Trisfani
Rahmawati
NIM. 071414553007
Program
Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik
Universitas
Airlagga Surabaya
ABSTRAK
Paper
ini membahas mengenai aksi intervensi kemanusiaan yang dilakukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di negara Somalia dan Rwanda. Melalui kedua studi kasus
tersebut dapat dijelaskan mengenai efektifitas intervensi PBB terkait aksi kemanusiaan
yang dilakukan sehingga kita dapat menganalisis tindakan dan kegagalannya serta
mendapatkan pelajaran yang pasti untuk ke depannya. Kegagalannya terletak dari
kurang sigapnya PBB dalam membuat keputusan di berbagai konflik dan juga
terfokuskannya keputusan dengan hanya mempertimbangkan negara-negara besar.
Dari sanalah tantangan muncul bagi PBB untuk menjalankan misinya sebagai aktor utama
menjaga kestabilan perdamaian dan keamanan internasional yaitu melalui
perbaikan kinerja terkait aksi yang lebih pro aktif dan merepresentasikan
pemikiran semua elemen masyarakat internasional.
Introduction
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang menjadi wadah dalam
berbagai hubungan dan kerja sama internasional termasuk kerjasama dalam menjaga
kestabilan perdamaian dan keamanan dunia. Aksi-aksi terkait banyak dijalankan
terutama aksi-aksi kemanusiaan dimana banyaknya konflik dan pertikaian serta
bencana alam yang terjadi menjadikan PBB harus selalu sigap dan siap dalam
menjalankan tugasnya sebagai aktor dan organ utama ini. Intervesni kemanusiaan
sendiri dilakukan sebagi upaya untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia
di suatu negara, dengan
kekuatan-kekuatan tertentu, baik itu dengan kekuatan diplomatik dan militer di
suatu negara dengan atau tanpa persetujuan negara yang mengalami konflik
internal tersebut.[1]
Sebagaimana disebutkan
dalam Piagam PBB, salah satu tujuan utama PBB adalah, “to achieve international co-operation in solving international problems
of an economic, social, cultural, or humanitarian character”.[2]
Berdasarkan hal tersebut humanitarian atau
kemanusiaan menjadi fokus bahasan yang penting dan utama dan tidak bisa
dipisahkan dalam sebagian besar pelaksanaan kegiatan PBB. Dunia internasional
menjadikan PBB sebagai organisasi untuk menkoordinasikan berbagai operasi
terkait kemanusiaan akibat konflik maupun bencana alam. Istilah humanitarian dan human right atau hak asas manusia tercatat dan disebutkan tujuh
kali dalam Piagam PBB sehingga menjadikan perlindungan hak asasi manusia ini
menjadi tujuan utama sekaligus prinsip organisasi. Pada tahun 1948, telah
disebutkan melalui Universal Declaration
of Human Rights menjadikan hak asasi manusia tercantum dalam ranah hukum
internasional dimana sejak saat itu. PBB di dalam kegiatannya telah banyak
melindungi hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan melalui
instumen hukum maupun kegiatan langsung termasuk intervensi.
Terlepas dari masalah
hukum dan legalitas, terdapat kewajiban moral yang harus dijunjung tinggi oleh
dunia internasioan termasuk oleh PBB. Adanya banyak perdebatan terkait
intervensi kemanusiaan dan banyaknya perbedaan kepentingan menjadi salah satu
alasan utama yang dapat menghambat maksimalnya aksi PBB dalam intervensi
kemanusiaan. Namun demikian hingga kini, peran PBB terbukti masih selalu aktif
dan diandalkan dalam beberapa kasus. Merujuk pada beberapa kasus intervensi
kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia, PBB selalu hadir menawarkan
diri untuk menjadi aktor dalam intervensi ini. Terlepas apakah aksi intervensi
kemanusiaan tersebut dilaksanakan secara maksimal ataupun tidak. Nyatanya,
masih di beberapa kasus tertentu masih banyak terlihat ketidaksempurnaan aksi
PBB dalam intervensi kemanusiaan.
