergantikan oleh private authority. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa private authority dapat berjalan beriringan dengan pendekatan state centric dan keberadaannya mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.
Kata Kunci :   Private Authority, PT. Shell Indonesia, UU Migas.

Pendahuluan
               Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu komponen strategis bagi kondisi perekonomian indonesia dimana sumbangan sektor migas pada APBN negara mencapai 25 %. Oleh sebab itu pengelolaan migas menjadi salah satu komponen vital dan berpengaruh dalam mewujudkan ketahanan energi yang menjadi bagian dari ketahanan nasional. Negara sebagai aktor utama seharusya memiliki kekuasaan dan kekuatan kebijakan terbesar. Termasuk kepada kebijakan-kebijakan seputar pengelolaan enegri dalam negeri. Namun seiring berkembanganya globalisasi, kekuasaan bergeser kepada aktor lain yaitu para pemiliki modal besar misalnya. Terdegradasinya state authority kepada private authority menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dibahas.
               Pasalnya kemunculan private authority secara tidak langsung dapat menunjukkan bahwa terjadi kekosongan legitimasi dimana suatu negara dirasa tidak mampu menberi jaminan atau menjadi yang terbaik.[1] Selain itu hal tersebut juga mamatahkan paham terhadap teori hubungan internasional yang selama beberapa dekade didominasi oleh pandangan bahwa state menjadi aktor yang memiliki otoritas dan legitimasi tertinggi pada global civil society. Lahirnya aktor-aktor baru menjadikan paham realis ini semakin melemah karena kemunculan private authority sebagai manifestasi kelahiran non state actor menjadi titik dimana state kemudian harus berbenah karena akan muncul berbagai permasalahan termasuk can private authority be reconciles with the state-centric approaches that dominate the discipline of international relation? Dan lebih lanjut, can state goes hand by hand with it?
                    Dengan mengambil problematika salah satu aktor multinasional corporation terbesar di industri migas yaitu PT. Shell Indonesia, paper ini berusaha menjelaskan mengenai bagaimana private authority bisa terbentuk? Dan apakah private authority tersebut menguatkan atau justru melemahkan kebijakan negara? Thesis stement yang dibangun adalah bahwa otoritas PT. Shell Indonesia muncul dengan kuat seiring dengan melemahnya kemampuan negara memenuhi kebutuhan di sektor migas, ditandai dengan munculnya UU Migas No. 22 Tahun 2001. Dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa private authority dapat menguatkan dan mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.

Private Authority dan Eksistensinya
               Sebelum melangkah lebih jauh mengenai studi kasus yang ada, ada baiknya kita sedikit lebih memperdalam mengenai apa itu private authority dan bagaimana private authority bisa terbentuk. Cutler, Haufler and Porter (1999) mengungkapkan, 
“authority involves a surrendering of individual judgement, an acceptance of its dictates based not on the merits of any particular pronouncement but on a belief in the rightness of the authority itself.”[2]
Sedangkan berbicara tentang private, Buthe (2004) mengungkapkan,
“Private is defined as “neither states, state-based, nor state-created” and authority is defined as “institutionalized forms or expressions of power” that are legitimate in the sense that “there is some form of normative, un-coerced consent or recognition of authority on the part of the regulated or governed.”[3]
Menurut Green (2014) private authority adalah, 
situations in which non-state actors make rules or set standards to which other relevant actors defer.(This is distinct from lobbying states or influencing public opinion).
Dijelaskan bahwa disebut private authority apabila aktor non negara membuat aturan atau menetapkan standard. Penetapan aturan tersebut dapat mempengaruhi atau menghambat kebijakan aktor lain termasuk state. Teori state centric mengatakan bahwa negara sebagai pengendali kekuasaan yang utama dan dominan. Dan seiring dengan perkembangan globalisasi teori tersebut terbantahkan dengan munculnya aktor-aktor dominan lainnya yang memiliki kekuasaan dan kedaulatan sendiri (private authority). Aktor-aktor tersebut diantaranya NGO, MNC, jaringan transnasional formal dan informal dari birokrat pemerintah, masyarakat umum (opini) hingga jaringan kriminal dan teroris internasional. Karakteristik dari pada private authority  adalah berinteraksi dengan aktor negara atau aktor non state lainnya juga pemerintah, beroperasi untuk provit dan public goods, dapat mendukung atau melemahkan sistem negara. 
               Lalu bagaimana private authority muncul? private authority muncul karena kegagalan dan krisis weberian institution. Weberian institution menjelaskan bahwa negara sebagai otoritas yang sah (legitimate authority) dimana memiliki kekuasaan dan kedaulatan penuh sebagai pengambil keputusan. Adanya kegaalan weberian institution, menjadikan adannya absence of legitimate dimana tidak adanya otoritas yang sah karena negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik.[4] Akibatnya muncullah private authority. Ketaatan kita terhadap private authority dikarenakan private authority memiliki keahlian (expertise) dan kemampuan (capability) yang sesuai dengan apa yang kita inginkan sehingga pada akhirnya memiliki otoritas terhadap kita (legitimacy).[5]
            Berbicara mengenai otoritas, Lake (2003) menyatakan,
“Authority exists in myriad forms at all levels of politics, including by states over other states, by supranational entities, and by private actors. Authority is not given or fixed, but is itself the product of politics.”[6]
Dikatakan bahwa otoritas ada dan muncul di berbagai bentuk dan tingkatan dimana termasuk juga produk dari politik. Peran private authority salah satunya dapat dikaji melalui keberadaan multinational corporation (MNC) dimana pada era globalisasi ini, MNC memiliki kewenangan yang sangat besar dalam memgang ekonomi global. State tidak dapat memungkiri bahwa MNC membawa dampak ekonomi yang sangat signifikan dan pada akhirnya mengarah kepada kontribusinya terhadap global governance.

