My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Wednesday, November 25

Globalization and Human Right Struggle: The Case of Rwanda’s Genocide

Persoalan penindasan hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu isu yang menarik untuk dibahas di ranah hubungan internasional. Pasalnya apabila kita berbicara mengenai HAM, maka juga menyangkut pembahasan mengenai nilai-nilai manusia sebagai makhluk sosial yang patut ditegakkan dalam kehidupan dan tatanan global. Adanya globalisi membuat perkembangan dan kemajuan informasi serta komunikasi sehingga mempermudah akses untuk pelaksanaan penindasan HAM itu sendiri. Di lain pihak, globalisasi juga membuat menguatnya dukungan dan pengakuan terhadap HAM. HAM menyangkut hak dasar kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia yang dimiliki semua orang tanpa terkecuali. Namun adanya perbedaan politik, sosial, budaya dan ekonomi antar negara terkadang berpengaruh terhadap meningkatnya penindasan HAM di suatu wilayah. Misalnya saja adanya minoritas terhadap suatu kaum yang menyebabkan adanya diskriminasi hingga pada akhirnya mengancam hak dan kebebasan untuk hidup. Salah satunya adalah dalam kasus genosida Rwanda. Di dalam paper ini akan coba dijelaskan mengenai bagaimana keterkaitan antara globalisasi dan HAM melalui studi kasus genosida Rwanda dan bagaimana hal tersebut menjadi isu internasional. Thesis statement atau argumen yang dipakai adalah bahwa adanya globalisasi mendorong terjadinya genosida Rwanda sekaligus juga mendorong terjadinya penegakan HAM di Rwanda dari dunia internasional. Globalisasi mempermudah penyampaian informasi propaganda rasis melalui media sebagai katalis penindasan HAM di Rwanda sekaligus globalisasi juga menjadikan dunia internasional lebih mudah mendapatkan informasi dan terrgerak berlomba-lomba melaksanakan intervensi kemanusiaan di Rwanda.



Globalization and Human Right
            Sebelum membahas lebih jauh mengenai case study yang ada, terlebih dahulu kita perlu membahas mengenai hubungan globalisasi dan hak asasi manusia. Pada dasarnya hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat di individu manusia. Dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada pasal pertama mengemukakan bahwa “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood[1] dimana menjelaskan bahwa semua orang berhak atas hak untuk hidup yang tentunya dibatasi juga oleh hak-hak orang lain. Lalu bagaimana hubungannya dengan globalisasi? Memang globalisasi sendiri membawa efek positif maupun negatif termasuk ke dalam aspek hak asasi manusia itu sendiri. Arat mengemukakan bahwa[2],
“Globalization and Human Rights, as a whole, is concerned about understanding the ‘phenomenon’ of globalization and its impact on human rights, whether it establishes a threat to human rights or creates opportunities for the advancement of human rights.”
            Dari sana dapat dilihat bahwa globalisasi seperti pisau bermata dua dimana keberadaannya dapat menjadi ancaman bagi HAM sekaligus sebaliknya, yaitu dapat menjadi pendorong peningkatan kemajuan HAM. Globalisasi menembus sekaligus memperpendek batas ruang dan waktu sehingga terjadi keterkaitan jaringan yang saling berhubungan. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih di bidang komunikasi seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.[3] Globalisasi juga membuat keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa sebagai tatanan dunia semakin besar. Internasionalisme melalui hadirnya organisasi internasional seperti PBB turut membantu menghangatkan kembali isu-isu seputar HAM. Kemajuan HAM sudah menjadi proses dari globalisasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan,
“The advancement of human rights, for example, has been a part of the globalization process: a set of norms and values has been recognized as universal human rights, even though they may not be fully accepted or implemented.”[4]
Dikatakan bahwa  nilai-nilai HAM telah diakui secara universal walaupun mungkin belum dapat sepenuhnya dilaksanakan. Penindasan mengenai HAM tidak hanya sebatas diketahui sebagai isu global, namun juga harus ada tindak lanjut penanganan dunia internasional dalam arti globalizing issues such as human right struggle, demand discussion.[5]

