Persoalan penindasan hak asasi manusia
(HAM) menjadi salah satu isu yang menarik untuk dibahas di ranah hubungan
internasional. Pasalnya apabila kita berbicara mengenai HAM, maka juga
menyangkut pembahasan mengenai nilai-nilai manusia sebagai makhluk sosial yang
patut ditegakkan dalam kehidupan dan tatanan global. Adanya globalisi membuat
perkembangan dan kemajuan informasi serta komunikasi sehingga mempermudah akses
untuk pelaksanaan penindasan HAM itu sendiri. Di lain pihak, globalisasi juga membuat
menguatnya dukungan dan pengakuan terhadap HAM. HAM menyangkut hak dasar
kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia yang dimiliki semua orang tanpa
terkecuali. Namun adanya perbedaan politik, sosial, budaya dan ekonomi antar
negara terkadang berpengaruh terhadap meningkatnya penindasan HAM di suatu
wilayah. Misalnya saja adanya minoritas terhadap suatu kaum yang menyebabkan
adanya diskriminasi hingga pada akhirnya mengancam hak dan kebebasan untuk
hidup. Salah satunya adalah dalam kasus genosida Rwanda. Di dalam paper ini
akan coba dijelaskan mengenai bagaimana keterkaitan antara globalisasi dan HAM
melalui studi kasus genosida Rwanda dan bagaimana hal tersebut menjadi isu
internasional. Thesis statement atau
argumen yang dipakai adalah bahwa adanya globalisasi mendorong terjadinya
genosida Rwanda sekaligus juga mendorong terjadinya penegakan HAM di Rwanda
dari dunia internasional. Globalisasi mempermudah penyampaian informasi
propaganda rasis melalui media sebagai katalis penindasan HAM di Rwanda
sekaligus globalisasi juga menjadikan dunia internasional lebih mudah
mendapatkan informasi dan terrgerak berlomba-lomba melaksanakan intervensi
kemanusiaan di Rwanda.
Globalization and Human Right
Sebelum
membahas lebih jauh mengenai case study yang
ada, terlebih dahulu kita perlu
membahas mengenai hubungan globalisasi dan hak asasi manusia. Pada dasarnya hak
asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat di individu manusia. Dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada pasal pertama mengemukakan bahwa
“All human beings are born free and
equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and
should act towards one another in a spirit of brotherhood”[1] dimana menjelaskan bahwa semua orang berhak atas
hak untuk hidup yang tentunya dibatasi juga oleh hak-hak orang lain. Lalu
bagaimana hubungannya dengan globalisasi? Memang globalisasi sendiri membawa
efek positif maupun negatif termasuk ke dalam aspek hak asasi manusia itu
sendiri. Arat mengemukakan bahwa[2],
“Globalization and Human Rights, as a whole, is
concerned about understanding the ‘phenomenon’ of globalization and its impact
on human rights, whether it establishes a threat to human rights or creates
opportunities for the advancement of human rights.”
Dari
sana dapat dilihat bahwa globalisasi seperti pisau bermata dua dimana
keberadaannya dapat menjadi ancaman bagi HAM sekaligus sebaliknya, yaitu dapat
menjadi pendorong peningkatan kemajuan HAM. Globalisasi menembus sekaligus
memperpendek batas ruang dan waktu sehingga terjadi keterkaitan jaringan yang
saling berhubungan. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan
merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini
tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih di bidang komunikasi seperti
radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.[3] Globalisasi
juga membuat keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa sebagai tatanan dunia
semakin besar. Internasionalisme melalui hadirnya organisasi internasional
seperti PBB turut membantu menghangatkan kembali isu-isu seputar HAM. Kemajuan
HAM sudah menjadi proses dari globalisasi. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan,
“The advancement of human rights, for example, has
been a part of the globalization process: a set of norms and values has been
recognized as universal human rights, even though they may not be fully
accepted or implemented.”[4]
Dikatakan bahwa
nilai-nilai HAM telah diakui secara universal walaupun mungkin belum
dapat sepenuhnya dilaksanakan. Penindasan mengenai HAM tidak hanya sebatas
diketahui sebagai isu global, namun juga harus ada tindak lanjut penanganan
dunia internasional dalam arti globalizing
issues such as human right struggle, demand discussion.[5]
Human
Right Struggle : Rwanda’s Genocide
Genosida
merupakan sebuah kejahatan tragis atas
pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok
tertentu. Dikatakan bahwa,
“Genocide is the
deliberate and systematic eradication or mass killing of a group or large
population identified by the perpetrators. It is the large- scale violation of human rights.”