Dalam paper ini akan
coba dijelaskan bagaimana peran dan signifikansi PBB dalam aksi-aksi terkait
kemanusiaan di beberapa studi kasus tertentu. Apa saja tantangan dan hambatan
yang timbul dan bagaimana PBB mengatasinya. Selain itu juga akan coba diuraikan
tantangan yang bisa timbul dan dihadapi PBB di masa yang akan datang khususnya
seberapa jauh PBB dapat menjalankan visi dan misinya
sebagai organ yang utama dalam menjaga kestabilan perdamaian dan keamanan dunia. Untuk lebih mudah
memahaminya penulis akan mengangkat beberapa studi kasus yang menarik terkait
intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia tahun 1992, dan Rwanda tahun
1994 dimana melalui kedua kasus tersebut dapat kita analisis dan evaluasi
kinerja PBB sebagai aktor intervensi yang tugas utamanya adalah menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional.
United
Nations’s Action in Humanitarian Intervention
Istilah humanitarianisme memang sulit untuk
dijelaskan namun apabila dikaji lebih jauh humanitarianisme merupakan suatu
prinsip yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam hak asasi
manusia dimana termasuk ke dalamya adalah pelarangan penganiayaan terhadap
warga sipil maupun pengakuan hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Humanitarianisme sering dikaitkan dengan intervensi kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan timbul ketika suatu negara
dirasa tidak mau atau tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya untuk
melindungi serta memulihkan pelanggaran HAM warga negaranya sendiri sehingga
tanggung jawab tersebut diambil alih oleh dunia internasional.[3]
Disini PBB hadir sebagai aktor yang memiliki legalitas dan legitimasi resmi
untuk melaksanakan intervensi kemanusiaan tersebut. PBB digunkan sebagai
organisasi yang merespresentasikan aksi dan tindakan serta pemikiran dunia
internasional. Legalitas dan legitimasi mengenai intervensi kemanusiaan muncul pada
tahun 1990an berdasarkan hukum internasional dan piagam PBB Bab
VII, yaitu dunia internasional melalui Dewan Keamanan PBB berhak melakukan
intervensi apabila terjadi pelangaran HAM yang berat di suatu negara atau
kondisi dimana terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.[4]
Era 1990 menjadi era
keemasan banyak terjadinya intervensi kemanusiaan karena di masa ini, pemikiran
suatu negara untuk melindungi negara lain yang terancam mulai berkembang.
Selain itu jumlah intervensi kemanusiaan di dunia internasional begitu banyak
dan meningkat drastis di era ini termasuk intervensi militer di Somalia pada
tahun 1992 dan Rwanda di tahun 1994. Meskipun banyak perdebatan dan
pertentangan mengenai makna intervensi kemanusiaan yang timbul saat itu dimana
menyangkut motif sesungguhnya di balik intervensi hingga keabsahan intervensi
namun berbagai perdebatan tersebut akhirnya melahirkan
suatu konsep pada tahun 2001 yang dikenal dengan The Responsibility of Protect (R2P) oleh International Commsion on
Intervention and States Sovereignty (ICISS).
The
Responsibility of Protect (R2P) merupakan suatu konsep yang
mengemukakan bahwa intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi
masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai untuk melindungi
hak asasi manusia dan terancamnya kestabilan internasional. The Responsibility of Protect merubah fokus perdebatan antara sovereignty versus human right menjadi
bagaimana cara terbaik melindungi manusia dari berbagai ancaman kemusnahan
massal.[5]
Konsep inilah yang sebenarnya mendasari dunia internasional melalui organisasi
PBB untuk mengintervensi suatu negara. Beberapa intervensi kemanusiaan yang
dilakukan oleh PBB dapat dianalisis melalui studi kasus sebagai berikut:
Ø Somalia
(1992)
Somalia
merupakan negara di Afrika Timur yang masih terbelakang. tingkat
kemiskinanannya tinggi dan less
development sehingga rentan terhadap konflik internal maupun eksternal. Studi
kasus intervensi kemanusiaan yang terjadi di Somalia merupakan contoh nyata
kasus intervensi yang menimbulkan perdebatan mengenai motif sesungguhnya di
balik intervensi tersebut. Perdebatan berujung terhadap apakah intervensi
termasuk charity ataukah duty ataukah bahkan keduanya. Secara
singkat, konflik yang terjadi di Somalia berawal dari jatuhnya Presiden Siad
Barre pata tahun 1991. Pasca digulingkannya pemerintahaan presiden Siad,
pergolakan dan perang antar klan[6]
terus berlangsung sehingga mengakibatkan kekacauan politik, kerusakan fasilitas
umum, krisis kemanusiaan hingga yang terparah terhambatnya produksi agrikultur
sehingga menyebabkan krisis pangan.[7]
Lalu
bagaimana PBB ikut andil dalam intervensi kemanusiaan di Somalia ini? Kontribusi
PBB dapat diperinci sebagai berikut:[8]
a. UNOSOM
I (United nations Operation in Somalia)
Pada
awalnya PBB memberikan mandat melalui UNOSOM I (United nations Operation in Somalia) yang diturunkan pada April
1992 untuk memberikan dan mendistribusikan bahan pangan. Namun operasi ini
gagal karena 3000 pasukan yang dikirimkan tidak berhasil mendistribusikan bahan
pangan sehingga membusuk.