Human Right Struggle : Rwanda’s Genocide
            Genosida merupakan sebuah kejahatan tragis atas pembunuhan secara besar-besaran secara sistematis terhadap suatu kelompok tertentu. Dikatakan bahwa,
Genocide is the deliberate and systematic eradication or mass killing of a group or large population identified by the perpetrators. It is the large- scale violation of human rights.
Pernyataan tersebut menekankan bahwa genosida merupakan pelanggaran skala besar dalam hak asasi manusia. Pembunuhan terhadap satu individu saja merupakan suatu kejahatan kemanusiaan. Apalagi pembunuhan besar-besaran seperti genosida. Sisi kemanusian semakin terkikis sehingga diperlukan penanganan dan perhatian ekstra dari dunia internasional terhadap isu-isu HAM ini.
Di kasus Rwanda, pembantaian massal atau dikenal genosida Rwanda terjadi selama periode kurang lebh 100 hari pada tahun 1994 dan dilatar belakangi oleh konflik etnis. Rwanda merupakan sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah dimana terdapat 2 etnis utama yaitu etnis mayoritas Hutu dan etnis minoritas Tutsi. Dari segi fisik dan budaya kedua etnis tersebut sebenarnya dapat dikatakan serupa. Perbedaan utamanya adalah dianggapnya etnis Tutsi sebagai etnis yang lebih mapan dan bersatatus sosial tinggi karena etnis Tutsi memiliki kerjaannya sendiri di tanah Rwanda, dibandingkan dengan etnis Hutu yang sebagian besar berprofesi sebagai petani rendahan dan pekerja kasar. Perbedaan etnis dan suku antara Tutsi-Hutu sebenarnya diciptakan dan ditonjolkan oleh penjajah dan penguasa asing yang memiliki kepentingan nasional di Rwanda sehingga kebencian etnis Hutu terhadap etnis Tutsi mulai membumbung.[6]
Pasca penembakan presiden Habyarimana pada 6 April 1994, yang memang dikenal sebagai perintis pemerintahan multi etnis (power sharing), ketegangan antar etnis Hutu dan Tutsi meningkat. Disinyalir dan dicurigai peristiwa penembakan keji itu dilakukan etnis Tutsi sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Komunitas Tutsi yang merasa tertekan dan terpinggirkan oleh komunitas mayoritas Hutu kemudian mendirikan kelompok bersenjata yang bernama Front Patriotique Rwandais (FPR) dimana bertujuan untuk memperjuangkan kembali hak-hak komunitas Tutsi yang terusir dari Rwanda.[7] Sedangkan etnis Hutu membentuk kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi. Peristiwa tragis penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade. Kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membunuh siapa saja, terutama dari golongan etnis Tutsi tanpa memedulikan status dan sebagainya. Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian.
Hal yang menarik adalah, dibalik peristiwa genosida Rwanda ternyata ada peran besar media sebagai alat propaganda rasis yang digunakan untuk memperbesar kesenjangan dan kebencian antar etnis Tutsi dan Hutu di Rwanda. Media yang digunakan adalah Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Stasiun radio milik pemerintah Rwanda ini mengudara sejak 8 Juli 1993 sampai 31 Juli 1994 dan didengar oleh penduduk Rwanda. Radio ini sering dianggap memainkan peran penting dalam menciptakan suasana kekerasan rasial dengan menyiarkan propaganda rasis terhadap suku Tutsi, suku Hutu moderat, bangsa Belgia, dan misi UNAMIR Perserikatan Bangsa-Bangsa.yang memungkinkan terjadinya genosida. Kata-kata progandanya misalnya saja “You have missed some of the enemies. You must go back there and finish them off. The graves are not yet full!” yang kemudian banyak diadaptasi ke dalam film maupun novel. Diperkirakan bahwa 9,9% pelaku kekerasan genosida diakibatkan oleh siaran radio ini. Perkiraan tersebut berarti jumlah korban akibat siaran radio ini mencapai 51.000 jiwa.[8]