Dinamika Perkembangan Status PT. Shell Indonesia
Tahun 1885 menjadi awal dimana perkembangan migas Indonesia mulai mencuat. Setelah berhasil ditemukannya sumber minyak di Telaga Tunggal, lereng gunung Ciremai oleh salah satu pengusaha bekebangsaan belanda yang bernama Jan Reerink, akhirnya banyak mendorong pencarian besar-besaran di daera lain sehingga juga menciptakan usaha untuk berproduksi di sektor perminyakan, pengolahan dan penyulingan minyak bumi dan pemasarannya Hal tersebut pada akhirnya membuat banyak perusahaan multinasional asing berlomba-lomba untuk masuk melakukan kegiatan usaha sektor migas di Indonesia seperti misalnya Standard Oil of New Jersey, Socony Vacuum (Standard Oil of New York), Standard Vacuum Petroleum (STANVAC), California Texas Oil dan tentu saja The Royal Dutch Shell Group atau atau saat ini dikenal sebagai “Shell”. [7]
Secara historis, perjalanan Shell di Indonesia terbilang panjang mulai dari awal abad 20. Sumber minyak bumi yang ditemukan di Sumatra Utara, Sumatra Sealatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur menjadi awal kemunculan perusahaan Shell di bidang produksi, penyulingan, transportasi dan pemasaran. Royal Dutch untuk bagian produksi dan penyulingan, sementara Shell di bidang transportasi dan pemasaran. Di tahun 1902, Shell dan Royal Dutch membentuk perusahaan bersama untuk menangani pengiriman dan pemasaran dengan nama The Shell Transport and Royal Dutch Petroleum Co, Ltd. Dan puncaknya pada 24 februari 1907, terbentuklah Royal Ducth / Shell Group of Companies yang kemudian dunia lebih mengenalnya dengan Shell. Sebagai salah satu perusahaan multinasional terkemuka dunia di industri migas.[8]
Lalu bagaimana dinamika perkembangan status Shell di Indonesia sendiri? Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 dimana mengemukakan bahwa “bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” sehingga negara memiliki authority dan kedaulatan penuh untuk mengelola sumber daya termasuk dalam sektor migas. Selanjutnya pada tahun 1963, dibentuknya UU No. 14 Tahun 1963 dimana menjelaskan mengenai status kedudukan Shell di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa daerah-daerah bekas konsesi korporasi asing pertambangan di Indonesia, salah satu diantaranya Shell, dinyatakan dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dimana segala usaha pertambangan minyak dan gas bumi hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara, kecuali apabila diperlukan pelaksanaan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh negara maka dapat ditunjuk korporasi asing sebagai kontraktor perusahaan negara.
Melalui UU No. 8 Tahun 1971, Pertamina digunakan sebagai perusahaan utama migas negara yang mengatur segala macam bentuk pengelolaan migas di Indonesia. Dan beberapa perusahaan asing termasuk Shell bekerja untuk Pertamina sebagai kontraktor dan dalam bentuk production sharing contract.[9]
           
Degradasi State Authority : Dibentuknya UU Migas No. 22 Tahun 2001
            Dengan berjalannya waktu, peminatan atau kebutuhan masyarakat akan bahan bakar minyak makin bertambah. Hal tersebut membuat perusahaan pertamina sulit untuk memenuhi permintaan dikarenakan alat-alat produksi yang terbatas untuk mengolah minyak. Kemudian untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Keppres No.31 Tahun 1997 tentang perusahaan minyak swasta.[10] Dengan adanya peraturan tersebut pemerintah memberi izin kepada Pertamina untuk membeli minyak pada perusahaan swasta tanpa mengubah peran pertamina yang memonopoli Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Status tersebut membuat Pertamina menjadi aktor monopoli utama sektor migas di Indonesia dan Shell masih sebagai perusahaan multinational swasta yang berperan sebagai salah satu produsen bagi Pertamina.
            Berbagai tuntutan kebutuhan pasar yang berlebihan pada akhirnya membuat state tidak lagi mampu memberi yang terbaik, dalam arti negara memerlukan bantuan pemenuhan kebutuhan migas melalui aktor lain. Di sini terlihat bahwa mulai tampak alasan kemunculan private authority. Negara menjadi lebih bergantung pada aktor lain seperti multinational corporation. Akhirnya pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan diberlakukannya UU ini menjadikan perusahaan swasta dengan mudah dan bebas untuk melakukan pengolahan dan pemasaran minyak di Indonesia. Pertamina tidaklah lagi menjadi regulator dan aktor tunggal dalam sektor migas di Indonesia.[11] Undang-undang ini yang menjadi pemicu awal untuk meliberalisasi di sektor minyak dan gas bumi untuk membuat pasar yang lebih kompetitif. Dan sampai pada tahun 2005 silam, tercatat sebesar 105 perusahaan telah mendapat izin untuk beroperasi, mengelola, dan memasarkan produk Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia termasuk PT. Shell Indonesia.
            Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas ini menunjukkan bahwa state authority mulai terdegradasi dan tergantikan oleh private authority. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain. Aktor lain seperti multinational corporation menjadi memiliki kekuatan dan kedaulatan tersendiri yang bahkan di beberapa kasus lebih besar dari kekuatan negara. Dalam kasus ini, diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang tersebut menunjukkan terjadinya absence of legitimate yang ditandai dengan ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan energi dan pemenuhan migas sehingga menjadikan tidak adanya otoritas yang sah. Negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik kepada rakyatnya sehingga memerlukan bantuan dari private authority atau perusahaan swasta lain seperti PT. Shell Indonesia.
             