b. UNITAF
(Unified Task Force)
Setelah
kegagalan UNISOM I oleh PBB, AS menawarkan untuk memimpin pasukan intervensi.
Hal tersebut disetujui Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 794 dengan otorisasi
dan mandat “all necessary means to
establish as soon as possible a secure environment for humanitarian relief
operations in Somalia”[9]. Kontribusi
AS dikenal dengan UNITAF (Unified Task
Force) yang didirikan pada Desember 1992 yang berwenang di bawah Piagam PBB
Bab VII.[10]
Di dalam pelaksanaannya operasi ini melibatkan angkatan bersenjata yang
mengutamakan force di bawah kepemimpinan AS. Angkatan laut, darat dan udara
serta elemen-elemen militer banyak dikerahkan. Badan ini secara garis besar
bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aman untuk dilaksanakannya
intervensi sehingga dapat dikatakan UNITAF hanya sebagai transisi terhadap
misi-misi PBB yang baru.[11]
c. UNOSOM
II
UNOSOM
II diturunkan pada Maret 1993 sebagai pengganti sekaligus fase kedua dari
intervensi kemanusiaan di Somalia oleh PBB. UNISOM II bertugas meneruskan yang
dimulai oleh UNITAF untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Somalia.
Mandat baru ini juga akan memberdayakan UNOSOM II untuk membantu rakyat Somalia
dalam membangun kembali kehidupan ekonomi, politik dan sosial mereka, melalui
pencapaian rekonsiliasi nasional untuk menciptakan suatu Negara Somalia yang
demokratis. Misi PBB melalui UNOSOM II didirikan oleh Dewan Keamanan melalui
Resolusi 814 pada 26 Maret 1993. Namun pengambil alihan operasi tersebut belum
secara resmi ditetapkan hingga UNITAF dibubarkan pada 4 Mei 1993. UNISOM II
memiliki kekuatan hingga 28.000 personil mencakup 22.000 tentara dan 8.000
logistik dan staf sipil dari berbagai negara.[12]
Ø Rwanda
(1994)
Rwanda merupakan sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa
dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah. Tahun 1994 menjadi sejarah
hitam bagi Rwanda dimana terjadi pembantaian etnis besar-besaran atau genosida.
Konflik di Rwanda berawal dari pertenangan antara
etnis Hutu dan Tutsi mengenai pertentangan tentang siapa yang seharusnya dan
sepantasnya menjalankan roda pemerintahan. Dimulai pada
tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi
korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Peristiwa tragis
penembakan tersebut akhirnya memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda.
Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda
langsung diblokade oleh kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.
Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari
800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi
korban pembantaian.[13]
Lain halnya dengang Somalia, konflik yang terjadi di Rwanda dinilai tidak
mendapat perhatian secara maksimal dari pihak internasional, dalam arti pihak
internasional maupun PBB dinilai lamban dalam merespon permasalahan yang ada.
