BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang
paling dominan dan berpengaruh secara internasional. Dominasi Amerika Serikat
sebagai negara hegemon sudah dimulai sejak lama. Memang pada kenyataannya,
Amerika Serikat bukan hanya mampu mengklarifikasi dirinya sendiri sebagai
negara Hegemon, namun Amerika Serikat juga mampu membuktikan kepada dunia bahwa
ia memang pantas. Perkembangan teknologi di segala bidang, unggulnya
pengetahuan dan cerdasnya strategi kerja sama yang baik menjadikan Amerika
Serikat bukan hanya mampu mendominasi namun juga mampu mempertahankan
dominasinya tersebut dari masa ke masa.
Dalam masa ini, Amerika Serikat sebagai negara
hegemon juga mampu mempengaruhi lebih dalam kedaualan negara lain dan mampu
mengantrol perjanjian dan kedaulatan internasional agar menguntungkan pihaknya.
Tulisan yang patut untuk disimak mengenai Amerika Serikat sebagai negara
hegemon adalah America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry) dan America Crisis of Legitimacy (Robert Kagan). Kedua tulisan ini
memiliki persamaan dan perbedaan yang menarik ditinjau dari
permasalahan-permasalah yang diangkat. Dalam makalah ini akan coba dibahas
mengenai poin-poin permasalahan dan posisi yang diangkat dalam kedua tulisan ini sehingga dapat dibandingkan
dan diketahui persamaan dan perbedaan antar keduanya. Dan pada akhir bab,
penulis akan mencoba mengargumentasikan dan menyimpulkan mengenai dua tulisan
tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dibut rumusan masalah sebagai berikut :
1. Permasalahan apa yang diangkat dari dua tulisan
tersebut?
2. Apa saja persamaan dan perbedaan antar keduanya?
BAB
1I
PEMBAHASAN
2.1 America’s
Imperial Ambition (G. John Ikenberry)
Banyak sekali ide-ide baru yang berkembang ketika masa pemerintahan Bush maupun
Clinton di Amerika. Hubungan koalisi dan kemitraan Amerika Serikat dengan
negara-negara lain sudah banyak dibangun dengan baik sejak tahun 1940-an. Namun
berbagai konflik dan kondisi internasional membuat Amerika Serikat sendiri
mencoba merombak dan melakukan pemikiran ulang untuk mengatur
prinsip-prinsip tatanan internasional. Hal
tersebut dikarenakan sudah banyak dan tidak terkontrolnya ancaman
teroris, senjata pemusnah massal (WMD), penggunaan kekuatan, dan aturan-aturan permainan global. Dari sanalah pada akhirnya lahir sebuh strategi besar
non imperial Amerika Serikat dimana diharapkan dapat mengubah tatanan
masyarakat internasional dan kemitraan politik Amerika Serikat dengan negara
lain menjadi lebih baik.
Dua strategi besar kebijakan Amerika Serikat yang telah ada sejak taun
1940-an adalah realist in orientation
dan liberal
in orientation. realist in orientation merupakan
strategi untuk membangun tatanan internasional
modern dimana diselenggarakan atas dasar keseimbangan kekuatan
besar Amerika Serikat dan Uni Soviet. Di dalam strategi ini, pada dasarnya
Amerika Serikat mencoba meminimalisair kemampuan Uni
Soviet untuk memperluas lingkungan pengaruhnya, menjaga keseimbangan bipolar dan mencapai stabilitas dengan pencegahan
nuklir. Strategi ini menghasilkan keseimbangan kekuatan,perdamaian dan
terhindarnya peperangan, dan bagi Amerika Serikat sendiri, terbentuknya banyak
lembaga kemitraan yang menguntungkan seperti NATO, aliansi AS-Jepang aliansi dan kemitraan keamanan. Sedangkan pada strategi liberal in orientation memandang bahwa tatanan
internasional berdasarkan aturan,
dimana Amerika Serikat menggunakan dominasi politiknya untuk
mendapatkan aturan menyenangkan dan sepenuhnya
melindungi kepentingan Amerika akan dapat menghemat
daya serta memperluas pengaruhnya Amerika Serikat sendiri.
