My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Tuesday, September 1

United States Nuclear Strategy : Mini Nuclear Weapon and New START as Deterrence



Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya

LONG PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester (UAS) mata kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS).

ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai strategi nuklir yang digunakan Amerika Serikat untuk mempertahankan pengaruh dan hegemonnya terhadap negara-negara lain. Gagasan mini nuclear weapon dan perjanjian limitas nuklir new START dengan Rusia digunakan sebagai alat deterrence yang dapat membantu Amerika Serikat memaksimalkan kepentingan globalnya. Dijelaskan juga mengenai perdebatan tentang strategi nuklir sendiri yang berbeda dengan strategi-strategi terdahulu. Strategi nuklir disusun tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war).

Introduction
            Berakhirnya Perang Dunia II menjadi turning point lahirnya perkembangan teknologi yang merambah ke segala aspek termasuk ke dalam aspek militer dan peperangan. Hal tersebut seiring dengan lahirnya perkembangan konsep strategi baru yang sangat menarik untuk dibahas. Kelahiran sebuah konsep strategis pada awalnya selalu diidentikkan dengan militer dan peperangan. Nuklir, kemudian menjadi babak baru dalam perkembangan teknologi termasuk persenjataan yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan studi strategi. Dikatakan bahwa nuclear startegy refers to military staratgy that use nuclear weapon. Senjata nuklir sendiri disebut-sebut sebagai the absolute weapon yang memiliki dampak kerusakan terbesar, resiko tertinggi dan tidak ada tandigannya (disarm).[1] Tidak hanya itu, sifat korban akibat senjata nuklir sama dengan aksi terorisme yaitu tidak pandang bulu (indiscriminate effect).[2] Dalam ilmu fisika, efek dari nuklir bisa berdampak hingga bertahun-tahun kemudian karena memang waktu paruh untuk menghilangkan reaksi nuklir relatif lama (sekitar 24.100 tahun untuk plutonium-239). Radiasi nuklir tidak terlihat kasat mata dan dapat menyerang siapapun serta memiliki efek yang sangat berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu senjata nuklir merupakan senjata dengan pengaturan dan peraturan paling detail dalam dunia internasional.
            Merujuk pada konsep strategi terdahulu, Clausewitz tidak pernah berbicara mengenai strategi nuklir. Relevansi Clausewitz dengan strategi nuklir adalah sebatas mengatakan bahwa perang hanyalah cara (tools) yang didalamnya terdapat tujuan politik. Antara tujuan dan cara saling bergandengan dan tidak dapat dipisahkan. Dan bahwa absolute war is abstraction (tidak mungkin terjadi) dan  perang itu sendiri dapat menkoneksikan military, goverment dan people. Kesimpulannya, apa yang dikatakan Clausewittz tidak dapat diaplikasikan ke dalam nuklir strategi. Strategi nulir sendiri digunakan pada mulanya berawal dari attack (menyerang) menjadi dether (penggentar) dimana fungsi penting dari strategi nuklir adalah menimbulkan efek deterrence yang paling tinggi. Beberapa negara mengclaim penggunaan nuklir secara damai namun ditakutkan akan dapat diconvert ke hal-hal yang salah dan negatif sehingga diperlukannya badan pengawasan yang sangat ketat oleh PBB. Amerika Serikat dan Rusia merupakan contoh dua negara super power dengan kepemilikan senjata nuklir selama Perang Dingin. Melalui kepemilikan nuklir ini, mereka masing-masing berusaha mengembangkan Balance of Power menjadi Balance of Fear dan Balance of Threat  agar lebih powerfull dengan adanya Nuclear War. Hal tersebut kembali ke Clausewitz yang menyatakan bahwa defence, as opposed to offense, is the strongest form of war.
            Di dalam paper ini, akan coba dijelaskan dan dianalisis mengenai strategi nuklir yang dilakukan AS sebagai deterrence melalui adanya pengembangan senjata nuklir mini, yang dikenal sebagai strategi nuklir baru AS hingga perjanjian limitasi nuklir, New START[3]. Tulisan ini salah satunya terinspirasi dari banyaknya pemberitaan media massa dunia, termasuk surat kabar di Jakarta pada tahun 2004 yang sempat menyebutkan bocoran informasi dari Pentagon mengenai The United States Nuclear Posture Review (NPR), yang berisikan strategi nuklir baru AS. Strategi nuklir sebagai deterrence ini digunakan sebagai bagian dari strategi keamanan nasional AS terbesar yang pernah diperkenalkan dan memancing perhatian dunia internasional. Hal yang menarik adalah mengapa AS membocorkan gagasan strategi sepenting itu? Lebih lanjut, mengapa AS mau menandatangani perjanjian new START? Apakah keduanya termasuk strategi nuklir AS sebagai deterrence?