Padahal dalam kasus ini terjadi kejahatan internasional yaitu pembunuhan secara
massal atau disebut genosida. Negara-negara besar seperti Perancis,
Inggris dan Amerika Serikat hanya bergerak menyelamatkan dan mengungsikan warga
negaranya yang saat itu berada di Rwanda. Alasan utama tinggal diamnya
negara-negara besar adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan
strategis di mata internasional. Jadi negeri yang lain tidak memiliki national interest terhadap Rwanda.
Selain itu, negeri ini tidak memiliki sumber daya alam yang menguntungkan
menurut negara-negara tersebut.
Bagaimana dengan PBB?
Dalam konflik Rwanda ini, intervensi kemanusiaan yang dilaksanakan oleh PBB
hanya sebatas menjadikan dirinya sebagai peacekeeping
dimana kontribusinya dapat diperinci sebagai berikut:
a. UNOMUR
(United Nations Observer Mission Uganda-Rwanda)
Keterlibatan PBB sudah dimulai
ketika mulai banyak terjadi pentempuran antara angkatan bersenjata pemerintah (Armed Forces of the mainly Hutu Government
of Rwanda) dengan pemberontak Tutsi (Tutsi-led
Rwandese Patriotic Front (RPF)). Rwanda dan Uganda kemudian meminta
pengerahan pengamat militer di sepanjang perbatasan untuk mencegah penggunaan
militer dan bentrokan dengan RPF. Dewan Keamanan PBB pada bulan Juni 1993
akhirnya mendirikan Observer Mission Uganda-Rwanda (UNOMUR).[14]
b. UNAMIR
(United Nations Assistance Mission for
Rwanda)
UNAMIR
awalnya didirikan untuk membantu melaksanakan Perjanjian Perdamaian Arusha ditandatangani oleh para pihak Rwanda pada 4 Agustus 1993. UNAMIR didirikan Dewan
Keamanan PBB dengan mandat “to
assist in ensuring the security of the capital city of Kigali; monitor the
ceasefire agreement, including establishment of an expanded demilitarized zone
and demobilization procedures; monitor the security situation during the final
period of the transitional Government's mandate leading up to elections; assist
with mine-clearance; and assist in the coordination of humanitarian assistance
activities in conjunction with relief operations.” Namun seiring
berkembangnya konflik yang terjadi di Rwanda, PBB berkali-kali memperbaharui
resolusi-resolusinya. Melalui resolusi DK PBB 912 (1994) pada 21 April 1994,
UNAMIR bertindak sebagai perantara antara pihak-pihak yang bertikai. Setelah
situasi di Rwanda memburuk lebih lanjut, mandat UNAMIR ini diperluas oleh DK
melalui resolusi 918 (1994) pada 17 Mei 1994, untuk memungkinkan UNAMIR berkontribusi
terhadap keamanan dan perlindungan pengungsi dan warga sipil.[15]
Pasca konflik dan berakhirnya
genjatan senjata, UNAMIR tetap berperan aktif untuk Rwanda. Tugas UNAMIR
disesuaikan lebih lanjut oleh DK PBB untuk memastikan stabilitas dan keamanan
dan mendorong kembalinya populasi pengungsi serta membantu mencapai rekonsiliasi
nasional. Hal tersebut diperkuat oleh resolusi 997 (1995) tanggal 9 Juni 1995.
Resolusi berikutnya juga dikeluarkan yaitu resolusi 965 (1994) 30 November 1994
yang membahas mengenai pengadilan internasional untuk kejahatan di Rwanda dan
resolusi 1029 (1995) dengan fokus utama memfasilitasi pengembalian keamanan
dengan persetujuan pemerintah Rwanda.[16]
c. ICTR
(International Criminal Tribunal for
Rwanda)
ICTR dibentuk taggal 8 November
1994 oleh Dewan Keamanan sebagai pengadilan internasional untuk Rwanda dengan
tujuan tunggal mengadili dan menuntut tanggung jawab atas genosida dan
pelanggaran serius lainnya dari hukum humaniter internasional yang dilakukan di
wilayah Rwanda.[17]
Sejauh ini, ICTR telah menyelesaikan 21 proses pengadilan dan menghukum 28
orang tersangka. 11 pengadilan lain masih di dalam proses. 14 tersangka masih
menunggu proses pengadilan di dalam tahanan; namun 5 diantaranya dialihkan ke
yurisdiksi nasional Rwanda untuk diadili. Pengadilan pertama di ICTR
dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[18]
Evaluation
and Challanges for United Nations
Terdapat
masing-masing poin yang harus ditekankan dalam aksi PBB terkait dua contoh studi
kasus intervensi kemanusiaan di atas yang bisa kita analisis sebagai bahan
evalusi kinerja serta efektifitas PBB dalam menjalankan misi dan visinya menjaga
perdamaian dan kestabilan dunia. Pertama dalam kasus Somalia, PBB menjadi aktor
utama dalam menyelenggarakan operasi-operasi peacekeeping dan peacebuilding
serta memberikan izin maupun mandat melalui resolusi-resolusinya. Dalam
operasi UNISOM I, PBB mengalami kegagalan di sektor pendistribusian makanan.