Berkat dijalankannya dua strategi tersebut berakibat munculnya tatanan
internasional berdasarkan tawar-menawar (bargain)
di Amerika Serikat. Tatanan internasional ini dibangun dengan komitmen AS untuk
memberikan mitra Eropa dan Asia dengan perlindungan keamanan dan akses ke pasar
Amerika, teknologi, dan perlengkapan dalam sebuah ekonomi dunia yang terbuka.
Sebagai imbalannya, negara-negara ini setuju untuk menjadi mitra yang dapat
dipercaya memberikan dukungan diplomatik, ekonomi, dan logistik untuk Amerika
Serikat. Pada intinya Amerika Serikat dapat menciptakan perdamaian dan keamanan
bagi dunia, dan sebagai imbalannya dunia sepakat untuk hidup dalam sistem AS.
Untuk
pertama kalinya sejak awal Perang Dingin, strategi besar yang baru mulai terbentuk di
Washington. Strategi baru ini muncul bukan
cuma sebagai respon dari banyaknya terorisme, tetapi juga merupakan
pandangan yang lebih luas tentang bagaimana Amerika Serikat harus memegang
kekuasaan dan mengatur tatanan dunia
dengan cara menggunakan kekuatan militernya yang tak
tertandingi untuk mengelola tatanan global. Strategi
ini memiliki tujuh elemen dan dimulai dengan komitmen
mendasar untuk mempertahankan dunia unipolar dimana Amerika Serikat tidak
memiliki pesaing dan bertindak
sebagai negara hegemon. Elemen kedua adalah
analisis baru yang dramatis
mengenai ancaman global dan bagaimana menghilangkannya. Ancaman global yang dimaksud di sini
adalah teroris yang belum diketahui asal-usul keberadaannya dan diaitkan dengan
kepemilikan persenjataan nuklir. Elemen ketiga
menyatakan bahwa konsep pencegahan (concept
of deterrence) yang dibangun
pada masa Perang Dingin sudah using dan tidak layak diguakan. Konsep pencegahan yang
dimaksud disini adalah bagaimana menyikapi permasalahan penyerangan oleh
terorisme. Elemen baru ini berpendapat bahwa penyerangan tidak semata-mata
hanya cukup diantisipasi, namun apabila sudah terjadi penyerangan, maka suatu
negara harus bisa menunjukkan identitas dirinya dengan menyerang balik sebagai
upaya untuk membela diri dan memberi pelajaran bagi pihak penyerang. Upaya
serangan balik ini ternyata dinilai pihak internasional sebagai tindakan yang
melanggar norma karena penyelesaian masalah lebih mengarah pada kekerasan.
Oleh sebab itu pada elemen keempat, melibatkan
pembentukan kembali persyaratan
kedaulatan. Karena
kelompok-kelompok teroris tidak dapat dihalangi, Amerika Serikat harus siap untuk
campur tangan di mana saja dan kapan
saja untuk menghancurkan
ancaman tersebut. Hal tersbut
menimbulkan masalah dan pertanyaan baru mengenai dimana batas-batas kedaulatan
suatu negara. Karena memang pada dasarnya, kedaulatan suatu negara tidak dapat
dicampur tangani oleh negara lain. Pada masa ini, terorisme dan masalah senjata
pemusnah missal menjadi masalah
yang krusial bagi Amerika Serikat. Kekhawatirannya
adalah bahwa beberapa negara despotik - Irak pada khususnya, tetapi juga Iran
dan Korea Utara - akan mengembangkan kemampuan untuk memproduksi senjata
pemusnah massal dan menempatkan senjata-senjata ini di tangan teroris. Hal ini berakibat semakin gencarnya Amerika Serikat
dalam memegang kedaulatan negara lain. Dengan
demikian negara-negara yang tidak secara teknis melanggar hukum internasional
yang ada tetap bisa target kekuatan Amerika - jika Washington memutuskan bahwa
mereka memiliki kapasitas calon untuk melakukan kejahatan
Elemen
kelima dari strategi ini adalah
depresiasi umum aturan internasional, perjanjian, dan kemitraan keamanan. Dengan adanya perjanjian dapat memberi sanksi bagi pelanggaran dan
membatasi penggunaan kekuatan Elemen ke
enam berpendapat bahwa Amerika Serikat akan dapat memainkan perannya secara langsung dan tidak terbatasi dalam merespon segala bentuk ancaman. Keyakinan ini sebagian
didasarkan pada penilaian bahwa tidak ada negara atau koalisi lain - bahkan Uni
Eropa - memiliki kemampuan kekuatan-proyeksi untuk menanggapi negara-negara
teroris di seluruh dunia. Dari keenam elemen
sebelumnya, maka elemen terakhir menyebutkan bahwa penting dan harus
adannya strategi baru ini untuk
meningkatkan nilai stabilitas internasional.