Nuclear Age : A New Era on Strategy Revolution
            Era nuklir menjadi era pergeseran dan transisi mengenai perkembangan  perang itu sendiri. Pada masa perang dingin, tujuan negara telah bergeser dari fokus terhadap perang secara fisik menjadi bersaing menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Nuklir kemudian menjadi inovasi baru berteknologi tinggi yang pertama kali dikenal pada tahun 1945 dan digunakan sebagai senjata pemusnah massal (massive destruction) yang lebih dikenal masyarakat semenjak peristiwa pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki. Pergeserannya juga terkait ke dalam penerapan strategi itu sendiri. Jika pada awalnya, strategi deffense dianggap sebagai primadona, pada era nuklir hal tersebut menjadi tak berlaku lagi.[4] Pada masa pra-nuklir, strategi lebih diarahkan kepada bagaimana memenangkan peperangan dan lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan perang melalui berbagai kebijakan deterrence.
Deterrence adalah sebuah strategi nuklir dimana terdapat sebuah upaya untuk meningkatkan kekuatan sebuah negara dengan cara mengembangkan teknologi secara masif. Akan tetapi dalam implementasinya, terdapat dua kondisi yang dapat digunakan sebagai suatu tolak ukur dalam menjalankan strategi deterrence. Kondisi pertama yakni ketika terdapat suatu negara yang sebenarnya mampu untuk menyerang akan tetapi lebih memilih bertahan untuk tidak menyerang. Meskipun negara tersebut mengetahui bahwa tidak terdapat resiko yang mampu menghalangi. Sedangkan, kondisi kedua yakni tidak ada negara yang menyerang karena negara tersebut mengetahui akan dampak yang dihasilkan dari perang nuklir tersebut.[5] Kondisi kedua ini merujuk pada peristiwa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Rusia yang diantara kedua negara tersebut memilih untuk tidak saling menyerang karena kedua negara paham akan akibat yang dapat ditimbulkan dari perang nuklir tersebut. Kedua kondisi di atas dikarenakan nuklir memiliki kemampuan untuk melucuti senjata, dalam arti senjata konvensional tidak berarti dan nuklir menjadi senjata yang tidak ada tanndingannya (disarm).