Dikatakan bahwa,
“Deployment of UNOSOM I
was slow and chronic lawlessness prevented aid from being distributed.”[19]
Dari sana dapat kita lihat bahwa
kegagalan PBB adalah karena tindakan mereka yang cenderung lamban. Dikatakan
juga bahwa,
“The
complete failure of the Somali state had made it impossible for relief workers
to safely distribute aid to those in need and thus food was often left to rot
in the Port of Mogadishu”[20]
“..the
hunger crisis in Somalia was not a result of a lack of food, but rather a lack
of access to food.”[21]
Memang hal kecil seperti pendistribusian
makanan terdengar hal yang simple dan
mudah dilakukan, namun dalam kondisi di tengah-tengah konflik, ternyata
organisasi besar seperti PBB nyatanya belum mampu melaksanakan secara maksimal
sehingga mengakibatkan hal besar seperti krisis pangan dan kelaparan. Memperbaiki
kegagalannya, PBB akhirnya mengeluarkan mandat untuk menjadikan AS pemimpin
bagi misi operasi lainnya di Somalia yaitu UNITAF.
“UNITAF
quickly went to work securing supply routes throughout Mogadishu and the
greater Somali countryside. The transformation of the Port of Mogadishu into a
secure military zone quickly allowed aid groups to continue the importation of
humanitarian supplies free from the threat of thievery or extortion by the
local militias.”[22]
Pernyataan tersebut memperlihatkan
UNITAF telah mampu mengambil alih dengan baik tugas PBB walaupun dibentuk untuk
sementara dan sebagai organisasi operasi peralihan hingga dibentuknya UNOSOM II.
PBB menyadari betul kesalahannya dan mengambil tindakan tepat dengan
mengalihkan misi operasi melalui AS. Namun critical
tulisan lain menyebutkan dan mempertanyakan sebaliknya. Benar dan sudah
tepatkah tindakan PBB mengalihkan kekuasaan kepada AS? Kenapa semudah itu? Beberapa
percaya bahwa AS memiliki self interest atas
intervensinya di Somalia dimana seharusnya PBB lebih bisa menganalis dan tidak
gegabah dalam memberikan mandat. Disebutkan bahwa,
“..If the American
people are to say yes to UN peacekeeping, the United
Nations
must know when to say no.”[23]
PBB merupakan organisasi internasional
terbesar dan merepresentasikan pemikiran negara-negara maupun masyarakat
internasional. Dan tidak seharusnya PBB mudah tunduk terhadap negara lain
walaupun negara tersebut memiliki pengaruh dan power yang besar seperti AS. PBB harus bisa menganalisis dan berani
untuk berkata ‘tidak’ terhadap apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran dunia
internasional.
Sedangkan terhadap
kasus intervensi kemanusiaan di Rwanda, sebenarnya cukup banyak yang tulisan
yang membahas dan mengevaluasi mengenai kegagalan PBB dalam intervensi
kemanusiaan di Rwanda. Kegagalan tersebut dalam arti bahwa PBB tidak bisa lebih
cepat memberikan intervensi sehingga genosida tidak bisa dihindarkan. UNOMUR
dan UNAMIR merupakan langkah awal PBB dalam mengintervensi Rwanda. Namun di
dalam operasinya, UNAMIR tidak dapat menyelesaikan misinya dengan baik. Mengapa
hal tersebut bisa terjadi? Jika dianalisis, penyebab yang pertama adalah terdapat
hubungan dengan studi kasus terdahulu di Somalia. Dikemukakan bahwa,
“..the
“shadow of Somalia” was still present and made states as well as the UN
Secretariat unwilling to engage in another Peace Operation in Africa.”