International Reaction : Lesson from Rwanda
Lalu bagaimana dengan aksi dari dunia internasional terkait kasus Rwanda ini? Di era globalisasi, kemudahan akses informasi maupun komunikasi turut mempermudah penegakan mengenai isu HAM yang tengah berkembang di suatu negara, hingga pada akhirnya menjadi suatu isu global. Media memegang peran yang sangat penting dalam terangkatnya kasus genosida Rwanda ke ranah internasional. Media menjadi pembuka mata dunia bahwa terdapat ketidakadilan yang tengah terjadi sehingga dunia berlomba-lomba mengirimkan bantuan atas dasar kemanusian terhadap kasus ini. Selain itu konsep Responsibility to Protect (RtoP) yang dicanangkan dan dilegalkan oleh PBB sebagai norma internasional, turut mendorong adanya intervensi ke dalam kasus Rwanda. RtoP merupakan konsep dengan ide pokok yang mengemukakan bahwa intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai untuk melindungi hak asasi manusia dan terancamnya kestabilan internasional. RtoP merubah fokus perdebatan antara sovereignty versus human right menjadi bagaimana cara terbaik melindungi manusia dari berbagai ancaman kemusnahan massal [9]
Melalui adanya internasionalisme, juga dapat dilihat adanya aksi dan reaksi dari organisasi internasional seperti PBB yang turut memdukung penegakan maupun menekan terjadinya penindasan HAM. PBB melakukan intervensi kemanusiaan dengan menjadikan dirinya sebagai peacekeeping dimana kontribusinya antara lain dengan didirikannya UNOMUR (United Nations Observer Mission Uganda-Rwanda), UNAMIR (United Nations Assistance Mission for Rwanda) dan ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda). UNAMOR merupakan pengamat militer yang dibentuk Dewan Keamanan PBB pada Juli 1993 untuk mencegah penggunaan militer dan bentrokan Tutsi-led Rwandese Patriotic Front (RPF) di sepanjang perbatasan. Keterlibatan PBB sudah dimulai ketika mulai banyak terjadi pentempuran antara angkatan bersenjata pemerintah (Armed Forces of the mainly Hutu Government of Rwanda) dengan pemberontak Tutsi RPF.[10]
Sedangkan UNAMIR awalnya didirikan untuk membantu melaksanakan Perjanjian Perdamaian Arusha ditandatangani oleh para pihak Rwanda pada 4 Agustus  1993. UNAMIR didirikan Dewan Keamanan PBB dan seiring berkembangnya konflik yang terjadi di Rwanda, PBB berkali-kali memperbaharui resolusi-resolusinya. Melalui resolusi DK PBB 912 (1994) pada 21 April 1994, UNAMIR bertindak sebagai perantara antara pihak-pihak yang bertikai. Setelah situasi di Rwanda memburuk lebih lanjut, mandat UNAMIR ini diperluas oleh DK melalui resolusi 918 (1994) pada 17 Mei 1994, untuk memungkinkan UNAMIR berkontribusi terhadap keamanan dan perlindungan pengungsi dan warga sipil.[11]
Pasca konflik dan berakhirnya genjatan senjata, UNAMIR tetap berperan aktif untuk Rwanda. Tugas UNAMIR disesuaikan lebih lanjut oleh DK PBB untuk memastikan stabilitas dan keamanan dan mendorong kembalinya populasi pengungsi serta membantu mencapai rekonsiliasi nasional. Hal tersebut diperkuat oleh resolusi 997 (1995) tanggal 9 Juni 1995. Resolusi berikutnya juga dikeluarkan yaitu resolusi 965 (1994) 30 November 1994 yang membahas mengenai pengadilan internasional untuk kejahatan di Rwanda dan resolusi 1029 (1995) dengan fokus utama memfasilitasi pengembalian keamanan dengan persetujuan pemerintah Rwanda.[12]
Kedua aksi dari PBB, yaitu UNOMUR dan UNAMIR tersebut menunjukkan bahwa konflik kemanusiaan di Rwanda sudah berkembang menjadi isu internasional. Ditandai dengan adanya intervensi PBB sebagai representasi dunia internasional. Tidak berhenti sampai disitu, PBB juga membentuk ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) dibentuk taggal 8 November 1994 melalui Dewan Keamanan sebagai pengadilan internasional untuk Rwanda dengan tujuan tunggal mengadili dan menuntut tanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda.[13] Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28 orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[14]
Dibentuknya ICTR secara tidak langsung merupakan langkah dunia internasional untuk menekan terjadinya penindasan hak asasi manusia. Melalui ICTR diharapkan para pelaku tindak kejahatan HAM dan kemanusiaan mendapatkan efek jera. Namun hal tersebut tidak menjamin sepenuhnya. Dewasa ini, di era globalisasi yang semakin berkembang, semakin banyak tantangan seputar isu HAM yang harus ditangani oleh dunia internasional seperti masih maraknya diskriminasi dan genosida, masih banyaknya under development dan extreme poverty serta sebagainya.[15]