Pernyataan tersebut menekankan bahwa genosida
merupakan pelanggaran skala besar dalam hak asasi manusia. Pembunuhan terhadap
satu individu saja merupakan suatu kejahatan kemanusiaan. Apalagi pembunuhan
besar-besaran seperti genosida. Sisi kemanusian semakin terkikis sehingga
diperlukan penanganan dan perhatian ekstra dari dunia internasional terhadap
isu-isu HAM ini.
Di kasus Rwanda, pembantaian massal atau dikenal genosida Rwanda terjadi selama periode kurang lebh 100 hari pada tahun 1994 dan dilatar belakangi oleh konflik etnis. Rwanda merupakan sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara
terpadat di Afrika Tengah dimana terdapat
2 etnis utama yaitu etnis mayoritas Hutu dan etnis minoritas Tutsi. Dari segi
fisik dan budaya kedua etnis tersebut sebenarnya dapat dikatakan serupa.
Perbedaan utamanya adalah dianggapnya etnis Tutsi sebagai etnis yang lebih
mapan dan bersatatus sosial tinggi karena etnis Tutsi memiliki kerjaannya
sendiri di tanah Rwanda, dibandingkan dengan etnis Hutu yang sebagian besar
berprofesi sebagai petani rendahan dan pekerja kasar. Perbedaan etnis dan suku antara Tutsi-Hutu
sebenarnya diciptakan dan ditonjolkan oleh penjajah dan penguasa asing yang
memiliki kepentingan nasional di Rwanda sehingga kebencian etnis Hutu terhadap
etnis Tutsi mulai membumbung.[6]
Pasca penembakan presiden Habyarimana pada 6 April 1994, yang memang
dikenal sebagai perintis pemerintahan multi etnis (power sharing), ketegangan antar etnis Hutu dan Tutsi meningkat.
Disinyalir dan dicurigai peristiwa penembakan keji itu
dilakukan etnis Tutsi sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa
depan Rwanda. Komunitas Tutsi yang
merasa tertekan dan terpinggirkan oleh komunitas mayoritas Hutu kemudian
mendirikan kelompok bersenjata yang bernama Front
Patriotique Rwandais (FPR) dimana bertujuan untuk memperjuangkan kembali
hak-hak komunitas Tutsi yang terusir dari Rwanda.[7] Sedangkan
etnis Hutu membentuk kelompok militan Rwanda,
Interahamwe dan Impuzamugambi.
Peristiwa tragis penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian
etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh
tempat di Rwanda langsung diblokade.
Kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membunuh siapa
saja, terutama dari golongan etnis
Tutsi tanpa memedulikan status dan sebagainya. Dalam seratus
hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau
paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.
Hal yang menarik adalah, dibalik
peristiwa genosida Rwanda ternyata ada peran besar media sebagai alat
propaganda rasis yang digunakan untuk memperbesar kesenjangan dan kebencian
antar etnis Tutsi dan Hutu di Rwanda. Media yang digunakan adalah Radio
Télévision
Libre des Mille Collines (RTLM). Stasiun radio milik pemerintah
Rwanda ini mengudara sejak 8
Juli 1993 sampai 31 Juli 1994 dan didengar oleh penduduk Rwanda. Radio ini sering dianggap memainkan peran penting
dalam menciptakan suasana kekerasan rasial dengan
menyiarkan propaganda rasis terhadap suku Tutsi, suku Hutu moderat, bangsa Belgia, dan misi UNAMIR Perserikatan Bangsa-Bangsa.yang memungkinkan terjadinya genosida. Kata-kata
progandanya misalnya saja “You have missed some of the enemies. You must go back there
and finish them off. The graves are not yet full!” yang kemudian banyak diadaptasi ke dalam film maupun
novel. Diperkirakan bahwa 9,9% pelaku kekerasan genosida diakibatkan oleh siaran radio ini.