Adanya kegagalan intervensi kemanusiaan
di Somalia, membuat PBB sendiri ragu untuk mengerahkan operasi militer.
Terlebih lagi, banyak negara yang tidak mendukung operasi ini karena tidak
adanya national interest di Rwanda.[24]
“inaction
was due to national interest: the United States decided not to intervene in
Rwanda as there was no national interest at stake. France, which had national
interests at stake, did not try to save Rwandan lives, but actively contributed
to the genocide.”[25]
“The
veto clause was not resorted to by any member of the Secutiry Council and the
resolution authorising UNAMIR was adopted after the peace aggrement was signed
in Arusha, Tanzania on 4 August 1993. The only western power with any influence
in Rwandese politics was France.”[26]
Dikatakan bahwa beberapa aksi
internasional memang dipelopori dan dipimpin AS, dan apabila tidak ada dukungan
dan sponsor dari AS, maka operasi pengiriman pasukan perdamaian tidak akan
maksimal. Hal tersebut membuat terjadinya hambatan UNAMIR yaitu tidak
memadainya pasukan tentara.[27]
Selain itu, adanya pasukan intervensi Perancis, yang pada dasarnya memiliki
kepentingan atas Rwanda tidak menolong menghentikan genosida namun justru
sebaiknya yaitu mendanai dan membantu pasukan pemberontakan militan melawan
warga sipil. Kurangnya interest dari
dunia internasional terhadap kasus di Rwanda pada akhirnya menjadi tanggung
jawab PBB juga. Dalam arti,
“The
Security Council bears a responsibility for its lack of political will to do
more to stop the killing.”
Dikatakan juga, minimnya aksi intervensi
PBB dikarenakan kurangnya laporan dari media mengenai genosida yang terjadi
sehingga tidak ada dorongan dan tekanan dari masyarakat internasional secara
terbuka. Untuk membayar kesalahannya, PBB kemudian membentuk ICCTR dimana fokus untuk mengadili pelaku kejahatan
genosida.
Lalu tantangan seperti apa yang
dihadapi PBB saat ini dan di masa yang akan datang? Berdasarkan dua studi kasus
yang dipaparkan, dapat terlihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi PBB
adalah kurang sigapnya aksi PBB terkait intervensi kemanusiaan. Dalam kasus di
Somalia maupun Rwanda, PBB cenderung lamban dan acuh terhadap permasalahan dan
konflik yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Penulis menaganlisis
bahwa terdapat banyak alasan namun satu hal yang panting, permasalahan tersebut
diakibatkan kurang seragamnya kepentingan politik negara-negara anggota PBB.
Terlebih lagi, kekuatan keputusan PBB terletak pada negara-negara besar seperti
AS dan Perancis misalnya. Dikatakan bahwa,
“The UN made
the great powers permanent member of the Security Council and gave them the
ability to veto any action implemented by the Council”[28]
Dalam beberapa aksi intervensi
kemanusiaan, negara besar seperti AS banyak memegang kendali termasuk
intervensi di Somalia. Padahal, belum tentu intervensi yang mereka lakukan
murni atas dasar norma dan nilai kemanusiaan. Bahkan di kasus Somalia, perdebatan
mengenai motif sebenarnya atas intervensi muncul. Di dalam kasus Rwanda AS
sebenarnya bisa dengan jelas membaca kejadian yang terjadi namun karena tidak
ada national interest, maka tidak ada
aksi yang nyata pula. Dari sini muncul tantangan tersendiri bagi PBB yaitu yang pertama untuk lebih sigap dalam
membaca situasi dan konfli yang ada sehingga mampu memberikan keputusan yang
tepat dan cepat. Yang kedua adalah untuk lebih bisa memilah dan menganalisis
keputusan yang diambil menyangkut ide dari negara-negara besar beserta
kepentingannya. Seperti yang dikemukaan
White, “A clear political
objective is a necessary pre-condition for sucessful military operation” bahwa berbagai operasi militer termasuk
intervensi, membutuhkan analisis mengenai tujuan politik yang jelas oleh
aktor-aktor intervensi.