Dalam
era baru ini, pemikir neo imperial berpendapat
bahwa strategi realis dan liberal tidak banyak membantu. Keamanan
Amerika Serikat tidak terjamin dengan pelestarian
pencegahan terorisme dan
hubungan yang stabil antara negara-negara besar. Dalam dunia ancaman asimetris,
keseimbangan kekuatan global bukanlah pengikat dari perang dan damai. Demikian
juga, pada strategi liberal. Strategi liberal yang membangun tatanan
seputar perdagangan terbuka dan lembaga-lembaga demokratis, mungkin bukan cuma memiliki beberapa
dampak jangka panjang terhadap terorisme, tetapi pada kenyataaannya mereka juga tidak dapat mengatasi ancaman.
Pada masa pemerintahan Bush, Imperialisme Amerika Serikat ditunjukkan
dengan diangkatnya permasalahan senjata pemusnah massal
(WMD) ke puncak agenda keamanannya. Amerika Serikat juga
menghadapi permasalahan di bidang militernya dimana Amerika
Serikat hanya bisa menjaga keunggulan
militernya selama puluhan tahun jika didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang produktif. Sedangkan dengan adanya kekacauan politik yang
ditimbulkan oleh teroris, AS membutuhkan
kerjasama dari negara-negara Eropa dan Asia bukan
Cuma dari segi kerjasama stabilitas finansial, namun juga dalam
kecerdasan, penegakan hukum, dan logistik. Akhirnya, strategi
besar neoimperial menimbulkan masalah yang lebih luas untuk pemeliharaan
kekuatan unipolar Amerika.
Daripada menciptakan
sebuah strategi besar baru, Amerika Serikat seharusnya
lebih fokus menghidupkan kembali strategi yang lebih
tua, yang didasarkan pada pandangan bahwa kemitraan keamanan Amerika tidak
hanya sebagai alat instrumen tetapi
komponen penting dari sebuah tatanan politik dunia yang dipimpin Amerika yang
patut dilestarikan. Kekuatan AS yang
user-friendly dinilai lebih baik bagi dunia internasional dan lebih
sesuai dengan norma. Sedangkan para pemikir neo imperial dihantui oleh
momok terorisme dan mencari penataan ulang peran radikal Amerika di dunia yang nyata dapat lebih menurunkan hegemoni Amerika
Serikat di ranah internasional.
2.2 America Crisis of Legitimacy (Robert
Kagan)
“Apa jenis tatanan dunia yang kita inginkan” merupakan dasar pertanyaan
yang banyak dipikirkan dan diajukan negara-negara dunia sejak era peperangan.