Perdebatan: Dapatkah Private Authority Berjalan Beriringan dengan Pendekatan State Centric (?)
            Keberadaan otoritas memang mutlak diperlukan. Semua kegiatan pemerintahan termasuk ekonomi hingga politik memerlukan dan membutuhkan sistem pemerintahan yang menyediakan seperangkat aturan dan prosedur yang sesuai. Lalu mengapa yang muncul adalah private authority? Buthe (2004) mengemukakan tiga alasan. Pertama, dalam domain masalah perekonomian saat ini, public authority atau otoritas publik belum sepenuhnya ada sehingga menciptakan kekosongan yang dapat diisi oleh para perusahaan swasta atau private authority. Kedua, dalam kondisi perkembangan globalisasi dan kompleksitas teknologi, terdapat berbagai kekurangan keahlian yang diperlukan sedangkan negara tidak berusaha untuk memenuhi dan memberikan otoritas publik yang memadai sehingga kewenangan beralih dan bergantung terhadap persahaan swasta. Ketiga, adanya perubahan idiologi dimana munculnya ide-ide ekonomi liberal yang membuat ruang terhadap private governance.[12]
            Ketika dikembalikan terhadap pertanyaan apakah private authority sendiri di dalam keberadaanya dapat berjalan beriringan dengan state atau negara, maka penulis setuju terhadap pernyataan Hell & Bierstaker (2002) yang menyatakan,
“Relations between authorities are multifaceted and difficult to pin down -- and, indeed, the privatization of specific jobs is now often promoted or welcomed by the state.”[13]
Dewasa ini, keberadaan private authority memang dianggap penting dan tidak dapat dipungkiri konstribusinya. Bahkan state sendiri membuka pintu yang lebar untuk private authority seperti MNC untuk berkontribusi terhadap ekonomi negara dan global seperti penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan, perbaikan infrastruktur dan sebagainya. Auld (2012) juga menyatakan bahwa,
“Private authority can provide functional improvements to existing regime complexes by helping to overcome path dependencies that public authority may face.”[14]
Sekali lagi bahwa keberadaan private authority  tidak dapat dipungkiri membawa kontribusi yang baik dalam membantu mengisi kekosongan dan kekurangan yang dimiliki public authority maupun state.
            Lalu apakah yang terjadi? Manakah yang lebih dominan diantara keduanya? Bagi para realis, yang memang ide dan pandangan mengenai state centricnya masih lah sangat kuat, keberadaan private authority dinilai membawa ketakutan sendiri sehingga memposisikannya sebagai sebuah ancaman. Karena pada kenyataannya private authority memiliki power yang dapat memungkinkan apa yang disebut governance without government sekaligus mempengaruhi global governance. Namun pada saat ini, kemunculan new pattern of governance dimana ditunjukkan dengan pola-pola governance yang melibatkan sektor-sektor di luar negara seperti private authority. Perubahan state domination governance menjadi global governance dilakukan dengan cara adanya kontribusi dari non state aktor dimana keberadaan semua aktor sangat dibutuhkan untuk mengatasi problematika lintas negara.
Penulis meyakini bahwa yang terjadi adalah power sharing, not power shifting.  Jadi keberadaan private authority tidak menggeser kekuasaan negara (power shifting) tapi yang terjadi adalah adanya pembagian dari kekuasaan atau otoritas (power sharing) dimana negara mengakui dan memberikan kesempatan kepada non state actor untuk menjadi bagian dalam perubahan global. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara masih memiliki banyak kekurangan yang tidak dapat dipenuhi sehingga disinilah peran  non state actor masuk dan akan membantu untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun walaupun demikian, state masih menjadi aktor dominan dalam pengambilan segala keputusan. Hal tersebut sesuai pernyataan Ruggi (2004),
“There is general consensus that states remain the most powerful decision-makers in the global system, some clearly more so than others, but state power is being transformed both by the intricate relationship between states, markets, and various civil society associations.”[15]
Negara masih memiliki perannya untuk pegambilan keputusan dan ia masih menjadi penjamin utama terhadap hak-hak milik dan warga negara sehingga negara tidak serta merta menghilang otoritasnya namun yang terjadi adalah sebuah transformasi otoritas. Hal tersebut menguatkan asumsi bahwa keberadaan private authority dengan berbagai kontribusinya dapat mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.