Conclution
PBB merupakan
organisasi internasional tertinggi yang merepresentasikan aksi dunia
internasional termasuk dalam aksi-aksi intervensi kemanusiaan. Studi kasus
mengenai intervensi kemanusiaan di Somalia dan Rwanda merupakan kasus tidak
maksimalnya PBB dalam bertindak sebagai aktor penjaga kestabilan dan keamanan
internasional. Evaluasi yang dapat diambil bahwa di dua kasus ini, PBB
cenderung lamban dalam bersikap maupun memberikan mandat dan perintah. Terlebih
lagi, PBB dengan mudah memberikan kepercayaan kepada negara dengan super power seperti AS untuk mendominasi
bahkan menggantikan aksinya. Di kasus Somalia, tindakan tersebut pada akhirnya
menimbulkan perdebatan mengenai motif di balik intervensi. Dan di kasus Rwanda,
menyebabkan timbulnya potret nyata kegagalan intervensi sehingga menimbulkan
genosida. Pelajaran yang dapat diambil dari Somalia dan Rwanda, bahwa muncul
tantangan baru bagi PBB untuk memperbaiki kinerjanya lebih pro aktif dan lebih
sigap dalam membaca situasi dan konflik yang ada sehingga mampu memberikan
keputusan yang tepat dan cepat. Kemudian PBB juga dituntut tidak
mendiskriminasi keputusan hanya berdasarkan negara-negara besar saja namun
keputusan yang benar-benar merepresentasikan pemikiran masyarakat
internasional.
References
[1]
Wheeler J. Nicholas & Bellamy J. Alex. 2001. Humanitarian Intervention
in World Politics dalam Baylis .John & Smith Steve The Globalization
of World Politics. Oxford University Press, New York 2001. Chapter 30
2 Journal of The
United nations. Diakses secara online melalui
<http://www.un.org/en/documents/journal.asp>
pada 24 Juni 2015.
3
Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian Intervention and Interntional
Relations. Oxford University Press, New York 2004
4 Ibid.
5
Zimmermann, Dominik. 2014. Why is The
Practice of Humanitarian Intervention so Controversial?
6 Konstruksi
identitas etnis berawal dari pembagian wilayah somalia menurut wilayah
kependudukan penjajahan. British
Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang
dulunya dikuasai Italia.
7 Humanitarian Intervention in Somalia.
Diakses kembali secara online melalui http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html
pada 27 Juni 2015.
8 Glanville,
Luke. Somalia Reconsidered: An
Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses
kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf>
pada 27 Juni 2015.
9 United nations Operation in Somalia II.
Diakses kembali secara online melalui <
http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada
27 Juni 2015.
10 Ibid.
11 Unified Task Force. Diakses kembali
melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force>
pada 27 Juni 2015
12 Ibid.
13 Rwanda Genocide
Timeline. Diakses kembali secara online melalui <http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm> pada 27 Mei 2015
14 Rwanda-UNOMUR
mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm
> pada 27 Juni 2015
15 Rwanda-UNAMIR
mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm>
pada 27 Juni 2015
16 Ibid.
17 International
Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm>
pada 27 Juni 2015.
18 Peran Internasional Criminal Tribunal For
Rwanda. Diakses kembali secara online melalui <
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran>
pada 27 Juni 2015
19 Glanville,
Luke. Somalia Reconsidered: An
Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses
dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf>
pada 28 Juni 2015.
20 White, Jeremy
Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for CSIS (Centerfor Strategic
and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf>
pada 27 Juni 2014.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Ibid.
24 Maritz,
Dominique. 2012. Rwanda Genocide: Failure
of The International Community. E-International Relation Student. Jurnal
online diakses melalui < http://www.e-ir.info/2012/04/07/rwandan-genocide-failure-of-the-international-community/>
pada 29 Juni 2015.