Pada masa kini, lebih ke perdebatan oleh Amerika
dan Eropa mengenai
apakah Saddam Hussein menjadi ancaman serius dan apakah perang adalah cara yang
tepat untuk menghadapinya. Mayoritas
solid Amerika akan menjawab
sementara mayoritas lebih besar dari Eropa menjawab tidak. Namun perbedaan
pendapat tersebut tercermin lebih dari sekedar berbeda penilaian taktis dan
analitis dari situasi di Irak. Perbedaan
tersebut lebih karena adanya perbedaan legitimasi dan kebijakan antara Amerika
dan Eropa. Amerika Serikat tidak bisa mengabaikan
masalah ini karena perjuangan
untuk mendefinisikan dan memperoleh legitimasi internasional di era baru ini
mungkin terbukti menjadi salah satu kontes yang paling penting. Dalam beberapa hal, hal tersebut juga dapat
menentukan masa depan peran AS dalam sistem internasional sebagai kekuasaan yang pengaruh.
Dominasi
Amerika terhadap Eropa menjadikan Eropa bertugas sebagai penjaga bagi Amerika
itu sendiri. Tidak jarang terkadang negara Eropa merasa tertekan merasa
tertindas dibawah dominasi AS. Hal ini
digunakan Uni Soviet untuk mempertanyakan kembali kepada Eropa mengenai benar
atau tidaknya dominasi AS terhadap mereka. Peran PBB senidiri juga dinilai
tidak seberapa berarti bagi internasional. Dewan
Keamanan PBB lumpuh oleh kebuntuan antara dua negara adidaya. Amerika Serikat
tidak menganggap perlu untuk memperoleh persetujuan dari Dewan Keamanan untuk
membuat atau mengancam perang. Di
Eropa, legitimasi AS ada pada tiga pilar, semua
didasarkan pada keberadaan kerajaan komunis Soviet. Pilar sturdiest adalah persepsi Eropa bahwa Uni Soviet merupakan
ancaman strategis bagi AS. Bagi Eropa
sendiri, peran Amerika Serikat sebagai bek utama
terhadap ancaman Soviet memberikan mantel yang sangat luas terhadap legitimasi. Eropa juga dirasakan
Uni Soviet sebagai ancaman ideologi umum. Amerika Serikat membanggakan diri
menjadi "pemimpin dunia bebas," dan sebagian besar orang Eropa
setuju. Keasyikan AS untuk berkonflik secara dingin dengan US
melalui perang dingin memberikan pertanyaan tersendiri bagi Eropa. Kebanyakan
orang Eropa tidak pernah sepenuhnya khawatir
tentang senjata pemusnah massal (WMD)
karena benar atau salah, orang Eropa tidak
percaya bahwa senjata-senjata akan ditujukan pada mereka, namun kekhawatiran mereka lebih ke melihat
Amerika Serikat tidak ada
peranannya untuk melindungi mereka lagi. AS asik dengan surga geopolitik
mereka dengan keamanan yang dijaga Eropa dan tidak lagi peduli
sehingga timbul pertanyaan siapa yang akan menjaga
para penjaga?
Dalam keadaan
unipolar, Eropa telah kehilangan pengaruhnya ketika AS yang dinilai sebagai patner Eropa malah membuat keputusan
yang membahayakan bagi Eropa sendiri. Eropa mulai khawatir tentang kekuatan tak
terbatas AS. Lama terbiasa dengan membantu membentuk
dunia, Eropa tidak ingin hanya duduk diam
dan membiarkan Amerika Serikat melakukan dan
mengontrol semuanya terutama
ketika kemudi AS dinilai bahaya menurut Eropa. Ketakutan Eropa terbukti setelah
serangan insiden 11 September 200. AS merespon dengan menuju irak yang dilihat Eropa sebagai
tindakan anarkis yang tidak sesuai dengan perjanjian awal mereka yang
berlandaskan tawar-menawar dan perjanjian kerja sama yang menjunjung tinggi moral,
politik, dan kepentingan keamanan. Hegemoni
AS telah menjadi masalah yang sangat menjengkelkan bagi orang Eropa. Namun bagaimanapun Eropa masih belum berusaha
untuk melawan hegemoni AS karena kekuatan AS
tidak membahayakan keamanan Eropa atau bahkan
otonominya. Eropa tidak takut AS akan
berusaha mengontrol dirinya, yang mereka takutkan, bahwa
mereka telah kehilangan kontrol atas Amerika Serikat dan, dengan perluasan,
lebih ke arah urusan dunia. Sebagian besar Eropa keberatan dengan invasi AS ke
Irak tidak hanya karena mereka menentang perang tetapi juga karena kesediaan AS untuk pergi berperang
tanpa persetujuan Dewan Keamanan - yaitu, tanpa persetujuan Eropa. Pada akhirnya Eropa mencari jalan dan starategi ain
bagaimana bisa mengontrol AS yaitu dengan cara legitimasi yang berlandaskan dari
negosiasi multilateral dan lembaga-lembaga hukum internasional.