Conclusion
Hak asasi manusia merupakan hak dasar dan fundamental yang melekat dalam tiap individu manusia. Sesuai dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada pasal pertama mengemukakan bahwa semua orang berhak atas hak untuk hidup yang tentunya dibatasi juga oleh hak-hak orang lain. Adanya globalisasi turut mempengaruhi perkembangan seputar isu HAM. Globalisasi berdampak positif maupun negatif terhadap HAM itu sendiri. Adanya globalisi membuat perkembangan dan kemajuan informasi serta komunikasi sehingga memperpendek jarak ruang dan waktu. Akibatnya adalah lebih mudahnya akses untuk pelaksanaan penindasan HAM itu sendiri. Di lain pihak, globalisasi juga berdampak menguatkan dukungan dan pengakuan terhadap HAM. Dalam kasus genosida Rwanda, terdapat adanya penindasan HAM yang disebabkan oleh adanya diskriminasi etnis sehingga menyebabkan terjadinya genosida atau pembunuhan massal. Globalisasi mempermudah penyampaian informasi propaganda rasis melalui media radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM) sebagai katalis penindasan HAM di Rwanda. Globalisasi juga sekaligus menjadikan dunia internasional lebih mudah mendapatkan informasi dan terrgerak berlomba-lomba melaksanakan intervensi kemanusiaan di Rwanda. Media memegang peran yang sangat penting dalam terangkatnya kasus genosida Rwanda ke ranah internasional. Selain itu, berkembangnya isu HAM sebagai isu internasional juga dikarenakan adanya konsep Responsibility to Protect dan internasionalisasi melalui organisasi internasional seperti PBB yang keduanya dapat mendorong dunia internasional tergerak menangani kasus genosida Rwanda.

Referensi : 
[] UN, The Universal Declaration of Human Rights, diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/ pada 15 November 2015.
[2] Arat, Zehra F. Kabasakal. 2003. The Globalization of Human Rights, edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W. Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo: United Nations University Press.
[3] Basuki, Udiyo. 2013. Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM dalam Konstitusi Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Rwanda Genocide Timeline dalam  http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 15 November 2015
[8] Wiltenburg, Mary. 2004. After the Genocide, Redemption. Christian Science Monitor on April 7, 2004. Dikases secara online melalui < http://www.csmonitor.com/2004/0407/p01s03-woaf.html > pada 17 November 2015.
[9] Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNPROFOR (United Nations Protection Force-Croatia/Bosnia/Macedonia).
[0] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 17 November 2015
[1] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 17 November 2015
[2] Ibid.
[3] International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 17 November 2015.
[4] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran> pada 17 November 2015
[5] Kuliah Internasionalisme dan Globalisasi: Isu dan Strategi sub bab Human Right Struggle pada 11 November 2015 dengan pengampu Prof. Dr. Makarim Wibisono. Magister Hubungan Internasional. Universitas Airlangga Surabaya.



[1] UN, The Universal Declaration of Human Rights, diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/ pada 15 November 2015.
[2] Arat, Zehra F. Kabasakal. 2003. The Globalization of Human Rights, edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W. Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo: United Nations University Press.
[3] Basuki, Udiyo. 2013. Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM dalam Konstitusi Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Rwanda Genocide Timeline dalam  http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm diakses pada 15 November 2015
[8] Wiltenburg, Mary. 2004. After the Genocide, Redemption. Christian Science Monitor on April 7, 2004. Dikases secara online melalui < http://www.csmonitor.com/2004/0407/p01s03-woaf.html > pada 17 November 2015.

[9] Persada Rendi, dkk. 2012. Hak Asasi Manusia: Interveni Kemanusiaan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNPROFOR (United Nations Protection Force-Croatia/Bosnia/Macedonia).
[10] Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm > pada 17 November 2015
[11] Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm> pada 17 November 2015
[12] Ibid.
[13] International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm> pada 17 November 2015.
[14] Peran Internasional Criminal Tribunal For Rwanda. Diakses kembali secara online melalui  < http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran> pada 17 November 2015
[15] Kuliah Internasionalisme dan Globalisasi: Isu dan Strategi sub bab Human Right Struggle pada 11 November 2015 dengan pengampu Prof. Dr. Makarim Wibisono. Magister Hubungan Internasional. Universitas Airlangga Surabaya.

0 komentar:

Post a Comment