Kesimpulan
            Private authority muncul karena terdegradasinya state authority dimana negara tidak lagi mampu memberi jaminan atau memberi yang terbaik. Kasus status PT. Shell Indonesia merupakan contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses munculnya private authority. PT. Shell yang pada awalnya hanya menjadi back up dan kontraktor bagi perusahaan tunggal dan utama migas Indonesia, yaitu Pertamina, seiring dengan perkembangan globalisasi, berubah statusnya menjadi memiliki izin beroperasi secara bebas di Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pandangan realis selama ini mengenai negara sebagai kekuatan tunggal dan besar tergeser karena globalisasi yang memunculkan aktor lain yang otoritasnya lebih berpengaruh seperti multinational corporation dalam hal ini adalah PT. Shell Indonesia. Keberadaan PT. Shell Indonesia menunjukkan bahwa private authority dapat berjalan beriringan dengan pendekatan state centric sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan private authority mendukung tanpa melemahkan sistem negara itu sendiri.




References
Jurnal :
Auld, Graeme dan Jessica F. Green. 2012. Unbundling the Regime Complex: The Effects of Private Authority. Comparative Research in Law & Political Economy. Research Paper No. 15/2012. Osgoode Hall Law School of York University.
Buthe, Tim. 2004. Governance Through Private Authority : Non-state actors in World Politics. Journal of international affairs, fall 2004, vol.58 no.1. © The Trustees of Columbia University in the City of New York.
Cutler, Clair, Virginia Haufler and Tony Porter. 1999. Private Authority and International Affair. State University of New York Press.
Driver, Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate Governance and Democracy. Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England.
Hall, R.B. & T.J. Biersteker. 2002. The Emergence of Private Authority in the International System, in R.B. Hall and T.J. Biersteker, ed., the Emergence of Private Authority in Global Governance, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 3-22.
Lake, David A. 2013. Beyond Anarchy: Rule and Authority in the International System. San Diego : University of California Diakses melalui http://www.normativeorders.net/en/component/content/article?id=2668:public-and-private-authority-in-global-governance pada 3 Januari 2016.
Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas, Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
Ruggie, John Gerard. (2004). Reconstituting the Global Public Domain: Issues, Actors, and Practices. Cambridge, MA: John F. Kennedy School of Government, Harvard University.
Sabrina, meutia. 2013.  Analisis Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal.


Lainnya:
UU No. 22 Tahun 2001 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
Keppres No.31 Tahun 1997 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
Kuliah Organisasi dan Bisnis dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D. pada 3 Desember 2015.



[1] Kuliah Organisasi dan Bisnis dengan pengampu Bapak Vinsensio Dugis Ph.D. dan Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D. pada 3 Desember 2015.
[2] Cutler, Clair, Virginia Haufler and Tony Porter. 1999. Private Authority and International Affair. State University of New York Press.
[3] Buthe, Tim. 2004. Governance Through Private Authority : Non-state actors in World Politics. Journal of international affairs, fall 2004, vol.58 no.1. © The Trustees of Columbia University in the City of New York
[4] Driver, Ciaran and Thomson, Grahame. Corporate Governance and Democracy. Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England
[5] Ibid.
[6] Lake, David A. 2013. Beyond Anarchy: Rule and Authority in the International System. San Diego : University of California Diakses melalui http://www.normativeorders.net/en/component/content/article?id=2668:public-and-private-authority-in-global-governance pada 3 Januari 2016.
[7] Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas, Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
[8] Ibid.
[9] Sabrina, meutia. 2013.  Analisis Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal.
[10] Keppres No.31 Tahun 1997 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
[11] UU No. 22 Tahun 2001 diunduh melalui www.hukumonline.com pada 9 Desember 2015.
[12] Ibid.
[13] Hall, R.B. & T.J. Biersteker. 2002. The Emergence of Private Authority in the International System, in R.B. Hall and T.J. Biersteker, ed., the Emergence of Private Authority in Global Governance, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 3-22
[14] Auld, Graeme dan Jessica F. Green. 2012. Unbundling the Regime Complex: The Effects of Private Authority. Comparative Research in Law & Political Economy. Research Paper No. 15/2012. Osgoode Hall Law School of York University.
[15] Ruggie, John Gerard. (2004). Reconstituting the Global Public Domain: Issues, Actors, and Practices. Cambridge, MA: John F. Kennedy School of Government, Harvard University.

Tuesday, September 1

United States Nuclear Strategy : Mini Nuclear Weapon and New START as Deterrence



Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya

LONG PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester (UAS) mata kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS).

ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai strategi nuklir yang digunakan Amerika Serikat untuk mempertahankan pengaruh dan hegemonnya terhadap negara-negara lain. Gagasan mini nuclear weapon dan perjanjian limitas nuklir new START dengan Rusia digunakan sebagai alat deterrence yang dapat membantu Amerika Serikat memaksimalkan kepentingan globalnya. Dijelaskan juga mengenai perdebatan tentang strategi nuklir sendiri yang berbeda dengan strategi-strategi terdahulu. Strategi nuklir disusun tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war).