Mini Nuclear Weapon and New START as Deterrence
Senjata nuklir mini (mini nuclear weapon) yang merupakan bagian dari strategi nuklir AS, sempat menghebohkan pemberitaan di tahun 2004. Mengenai Senjata nuklir mini (mini nuclear weapon) ini, kita dapat merujuk pada tulisan bapak Makarim Wibisono dalam buku Tantangan Diplomasi Multilateral yang juga sempat dimuat di majalah GATRA, tanggal 21 Agustus 2004. Beliau menggambarkan bahwa terdapat perkembangan mengerikan tentang strategi nuklir baru Amerika Serikat di bawah pemerintahan George J. Bush.[6] Disebutkan bahwa angkatan bersenjata AS diminta untuk mulai merancang langkah-langkah darurat, jika suatu saat diperlukan, untuk penngunaaan senjata nuklir. Di samping itu, mereka juga diminta mengembangkan dan membuat senjata nuklir mini yang memiliki daya penetrasi ke bumi secara dahsyat, tetapi jangkauannya hanya akan terbatas pada area tertentu, dengan skenario penggunaannya di medan laga tertentu (war-fighting scenario).
Secara jelas diungkapkan dalam dokumen bocoran tersebut bahwa persenjataan nuklir tersebut akan digunakan pada tiga situasi khusus yang mendesak. Pertama adalah untuk menghadapi musuh yang yang dapat bertahan pada serangan konvensional mutakhir. Kedua, untuk menghadapi musuh dalam rangka membalas serangan lawan yang menggunakan senjata Weapon of Mass Destruction (WMD). Berikut adalah top 10 yang termasuk ke dalam kategori WMD[7]:
1.      Biological weapon
2.      Chemical weapon
3.      Fusion bom
4.      Fission bom
5.      Boosted fission bom
6.      Neutron bom
7.      Napalm bom
8.      Pure fusion bom
9.      Radiological bom
10.  Toxological bom
Dan yang ketiga adalah untuk menghadapi musuh dalam keadaan tertentu yang masuk kategori bila terjadi perkembangan situasi mendadak (unexpected military situations). Negara yang disebut-sebut menjadi target senjata nuklir ini adalah Cina, Rusia, Irak, Korea Utara, Suriah, Iran dan Libya.[8]
Meskipun banyak hambatan yuridis bagi AS yang tersisa dari piranti hukum internasional yang ada seperti ketentuan dalam Comprehensive Test-Ban Treaty (traktat CTBT) dan Non Proliferation Treaty (traktat NPT), yang melarang percobaan senjata nuklir serta untuk penghapusannya dari permukaan bumi, namun bukan hal mustahil bagi negara besar dan adikuasa seperti AS untuk dengan nyata mengimplementasikannya. Uji coba senjata nuklir dapat dilakukan secara virtual dan laboratory testing dengan memanfaatkan teknologi komputer canggih sehingga peluang untuk mewujudkan strategi nuklir baru ini semakin terbuka. Permasalahan yang menarik bukan hanya sekedar mengenai apakah strategi nuklir ini benar-benar bisa diimplementasikan namun lebih kepada aspek kontekstualnya yaitu mengapa AS membocorkan gagasan sepenting ini? Apakah sebenarnya tujuan dari pada AS?
Menlu Rusia, Igor Avanov menyatakan kekecewaannya terhadap AS mengenai munculnya gagasan strategi nuklir ini. Rusia dan Cina terluka karena mereka mengimplementasikan bahwa sikap mereka membantu AS dibalas dengan sikap sebaliknya yang sangat menyulitkan mereka. Cina membantu AS dalam memberikan data intelijen sewaktu AS mulai menyerang Taliban dan gerakan terorisme internasional. Sedangkan Rusia membantu mengirimkan puluhan dokter dalam tim medis guna membantu tugas kemanusiaan (humanitarian intervention) di Afghanistan. Gagasan yang membuat munculnya ketakutan dunia internasional ini menuai banyak kritik dari luar dan domestik AS sendiri. Pertanyaan yang muncul antara lain keperluannya membuat senjata nuklir baru dalam konteks Perang Dingin yang sudah tidak berlaku, belum lagi besarnya biaya yang seharusnya lebih digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Makarim menyatakan bahwa asumsi dasar dalam perumusan strategi nuklir tersebut masih menggunakan prinsip-prinsip Perang Dingin dalam konteks lampau dimana perubahan sikap AS ini muncul karena dorongan hegemoni yang ingin memantapkan dominasi dan supremasi AS dalam politik global.[9] Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap AS dengan membocorkan gagasan strategi nuklirnya merupakan upayanya sebagai deterrence terhadap negara lain agar pengaruh hegemonnya semakin tidak tergeser.
            Sudah menjadi rahasia umum bahwa era persaingan nuklir antara AS dan Rusia sudah berlangsung sejak lama. Dalam konteks perkembangan lebih lanjut, AS kembali merumuskan strategi nuklir baru di bawah pemerintahaan Barrack Obama. Strategi tersebut dilakukan dengan cara menandatangani perjanjian limitasi new START sebagai upaya untuk lebih memperkuat pengaruh hegemoninya terhadap Rusia maupun negara yang lainnya. AS mengganggap Rusia sebagai musuh dan selalu berusaha untuk memastikan dan menekan jumlah misil dan persenjataannya. Terdapat beberapa cara dalam melucuti lawan (on disarming the enemy), diantaranya adalah:
1.      From subduing to disarming
2.      SALT (Strategic Arms Limitation Talks) : membatasi kepemilikan
3.      START (Strategic Arms Reduction Treaty) : mengurangi kepemilikan
4.      CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty) : Nuclear Zero
New START merupakan perjanjian limitasi nuklir yang ditandatangi pada April 2010 dimana membatasi dan mengurangi kepemilikan senjata nuklir oleh AS dan Rusia hingga tahun 2018. AS ingin membatasi TNW (Tactical Nuclear Weapons) dan kekuatan nuklir Rusia melalui perjanjian ini. sementara itu, Rusia menyetujui perjanjian ini dengan harapan kekuatan senjata konvensional non-nuklir dan konvensional AS seperti BMDs (Ballictic Missile Defense) juga dikurangi.[10] Terdapat 3 main point  dalam perjanjian new START yaitu[11] :
1.      It caps the number of deployed, long-range nuclear warheads on each side at 1,550, down from 2,200.
2.      It reduces the number of deployed intercontinental ballistic missiles (ICBMs), deployed submarine launched ballistic missiles (SLBMs), and deployed heavy bombers equipped for nuclear armaments to 700, with a combined limit of 800 deployed and non-deployed ICBM launchers, SLBM launchers, and heavy bombers equipped for nuclear armaments (the United States currently has about 850 deployed and Russia has an estimated 565).
3.      It reestablishes a system in which both countries monitor each other’s arsenal.   
Satu hal yang menarik, dibentuknya new START akan mempengaruhi keamanan nasional kedua negara. Washington dan Moskow telah memberikan pandangan masing-masing megenai peran senjata nuklir taktis dalam strategi militer. Pada 2012, Mentri Pertahanan (the Secretary of Defense) AS, menyatakan bahwa[12],
“It is possible that our deterrence goals can be achieved with a smaller nuclear force, which would reduce the number of nuclear weapons in our inventory as well as their role in U.S. national security strategy.”
AS percaya bahwa deterrence goals mereka dapat dicapai melalui strategi nuklir dengan mengurangi jumlah senjata nuklir. Melalui perjanjian new START ini, AS sekaligus dapat secara tidak langsung memonitor pergerakan dan perkembangan kemiliteran Rusia. Selain itu, juga memberi kesempatan AS untuk memperlihatkan diri mengenai senjata yang dimiliki sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek penggentar deterrence yang besar bagi pihak lain termasuk Rusia.
           