PBB berperan
sebagai tempat aturan-aturan internasional dan
legitimasi didirikan. Namun otorisasi
PBB masih banyk membuktikan ketidakberlakuaannya terhadap AS. AS tidak
mendapatan sanksi apapun karena tindakannya atas invasi ke negara lain tanpa
melewati perizinan dewan keamanan PBB. Bahkan di salah satu kasus, AS berhasil
membawa Kosovo, salah satu negara Eropa untuk ikut berperan dalam invasi. Hal
tersebut mengakibatkan hampir dicabutnya piagam PBB di Kosovo. Ketika
Amerika Serikat dan beberapa sekutunya berperang melawan Saddam Hussein pada
Maret 2003, tidak banyak yang berubah. Prinsip bahwa Dewan Keamanan sendiri
bisa mengizinkan penggunaan kekuatan belum didirikan, bahkan oleh orang Eropa
sendiri. Eropa berpendapat, dengan
adanya invasi AS ke Irak tanpa persetujuan
Dewan Keamanan, Amerika Serikat telah merobek
tatanan internasional. Intinya, legitimasi memang telah terbukti nyaman
fleksibel dalam beberapa tahun terakhir,
tetapi Krisis yang terjadi di Kosovo dan Irak
telah menunjukkan bahwa pencarian legitimasi menciptakan dilema mendasar bagi
liberalisme dan internasionalisme liberal. Mengingat
adanya berbagai konflik menjadikan legitimasi
internasional menjadi masalah sengketa dalam dunia liberal. Meskipun perannya dalam
membantu menciptakan PBB dan menyusun Piagam PBB, Amerika Serikat tidak pernah
sepenuhnya menerima legitimasi organisasi atau doktrin piagam tentang persamaan
kedaulatan. Meskipun sangat melindungi otonomi sendiri, Amerika Serikat dinilai kurang peduli dan sering mengganggu dan menggugat
kedaulatan orang lain. Hal ini telah terbukti dengan adanya
campur tangan AS di
mana saja.
Masalah
legitimasi menjadi masalah yang kompleks ketika bukan cuma menghasilkan
munculnya era unipolar namun juga dua
perkembangan negatifyaitu : poliferasi WMD
dan munculnya terorisme internasional, yang
keduanya tampak lebih mengancam Amerika daripada Eropa. Ketika Amerika Serikat
menyerang Irak, Eropa menetapkan standar baru yang tinggi, tapi goyah bagi legitimasi
internasional. Aksi multilateral dan
kewenangan tindakan bersama menjadi lebih ditekankan. Namun Amerika
Serikat dinilai adalah sebagai unilateral karena tidak
ada kekuatan Eropa memiliki pengaruh yang nyata di atasnya. AS sendiri menganggap dukungan dari dari
banyak negara - atau bahkan lebih baik, lembaga seperti PBB - - sangat penting peningkatan kekuasaan. Amerika Serikat,
singkatnya, harus mengejar legitimasi yang
paling benar dengan cara mempromosikan prinsip-prinsip
demokrasi liberal.