Introduction
            Berakhirnya Perang Dunia II menjadi turning point lahirnya perkembangan teknologi yang merambah ke segala aspek termasuk ke dalam aspek militer dan peperangan. Hal tersebut seiring dengan lahirnya perkembangan konsep strategi baru yang sangat menarik untuk dibahas. Kelahiran sebuah konsep strategis pada awalnya selalu diidentikkan dengan militer dan peperangan. Nuklir, kemudian menjadi babak baru dalam perkembangan teknologi termasuk persenjataan yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan studi strategi. Dikatakan bahwa nuclear startegy refers to military staratgy that use nuclear weapon. Senjata nuklir sendiri disebut-sebut sebagai the absolute weapon yang memiliki dampak kerusakan terbesar, resiko tertinggi dan tidak ada tandigannya (disarm).[1] Tidak hanya itu, sifat korban akibat senjata nuklir sama dengan aksi terorisme yaitu tidak pandang bulu (indiscriminate effect).[2] Dalam ilmu fisika, efek dari nuklir bisa berdampak hingga bertahun-tahun kemudian karena memang waktu paruh untuk menghilangkan reaksi nuklir relatif lama (sekitar 24.100 tahun untuk plutonium-239). Radiasi nuklir tidak terlihat kasat mata dan dapat menyerang siapapun serta memiliki efek yang sangat berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu senjata nuklir merupakan senjata dengan pengaturan dan peraturan paling detail dalam dunia internasional.
            Merujuk pada konsep strategi terdahulu, Clausewitz tidak pernah berbicara mengenai strategi nuklir. Relevansi Clausewitz dengan strategi nuklir adalah sebatas mengatakan bahwa perang hanyalah cara (tools) yang didalamnya terdapat tujuan politik. Antara tujuan dan cara saling bergandengan dan tidak dapat dipisahkan. Dan bahwa absolute war is abstraction (tidak mungkin terjadi) dan  perang itu sendiri dapat menkoneksikan military, goverment dan people. Kesimpulannya, apa yang dikatakan Clausewittz tidak dapat diaplikasikan ke dalam nuklir strategi. Strategi nulir sendiri digunakan pada mulanya berawal dari attack (menyerang) menjadi dether (penggentar) dimana fungsi penting dari strategi nuklir adalah menimbulkan efek deterrence yang paling tinggi. Beberapa negara mengclaim penggunaan nuklir secara damai namun ditakutkan akan dapat diconvert ke hal-hal yang salah dan negatif sehingga diperlukannya badan pengawasan yang sangat ketat oleh PBB. Amerika Serikat dan Rusia merupakan contoh dua negara super power dengan kepemilikan senjata nuklir selama Perang Dingin. Melalui kepemilikan nuklir ini, mereka masing-masing berusaha mengembangkan Balance of Power menjadi Balance of Fear dan Balance of Threat  agar lebih powerfull dengan adanya Nuclear War. Hal tersebut kembali ke Clausewitz yang menyatakan bahwa defence, as opposed to offense, is the strongest form of war.
            Di dalam paper ini, akan coba dijelaskan dan dianalisis mengenai strategi nuklir yang dilakukan AS sebagai deterrence melalui adanya pengembangan senjata nuklir mini, yang dikenal sebagai strategi nuklir baru AS hingga perjanjian limitasi nuklir, New START[3]. Tulisan ini salah satunya terinspirasi dari banyaknya pemberitaan media massa dunia, termasuk surat kabar di Jakarta pada tahun 2004 yang sempat menyebutkan bocoran informasi dari Pentagon mengenai The United States Nuclear Posture Review (NPR), yang berisikan strategi nuklir baru AS. Strategi nuklir sebagai deterrence ini digunakan sebagai bagian dari strategi keamanan nasional AS terbesar yang pernah diperkenalkan dan memancing perhatian dunia internasional. Hal yang menarik adalah mengapa AS membocorkan gagasan strategi sepenting itu? Lebih lanjut, mengapa AS mau menandatangani perjanjian new START? Apakah keduanya termasuk strategi nuklir AS sebagai deterrence?

Nuclear Age : A New Era on Strategy Revolution
            Era nuklir menjadi era pergeseran dan transisi mengenai perkembangan  perang itu sendiri. Pada masa perang dingin, tujuan negara telah bergeser dari fokus terhadap perang secara fisik menjadi bersaing menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Nuklir kemudian menjadi inovasi baru berteknologi tinggi yang pertama kali dikenal pada tahun 1945 dan digunakan sebagai senjata pemusnah massal (massive destruction) yang lebih dikenal masyarakat semenjak peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki. Pergeserannya juga terkait ke dalam penerapan strategi itu sendiri. Jika pada awalnya, strategi deffense dianggap sebagai primadona, pada era nuklir hal tersebut menjadi tak berlaku lagi.[4] Pada masa pra-nuklir, strategi lebih diarahkan kepada bagaimana memenangkan peperangan dan lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan perang melalui berbagai kebijakan deterrence.
Deterrence adalah sebuah strategi nuklir dimana terdapat sebuah upaya untuk meningkatkan kekuatan sebuah negara dengan cara mengembangkan teknologi secara masif. Akan tetapi dalam implementasinya, terdapat dua kondisi yang dapat digunakan sebagai suatu tolak ukur dalam menjalankan strategi deterrence. Kondisi pertama yakni ketika terdapat suatu negara yang sebenarnya mampu untuk menyerang akan tetapi lebih memilih bertahan untuk tidak menyerang. Meskipun negara tersebut mengetahui bahwa tidak terdapat resiko yang mampu menghalangi. Sedangkan, kondisi kedua yakni tidak ada negara yang menyerang karena negara tersebut mengetahui akan dampak yang dihasilkan dari perang nuklir tersebut.[5] Kondisi kedua ini merujuk pada peristiwa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Rusia yang diantara kedua negara tersebut memilih untuk tidak saling menyerang karena kedua negara paham akan akibat yang dapat ditimbulkan dari perang nuklir tersebut. Kedua kondisi di atas dikarenakan nuklir memiliki kemampuan untuk melucuti senjata, dalam arti senjata konvensional tidak berarti dan nuklir menjadi senjata yang tidak ada tanndingannya (disarm).