25 Ibid.
26 Ibid.
27 Lysistrata,
Mako Mira. Peranan Operasi Peacekeeping
PBB dalam Stabilitas di Rwanda Periode 1993-1994. Diakses melalui < https://prezi.com/vcv-9yj9ikrs/peranan-operasi-peacekeeping-pbb-dalam-stabilitas-di-rwanda/>
pada 29 Juni 2015.
28 Kabunduguru,
Mathias. 1999. Peacekeeping and The UN:
lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
(Jumlah
kata : 3.616 kata)
[1] Wheeler J. Nicholas & Bellamy J. Alex. 2001. Humanitarian Intervention in World Politics dalam
Baylis .John & Smith Steve The Globalization of World
Politics. Oxford University Press, New York 2001. Chapter 30
[2] Journal
of The United nations. Diakses secara online melalui <http://www.un.org/en/documents/journal.asp>
pada 24 Juni 2015.
[3] Welsh M. Jenifer. 2004. Humanitarian
Intervention and Interntional Relations. Oxford University Press,
New York 2004
[4] Ibid.
[5] Zimmermann, Dominik. 2014. Why is The Practice of Humanitarian Intervention so Controversial?
[6]
Konstruksi identitas etnis berawal dari pembagian wilayah somalia menurut
wilayah kependudukan penjajahan. British
Somaliland di bagian utara Somalia yang dulunya dikuasai Inggris dan Italian Somalia di bagian selatan yang
dulunya dikuasai Italia.
[7] Humanitarian Intervention in Somalia.
Diakses kembali secara online melalui http://azmuharom.blogspot.com/2010/11/humanitarian-intervention-in-somalia.html
pada 27 Juni 2015.
[8]
Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An
Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal onliae diakses
kembali dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf>
pada 27 Juni 2015.
[9] United nations Operation in Somalia II.
Diakses kembali secara online melalui <
http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Operation_in_Somalia_II > pada
27 Juni 2015.
[10] Ibid.
[11] Unified Task Force. Diakses kembali
melaui < http://en.wikipedia.org/wiki/Unified_Task_Force>
pada 27 Juni 2015
[12] Ibid.
[13] Rwanda
Genocide Timeline. Diakses kembali secara online melalui <http://history1900s.about.com/od/rwandangenocide/a/Rwanda-Genocide-Timeline.htm> pada 27 Mei 2015
[14]
Rwanda-UNOMUR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm
> pada 27 Juni 2015
[15]
Rwanda-UNAMIR mandate. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm>
pada 27 Juni 2015
[16] Ibid.
[17]
International Tribunal for Rwanda. Diakses secara online melalui < http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm>
pada 27 Juni 2015.
[18] Peran Internasional Criminal Tribunal For
Rwanda. Diakses kembali secara online melalui <
http://www.distrodoc.com/download/12831-peran-international-criminal-tribunal-for-rwanda-ictr-dalam-menangani-pelanggaran>
pada 27 Juni 2015
[19]
Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An
Examination of The Norm of Humanitarian Intervention. Jurnal online diakses
dalam < http://sites.tufts.edu/jha/files/2011/04/a178.pdf>
pada 28 Juni 2015.
[20] White,
Jeremy Patrick. Civil Affairs in Somalia, paper for
CSIS (Centerfor Strategic and International Studies). Diakses melalui <http://csis.org/files/media/csis/pubs/090130_somalia_study.pdf>
pada 27 Juni 2014.
[21]
Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Maritz,
Dominique. 2012. Rwanda Genocide: Failure
of The International Community. E-International Relation Student. Jurnal
online diakses melalui < http://www.e-ir.info/2012/04/07/rwandan-genocide-failure-of-the-international-community/>
pada 29 Juni 2015.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27]
Lysistrata, Mako Mira. Peranan Operasi
Peacekeeping PBB dalam Stabilitas di Rwanda Periode 1993-1994. Diakses melalui < https://prezi.com/vcv-9yj9ikrs/peranan-operasi-peacekeeping-pbb-dalam-stabilitas-di-rwanda/>
pada 29 Juni 2015.
[28]
Kabunduguru, Mathias. 1999. Peacekeeping
and The UN: lesssons from Rwanda. Working Paper. Asia Press.
0 komentar:
Post a Comment