Kesuksesan legitimasi
akan membawa ukuran otoritas dalam liberal, dunia yang demokratis, termasuk di
kalangan orang Eropa. Dalam
mempromosikan liberalisme, Amerika Serikat
juga harus mempertimbangkan dan memperhitungkan
kepentingan dan kekhawatiran sekutu demokrasi liberal di Eropa yaitu dengan cara memberikan
Eropa beberapa pengaruh atas pelaksanaan kekuasaan. Salah satu hasil legitimasinya adalah NATO yang telah menjadi salah
satu organisasi yang mampu mendamaikan hegemoni AS dengan otonomi Eropa. Eropa mungkin berhasil
melemahkan Amerika Serikat dengan cara ini,
namun dari sana juga timbul bukan hanya akan timbul
kegelisahan tentang unipolaritas, tetapi
juga sistem multipolar.
2.3 Persamaan dan
Perbedaan
Dari kedua tulisan mengenai Hegemoni Amerika Serikat tersebut di atas, dapat
dibandingkan dan ditemukan persamaan dan perbedaannya. Persamaannya terletak
pada bagaimanapun situasi dan kondisi serta konflik yang terjadi dan sedang
dihadapi, Amerika Serikat tetap bisa mempertahankan Hegemoninya dengan berbagai
cara. Dalam tulisan America’s Imperial Ambition (G. John Ikenberry), Amerika Serikat mencoba mengubah
tatanan masyarakat internasional melalui strategi kebijakan baru, neo-imperalis
dimana strategi ini muncul bukan cuma sebagai respon dari banyaknya terorisme,
tetapi juga merupakan pandangan yang lebih luas
tentang bagaimana Amerika Serikat harus memegang kekuasaan dan mengatur tatanan
dunia dengan cara menggunakan
kekuatan militernya yang tak tertandingi untuk mengelola tatanan global.
Sedangkan
dalam tulisan America Crisis of
Legitimacy (Robert Kagan), Amerika Serikat mengikuti aturan dan saran pihak
internasional, dalam hal ini Eropa untuk mematuhi legitimasi global dalam
pengambilan setiap keputusan. AS melakukan hal ini karena memang pada
kenyataannya ia masih banyak memerlukan dukungan dari negara lain untuk memulihkan
tatanannya dan mengatasi ancaman terorisme yang datang dari luar sehingga ia
masih dapat mempertahankan status Hegemoninya.
Untuk
perbedaan antar keduanya, dapat dilihat melalui pencetusan gagasan dan ide
permasalahan yang diangkat. Dalam America’s
Imperial Ambition (G. John Ikenberry), ide untuk membentuk strategi baru
neo-imperialisme datang dari AS sendiri. AS mencoba menganalisa sendiri
bagaimana perkembangan tatanan negaranya dan kondisi serta ancaman global yang
terjadi di internasional. Kemudian mencoba merumuskan strategi baru yang tetap
bisa menguntungkan dirinya dan mempertahankan hegemoninya namun juga tidak
membuat negara internasional merasa tertekan untuk mengikuti kedaulatannya. Sedangkan
pada tulisan America Crisis of Legitimacy
(Robert Kagan), dibentuknya legitimasi baru berdasarkan gagasan dari luar,
dalam hal ini Eropa dimana Eropa secara diam-diam terus memantau perkembangan
sikap AS terhadap internasional dan selain itu didasari kepentingan pribadinya
untuk tetap terlibat dalam pengambilan keputusan AS. AS dalam hal ini hanya
sebagai pihak pengikut legitimasi dimana ia hanya melihat apabila selama
legitimasi tersebut masih bisa menguntungkan dirinya, maka ia akan bersedia
mengikutinya.
Perbedaan
lainnya dapat dilihat dari kekuatan mana dan siapa yang ingin dibatasi. Dalam
tulisan pertama, jelas terlihat bahwa kekuatan yang ingin dibatasi adalah
kekuatan dari luar. Hal tersebut ditunjukkan dengan cara ditingkatkannya
persenjataan militer AS sehingga bisa menjadikannya sebagai negara unipolar
yang ditakuti semua. Sedangkan pada tulisan kedua, yang ingin dibatasi adalah
kekuatan AS sendiri. Eropa mencoba taktik baru membatasi kekuatan AS dengan
memaksa AS mengikuti legitimasi yang ada sehingga AS tidak lagi bisa langsung
bertindak sesuai keputusannya sendiri. Satu lagi perbedaan yang ditemukan,
bahwa dasar dari persoalan yang timbul. Dalam tulisan pertama, persoalan timbul
karena ketakutan dan kekhawatiran AS terhadap ancaman teroris. Sedangkan dalam
tulisan kedua, dasar persoalan adalah ketakutan Eropa untuk tidak berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan AS.