Mini Nuclear Weapon and New START as Deterrence
Senjata nuklir mini (mini nuclear weapon) yang merupakan bagian dari strategi nuklir AS, sempat menghebohkan pemberitaan di tahun 2004. Mengenai Senjata nuklir mini (mini nuclear weapon) ini, kita dapat merujuk pada tulisan bapak Makarim Wibisono dalam buku Tantangan Diplomasi Multilateral yang juga sempat dimuat di majalah GATRA, tanggal 21 Agustus 2004. Beliau menggambarkan bahwa terdapat perkembangan mengerikan tentang strategi nuklir baru Amerika Serikat di bawah pemerintahan George J. Bush.[6] Disebutkan bahwa angkatan bersenjata AS diminta untuk mulai merancang langkah-langkah darurat, jika suatu saat diperlukan, untuk penngunaaan senjata nuklir. Di samping itu, mereka juga diminta mengembangkan dan membuat senjata nuklir mini yang memiliki daya penetrasi ke bumi secara dahsyat, tetapi jangkauannya hanya akan terbatas pada area tertentu, dengan skenario penggunaannya di medan laga tertentu (war-fighting scenario).
Secara jelas diungkapkan dalam dokumen bocoran tersebut bahwa persenjataan nuklir tersebut akan digunakan pada tiga situasi khusus yang mendesak. Pertama adalah untuk menghadapi musuh yang yang dapat bertahan pada serangan konvensional mutakhir. Kedua, untuk menghadapi musuh dalam rangka membalas serangan lawan yang menggunakan senjata Weapon of Mass Destruction (WMD). Berikut adalah top 10 yang termasuk ke dalam kategori WMD[7]:
1.      Biological weapon
2.      Chemical weapon
3.      Fusion bom
4.      Fission bom
5.      Boosted fission bom
6.      Neutron bom
7.      Napalm bom
8.      Pure fusion bom
9.      Radiological bom
10.  Toxological bom
Dan yang ketiga adalah untuk menghadapi musuh dalam keadaan tertentu yang masuk kategori bila terjadi perkembangan situasi mendadak (unexpected military situations). Negara yang disebut-sebut menjadi target senjata nuklir ini adalah Cina, Rusia, Irak, Korea Utara, Suriah, Iran dan Libya.[8]
Meskipun banyak hambatan yuridis bagi AS yang tersisa dari piranti hukum internasional yang ada seperti ketentuan dalam Comprehensive Test-Ban Treaty (traktat CTBT) dan Non Proliferation Treaty (traktat NPT), yang melarang percobaan senjata nuklir serta untuk penghapusannya dari permukaan bumi, namun bukan hal mustahil bagi negara besar dan adikuasa seperti AS untuk dengan nyata mengimplementasikannya. Uji coba senjata nuklir dapat dilakukan secara virtual dan laboratory testing dengan memanfaatkan teknologi komputer canggih sehingga peluang untuk mewujudkan strategi nuklir baru ini semakin terbuka. Permasalahan yang menarik bukan hanya sekedar mengenai apakah strategi nuklir ini benar-benar bisa diimplementasikan namun lebih kepada aspek kontekstualnya yaitu mengapa AS membocorkan gagasan sepenting ini? Apakah sebenarnya tujuan dari pada AS?
Menlu Rusia, Igor Avanov menyatakan kekecewaannya terhadap AS mengenai munculnya gagasan strategi nuklir ini. Rusia dan Cina terluka karena mereka mengimplementasikan bahwa sikap mereka membantu AS dibalas dengan sikap sebaliknya yang sangat menyulitkan mereka. Cina membantu AS dalam memberikan data intelijen sewaktu AS mulai menyerang Taliban dan gerakan terorisme internasional. Sedangkan Rusia membantu mengirimkan puluhan dokter dalam tim medis guna membantu tugas kemanusiaan (humanitarian intervention) di Afghanistan. Gagasan yang membuat munculnya ketakutan dunia internasional ini menuai banyak kritik dari luar dan domestik AS sendiri. Pertanyaan yang muncul antara lain keperluannya membuat senjata nuklir baru dalam konteks Perang Dingin yang sudah tidak berlaku, belum lagi besarnya biaya yang seharusnya lebih digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Makarim menyatakan bahwa asumsi dasar dalam perumusan strategi nuklir tersebut masih menggunakan prinsip-prinsip Perang Dingin dalam konteks lampau dimana perubahan sikap AS ini muncul karena dorongan hegemoni yang ingin memantapkan dominasi dan supremasi AS dalam politik global.[9] Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap AS dengan membocorkan gagasan strategi nuklirnya merupakan upayanya sebagai deterrence terhadap negara lain agar pengaruh hegemonnya semakin tidak tergeser.
            Sudah menjadi rahasia umum bahwa era persaingan nuklir antara AS dan Rusia sudah berlangsung sejak lama. Dalam konteks perkembangan lebih lanjut, AS kembali merumuskan strategi nuklir baru di bawah pemerintahaan Barrack Obama. Strategi tersebut dilakukan dengan cara menandatangani perjanjian limitasi new START sebagai upaya untuk lebih memperkuat pengaruh hegemoninya terhadap Rusia maupun negara yang lainnya. AS mengganggap Rusia sebagai musuh dan selalu berusaha untuk memastikan dan menekan jumlah misil dan persenjataannya. Terdapat beberapa cara dalam melucuti lawan (on disarming the enemy), diantaranya adalah:
1.      From subduing to disarming
2.      SALT (Strategic Arms Limitation Talks) : membatasi kepemilikan
3.      START (Strategic Arms Reduction Treaty) : mengurangi kepemilikan
4.      CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty) : Nuclear Zero
New START merupakan perjanjian limitasi nuklir yang ditandatangi pada April 2010 dimana membatasi dan mengurangi kepemilikan senjata nuklir oleh AS dan Rusia hingga tahun 2018. AS ingin membatasi TNW (Tactical Nuclear Weapons) dan kekuatan nuklir Rusia melalui perjanjian ini. sementara itu, Rusia menyetujui perjanjian ini dengan harapan kekuatan senjata konvensional non-nuklir dan konvensional AS seperti BMDs (Ballictic Missile Defense) juga dikurangi.[10] Terdapat 3 main point  dalam perjanjian new START yaitu[11] :
1.      It caps the number of deployed, long-range nuclear warheads on each side at 1,550, down from 2,200.
2.      It reduces the number of deployed intercontinental ballistic missiles (ICBMs), deployed submarine launched ballistic missiles (SLBMs), and deployed heavy bombers equipped for nuclear armaments to 700, with a combined limit of 800 deployed and non-deployed ICBM launchers, SLBM launchers, and heavy bombers equipped for nuclear armaments (the United States currently has about 850 deployed and Russia has an estimated 565).
3.      It reestablishes a system in which both countries monitor each other’s arsenal.   
Satu hal yang menarik, dibentuknya new START akan mempengaruhi keamanan nasional kedua negara. Washington dan Moskow telah memberikan pandangan masing-masing megenai peran senjata nuklir taktis dalam strategi militer. Pada 2012, Mentri Pertahanan (the Secretary of Defense) AS, menyatakan bahwa[12],
“It is possible that our deterrence goals can be achieved with a smaller nuclear force, which would reduce the number of nuclear weapons in our inventory as well as their role in U.S. national security strategy.”
AS percaya bahwa deterrence goals mereka dapat dicapai melalui strategi nuklir dengan mengurangi jumlah senjata nuklir. Melalui perjanjian new START ini, AS sekaligus dapat secara tidak langsung memonitor pergerakan dan perkembangan kemiliteran Rusia. Selain itu, juga memberi kesempatan AS untuk memperlihatkan diri mengenai senjata yang dimiliki sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek penggentar deterrence yang besar bagi pihak lain termasuk Rusia.
           