Perkiraan tersebut berarti jumlah korban akibat siaran radio ini mencapai
51.000 jiwa.[8]
International Reaction : Lesson from Rwanda
Lalu bagaimana dengan aksi dari dunia
internasional terkait kasus Rwanda ini? Di era globalisasi, kemudahan akses
informasi maupun komunikasi turut mempermudah penegakan mengenai isu HAM yang
tengah berkembang di suatu negara, hingga pada akhirnya menjadi suatu isu
global. Media memegang peran yang sangat penting dalam terangkatnya kasus
genosida Rwanda ke ranah internasional. Media menjadi pembuka mata dunia bahwa
terdapat ketidakadilan yang tengah terjadi sehingga dunia berlomba-lomba
mengirimkan bantuan atas dasar kemanusian terhadap kasus ini. Selain itu konsep
Responsibility to Protect (RtoP) yang
dicanangkan dan dilegalkan oleh PBB sebagai norma internasional, turut
mendorong adanya intervensi ke dalam kasus Rwanda. RtoP merupakan konsep dengan
ide pokok yang mengemukakan bahwa intervensi
kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi masyarakat internasional untuk
mengambil tindakan yang memadai untuk melindungi hak asasi manusia dan
terancamnya kestabilan internasional. RtoP merubah fokus perdebatan antara sovereignty versus human right menjadi
bagaimana cara terbaik melindungi manusia dari berbagai ancaman kemusnahan
massal[9]
Melalui adanya internasionalisme, juga
dapat dilihat adanya aksi dan reaksi dari organisasi internasional seperti PBB
yang turut memdukung penegakan maupun menekan terjadinya penindasan HAM. PBB
melakukan intervensi kemanusiaan dengan menjadikan dirinya
sebagai peacekeeping dimana
kontribusinya antara lain dengan didirikannya
UNOMUR (United
Nations Observer Mission Uganda-Rwanda), UNAMIR (United
Nations Assistance Mission for Rwanda) dan ICTR (International
Criminal Tribunal for Rwanda). UNAMOR
merupakan pengamat militer yang dibentuk Dewan Keamanan PBB pada Juli 1993
untuk mencegah penggunaan militer dan bentrokan Tutsi-led Rwandese Patriotic Front (RPF) di sepanjang perbatasan. Keterlibatan PBB sudah dimulai ketika mulai banyak terjadi
pentempuran antara angkatan bersenjata pemerintah (Armed Forces of the mainly Hutu Government of Rwanda) dengan
pemberontak Tutsi RPF.[10]
Sedangkan UNAMIR awalnya
didirikan untuk membantu melaksanakan
Perjanjian Perdamaian Arusha ditandatangani oleh para pihak Rwanda pada 4 Agustus 1993. UNAMIR didirikan Dewan Keamanan PBB dan seiring berkembangnya konflik yang terjadi di Rwanda, PBB
berkali-kali memperbaharui resolusi-resolusinya. Melalui resolusi DK PBB 912
(1994) pada 21 April 1994, UNAMIR bertindak sebagai perantara antara
pihak-pihak yang bertikai. Setelah situasi di Rwanda memburuk lebih lanjut,
mandat UNAMIR ini diperluas oleh DK melalui resolusi 918 (1994) pada 17 Mei
1994, untuk memungkinkan UNAMIR berkontribusi terhadap keamanan dan
perlindungan pengungsi dan warga sipil.[11]
Pasca konflik dan berakhirnya genjatan senjata, UNAMIR
tetap berperan aktif untuk Rwanda. Tugas UNAMIR disesuaikan lebih lanjut oleh DK
PBB untuk memastikan stabilitas dan keamanan dan mendorong kembalinya populasi
pengungsi serta membantu mencapai rekonsiliasi nasional. Hal tersebut diperkuat
oleh resolusi 997 (1995) tanggal 9 Juni 1995. Resolusi berikutnya juga
dikeluarkan yaitu resolusi 965 (1994) 30 November 1994 yang membahas mengenai
pengadilan internasional untuk kejahatan di Rwanda dan resolusi 1029 (1995)
dengan fokus utama memfasilitasi pengembalian keamanan dengan persetujuan
pemerintah Rwanda.[12]
Kedua aksi dari PBB, yaitu UNOMUR dan UNAMIR tersebut menunjukkan bahwa konflik
kemanusiaan di Rwanda sudah berkembang menjadi isu internasional. Ditandai
dengan adanya intervensi PBB sebagai representasi dunia internasional. Tidak
berhenti sampai disitu, PBB juga membentuk ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) dibentuk
taggal 8 November 1994 melalui Dewan Keamanan sebagai pengadilan internasional untuk Rwanda dengan
tujuan tunggal mengadili dan menuntut tanggung jawab atas genosida dan
pelanggaran serius lainnya dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di
wilayah Rwanda.[13]
Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28
orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih
menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke
yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR
dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[14]
Dibentuknya ICTR secara tidak langsung merupakan langkah dunia
internasional untuk menekan terjadinya penindasan hak asasi manusia. Melalui
ICTR diharapkan para pelaku tindak kejahatan HAM dan kemanusiaan mendapatkan
efek jera. Namun hal tersebut tidak menjamin sepenuhnya. Dewasa ini, di era
globalisasi yang semakin berkembang, semakin banyak tantangan seputar isu HAM
yang harus ditangani oleh dunia internasional seperti masih maraknya
diskriminasi dan genosida, masih banyaknya under
development dan extreme poverty
serta sebagainya.[15]
Conclusion
Hak asasi manusia merupakan hak dasar
dan fundamental yang melekat dalam tiap individu manusia. Sesuai dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada pasal pertama mengemukakan bahwa
semua orang berhak atas hak untuk hidup yang tentunya dibatasi juga oleh
hak-hak orang lain. Adanya globalisasi turut mempengaruhi perkembangan seputar
isu HAM. Globalisasi berdampak positif maupun negatif terhadap HAM itu sendiri.