BAB
III
ARGUMENTASI DAN KESIMPULAN
Kedua
tulisan tersebut secara langsung menggambarkan bagaimana dominasi dan Hegemoni
Amerika Serikat di ranah internasional memang sudah dimulai sejak lama. Dalam
tulisan pertama dijelaskan bagaiman AS mampu memberikan rasa aman dan
menjadikan negara-negara lain sebagai pasukan koalisi yang tunduk padanya. AS
juga mampu menjadikan Eropa sebagai pasukannya tanpa khawatir pada US yang
secara geografis lebih bisa berpengaruh terhadap Eropa. Terbukti bahwa memang
AS memegang dominasi penuh terhadap segalanya. AS sebagai negara Hegemon mampu
mengontrol tatanan global dan mampu membuat berbagai keputusan internasional yang
menguntungkan dirinya. AS mampu menciptakan strategi kebijakan baru, juga dapat
melaksanakan keinginannya untuk menginvasi negara lain tanpa melalui lembaga
internasional termasuk PBBdan berhasil lolos dari sanksi atas tindakannya
tersebut.
Kedua
tulisan ini juga mengungkapkan bahwa, negara AS sebagai negara hegemon juga
masih bisa diterjang berbagai permasalahan global yang mengancam kedaulatan dan
kedudukannya sebagai negara adidaya. Diantraranya semakin maraknya
perkembanagan terorisme dan teknologi persenjataan nuklir, mau tidak mau
membuat AS sendiri merasa terancam. Juga banyak terjadinya serangan fisik
negara lain terhadap AS. Tulisan tersebut juga menunjukkan bagaimana upaya AS
untuk mempertahankan dirinya. Dengan menjalankan strategi baru, maupun
mengikuti legitimasi yang diajukan pihak lain. Semua hal akan dilakukan AS
selama hal tersebut masih bisa menguntungkan dirinya.
Dari sana
dapat dilihat bahwa memang AS pantas untuk disebut sebagai negara Hegemon
karena selain dapat menciptakan kualitas dirinya lebih unggul dibanding negara
lain, AS juga mampu mengahadapi segala bentuk permasalahan yang ada untuk dapat
mempertahankan posisinya sebagai negara Hegemon. Dan yang terpenting, AS juga
bisa dengan mudah mendapatkan pengakuan dari negara lain karena memang
keunggulannya dalam berbagai bidang fisik dan kecerdasannya dalam strategi
mengatur strategi kerja sama dengan negara lain
DAFTAR PUSTAKA :
Ikenberry,
G. John. 2002. America’s
Imperial Ambition. September/October 2002 Issue. Diakses online di http://www.foreignaffairs.com/
tanggal 28 Oktober 2014
John A. Agnew.
2005. Hegemony: The New Shape of Global
Power. Philadhelpia, PA: Temple University Press.
Kagan, Robert.
2004. America Crisis of Legitimacy. March/April 2004 issue of Foreign Affairs. Diakses online di http://www.nytimes.com/ tanggal 28 Oktober
2014
Michael,
Mastanduno. Incomplete Hegemony: The
United State and The Security Order of Asia. Bahan ajar mata kuliah
perdamaian dan keamanan internasional FISIP Unair
Kuliah
Perdamaian dan Keamanan Internasional dengan pengampu Sartika Soesilowati PhD,
tanggal 21 dan 22 Oktober 2014
Online
referensi : diakses pada tanggal 28
Oktober 2014
0 komentar:
Post a Comment