The Other Debates : Is Deterrence Strategy? Is There A Nuclear of Strategy?
            Kedua studi kasus di atas menunjukkan strategi nuklir AS dimana menggunakan gagasan mini nuclear weapon dan new START sebagai deterrence. Hal tersebut menimbulkan munculnya perdebatan lain. Apakah deterrence sendiri adalah strategi? Mengingat di dalam strategi sendiri terdapat elemen gabungan antara end (tujuan), means (resources) dan ways (cara). Apakah deterrence memiliki ketiga elemen tersebut? Memang di dalam nuklir strategi, deterrence sering digunakan, tidak hanya di negara-negara besar ataupun super power namun juga di negara-negara berkembang seperti India, Cina dan Irak misalnya. Karena memang nuklir sendiri tidak pernah benar-benar digunakan dalam peparangan hingga saat ini, terlepas dari peristiwa Hiroshima dan Nagasaki. Hanya AS sendirilah yang pernah menggunakan senjata nuklir. Menurut Klein[13],
“deterrence is said to be persuading a potential enemy that he should in his own interest avoid certain courses of activity.”
Deterrence lebih diasumsikan kepada bagaimana caranya kita membuat musuh untuk tunduk terhadap kita ataupun dengan keadaan-keadaan bahaya yang bisa kita timbulkan namun tidak dengan keadaan terpaksa, dalam arti dengan kemauan sendiri. Jika kita lihat dari peryataan tersebut, deterrence lebih terlihat seperti taktik psikologis. Untuk lebih memahami teori dari deterrence, Colin S. Gray mengemukakan bahwa deterrence itu sendiri memiliki limitasi[14],
“Given that deterrence can only work, when it does, in the minds of enemy leaders, it is their worldview, not ours, that must determine whether or not deterrence succeeds.”
Pernyataan diatas menyatakan bahwa limitasi sendiri diartikan bahwa berhasil tidaknya deterrence, sangat bergantung dari pandangan individu. Klein sendiri menambahkan bahwa[15],
“Nuclear deterrence is only successful if it averts the use of nuclear weapons, but a credible deterrence capability requires planning for their intended use.  If employed, deterrence has failed.”
Pernyataan Klein ini menguatkan asumsi penulis bahwa memang deterrence merupakan suatu strategi. Dan dengan menggunakan nuklir, maka efek deterrence akan semakin menguat. Pengaplikasian deterrence melalui strategi nuklir sendiri memerlukan perncanaan matang dimana memiliki tujuan tidak untuk digunakan namun lebih kepada menghindari peperangan (avoiding war). Apabila senjata nuklir sebagai deterrence pada akhirnya digunakan, maka taktik nuklir sendiri sebagai deterrence dikatakan tidak berhasil, dalam arti gagal toral.
            Jadi dapat disimpulakan, sependapat denagn pernyataan Klein, bahwa strategi nuklir itu memang ada. Strategi nuklir memang disusun pada dasarnya tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war). Hal tersebut kembali ke relevansi Clausewitz dengan strategi nuklir bahwa absolute war is abstarction. Karena apabila senjata nuklir digunakan maka semua pihak akan hancur dan tidak ada pihak yang menang ataupun kalah. Strategi yang selama ini kita pelajari mulai dari Sun Tzu, Clausewitz hingga modern strategi hanya menjelaskan penggunaan strategi di dalam peperangan secara konvensional dalam arti peperangan tersebut memang benar-benar terjadi di medan laga. Sedangakan strategi nuklir ini justru digunakan sebalikanya yaitu agar peperangan yang sebenarnya tidak terjadi. Walaupun demikian, penggunaaan strategi nuklir tetap memerlukan strategi dimana salah satunya dengan cara mencari relevansi dengan strategi-staretgi terdahulu sehingga strategi tetap dapat digunaakan dan tidak benar-benar usang dalam era nuklir atau dalam strategi nuklir.