Adanya globalisi membuat perkembangan dan kemajuan informasi serta komunikasi
sehingga memperpendek jarak ruang dan waktu. Akibatnya adalah lebih mudahnya
akses untuk pelaksanaan penindasan HAM itu sendiri. Di lain pihak, globalisasi
juga berdampak menguatkan dukungan dan pengakuan terhadap HAM. Dalam kasus
genosida Rwanda, terdapat adanya penindasan HAM yang disebabkan oleh adanya
diskriminasi etnis sehingga menyebabkan terjadinya genosida atau pembunuhan
massal. Globalisasi mempermudah penyampaian informasi propaganda rasis melalui
media radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM) sebagai katalis penindasan HAM di Rwanda. Globalisasi
juga sekaligus menjadikan dunia internasional lebih mudah mendapatkan informasi
dan terrgerak berlomba-lomba melaksanakan intervensi kemanusiaan di Rwanda. Media
memegang peran yang sangat penting dalam terangkatnya kasus genosida Rwanda ke
ranah internasional. Selain itu, berkembangnya isu HAM sebagai isu
internasional juga dikarenakan adanya konsep Responsibility to Protect dan internasionalisasi melalui organisasi
internasional seperti PBB yang keduanya dapat mendorong dunia internasional
tergerak menangani kasus genosida Rwanda.
Referensi :
[] UN, The Universal Declaration of Human Rights, diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/ pada 15 November
2015.
[2] Arat, Zehra F. Kabasakal. 2003. The Globalization of Human Rights,
edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W. Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo:
United Nations University Press.
[3] Basuki, Udiyo. 2013. Globalisasi,
Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM
dalam Konstitusi Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Rwanda Genocide Timeline dalam http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 15
November 2015
[7] http://republik-tawon.blogspot.com/2013/03/rwanda-negara-mini-yang-menjadi-arena.html diakses pada 15
November 2015
[8] Wiltenburg, Mary. 2004. After the Genocide, Redemption. Christian Science Monitor on April
7, 2004. Dikases secara online melalui < http://www.csmonitor.com/2004/0407/p01s03-woaf.html > pada 17 November 2015.
[9] Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan oleh Dewan Keamanan PBB
melalui UNPROFOR (United Nations Protection Force-Croatia/Bosnia/Macedonia).
[0] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses
secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 17 November 2015
[1] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses
secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 17 November 2015
[2] Ibid.
[3] International Tribunal for Rwanda.
Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 17 November 2015.
[4] Peran
Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses
kembali secara online melalui <
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran>
pada 17 November 2015
[5] Kuliah Internasionalisme dan
Globalisasi: Isu dan Strategi sub bab Human
Right Struggle pada 11 November 2015 dengan pengampu Prof. Dr. Makarim
Wibisono. Magister Hubungan Internasional. Universitas Airlangga Surabaya.
[1] UN, The Universal Declaration
of Human Rights, diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/
pada 15 November 2015.
[2] Arat, Zehra F. Kabasakal. 2003. The
Globalization of Human Rights, edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W.
Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo: United Nations University Press.
[3] Basuki, Udiyo. 2013. Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM dalam Konstitusi
Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga
Yogyakarta.
[6] Rwanda Genocide Timeline
dalam http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 15 November 2015
[7] http://republik-tawon.blogspot.com/2013/03/rwanda-negara-mini-yang-menjadi-arena.html diakses pada 15 November 2015
[8] Wiltenburg, Mary. 2004. After the Genocide, Redemption.
Christian Science Monitor on April 7, 2004. Dikases secara online melalui < http://www.csmonitor.com/2004/0407/p01s03-woaf.html > pada 17 November 2015.
[9] Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan
oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNPROFOR (United Nations Protection
Force-Croatia/Bosnia/Macedonia).
[10] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm
> pada 17 November 2015
[11] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm>
pada 17 November 2015
[12] Ibid.
[13] International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui
< http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm>
pada 17 November 2015.
[14] Peran Internasional Criminal
Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui <
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran>
pada 17 November 2015
[15] Kuliah Internasionalisme dan Globalisasi: Isu dan
Strategi sub bab Human Right Struggle
pada 11 November 2015 dengan pengampu Prof. Dr. Makarim Wibisono. Magister
Hubungan Internasional. Universitas Airlangga Surabaya.
0 komentar:
Post a Comment