Conclution
            Perkembangan teknologi menjadikan perkembangan di berbagai aspek termasuk peperangan, militer dan studi mengenai strategi. Nuklir, kemudian menjadi babak baru dalam perkembangan teknologi termasuk persenjataan yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan studi strategi. Nuklir strategi merupakan strategi dalam militer yang menggunakan senjata nuklir dimana memiliki tujuan untuk deterrence atau sebagai efek penggentar terhadap musuh. AS merupakan salah satu contoh negara yang menggunakan strategi nuklir sebagai deterrence. Melalui gagasan mini nuclear weapon dan perjanjian limitas nuklir new START dengan Rusia, AS berusaha mempertahankan pengaruh dan hegemoninya terhadap negara-negara lain. Keduanya digunakan sebagai alat deterrence yang dapat membantu AS memaksimalkan kepentingan globalnya. Strategi nuklir memang disusun pada dasarnya tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war). Penggunaaan strategi nuklir tetap memerlukan strategi dimana salah satunya dengan cara mencari relevansi dengan strategi-staretgi terdahulu sehingga strategi tetap dapat digunaakan dan tidak benar-benar usang dalam era nuklir atau dalam strategi nuklir.


References
[1]   Bradley S. Klein. 1994. What Nuclear Revolutions, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press.
[2]   Wibisono, Makarim. 2006. Strategi Nuklir Baru Amerika Serikat. dalam Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3S.
[3]   Ibid.
[4]   Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 39-80
[5]   Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies, dalam Military Strategy: Principles, Practices and Historical Perspectives, Washington, D.C.: Potomac Books, pp. 133-144.
[6]   Ibid.
[7]   Catatan kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS) pada 27 April 2015 dengan pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[8]   Ibid.
[9]   Ibid.
[10] Klein, John J.2014. Towards A Better U.S. Nuclear Strategy. Journal of Strategic Security 7, no. 3 pp 84-94.
[11] Woolf, Amy F. 2015. The New START Treaty: Central Limits and Key Provisions. Congressional Research Service.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Gray, Colin S., 2009. National Security Dilemmas: Challenges & Opportunities (Dulles, VA: Potomac Books, Inc., 2009), pp 56.
[15] Ibid.


[1] Bradley S. Klein. 1994. What Nuclear Revolutions, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press.
[2] Wibisono, Makarim. 2006. Strategi Nuklir Baru Amerika Serikat. dalam Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3S.
[3] Ibid.
[4] Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 39-80
[5] Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies, dalam Military Strategy: Principles, Practices and Historical Perspectives, Washington, D.C.: Potomac Books, pp. 133-144.
[6] Ibid.
[7] Catatan kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS) pada 27 April 2015 dengan pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Klein, John J.2014. Towards A Better U.S. Nuclear Strategy. Journal of Strategic Security 7, no. 3 pp 84-94.
[11] Woolf, Amy F. 2015. The New START Treaty: Central Limits and Key Provisions. Congressional Research Service.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Gray, Colin S., 2009. National Security Dilemmas: Challenges & Opportunities (Dulles, VA: Potomac Books, Inc., 2009), pp 56.
[15] Ibid.