The Other Debates : Is Deterrence Strategy? Is There A Nuclear of Strategy?
            Kedua studi kasus di atas menunjukkan strategi nuklir AS dimana menggunakan gagasan mini nuclear weapon dan new START sebagai deterrence. Hal tersebut menimbulkan munculnya perdebatan lain. Apakah deterrence sendiri adalah strategi? Mengingat di dalam strategi sendiri terdapat elemen gabungan antara end (tujuan), means (resources) dan ways (cara). Apakah deterrence memiliki ketiga elemen tersebut? Memang di dalam nuklir strategi, deterrence sering digunakan, tidak hanya di negara-negara besar ataupun super power namun juga di negara-negara berkembang seperti India, Cina dan Irak misalnya. Karena memang nuklir sendiri tidak pernah benar-benar digunakan dalam peparangan hingga saat ini, terlepas dari peristiwa Hiroshima dan Nagasaki. Hanya AS sendirilah yang pernah menggunakan senjata nuklir. Menurut Klein[13],
“deterrence is said to be persuading a potential enemy that he should in his own interest avoid certain courses of activity.”
Deterrence lebih diasumsikan kepada bagaimana caranya kita membuat musuh untuk tunduk terhadap kita ataupun dengan keadaan-keadaan bahaya yang bisa kita timbulkan namun tidak dengan keadaan terpaksa, dalam arti dengan kemauan sendiri. Jika kita lihat dari peryataan tersebut, deterrence lebih terlihat seperti taktik psikologis. Untuk lebih memahami teori dari deterrence, Colin S. Gray mengemukakan bahwa deterrence itu sendiri memiliki limitasi[14],
“Given that deterrence can only work, when it does, in the minds of enemy leaders, it is their worldview, not ours, that must determine whether or not deterrence succeeds.”
Pernyataan diatas menyatakan bahwa limitasi sendiri diartikan bahwa berhasil tidaknya deterrence, sangat bergantung dari pandangan individu. Klein sendiri menambahkan bahwa[15],
“Nuclear deterrence is only successful if it averts the use of nuclear weapons, but a credible deterrence capability requires planning for their intended use.  If employed, deterrence has failed.”
Pernyataan Klein ini menguatkan asumsi penulis bahwa memang deterrence merupakan suatu strategi. Dan dengan menggunakan nuklir, maka efek deterrence akan semakin menguat. Pengaplikasian deterrence melalui strategi nuklir sendiri memerlukan perncanaan matang dimana memiliki tujuan tidak untuk digunakan namun lebih kepada menghindari peperangan (avoiding war). Apabila senjata nuklir sebagai deterrence pada akhirnya digunakan, maka taktik nuklir sendiri sebagai deterrence dikatakan tidak berhasil, dalam arti gagal toral.
            Jadi dapat disimpulakan, sependapat denagn pernyataan Klein, bahwa strategi nuklir itu memang ada. Strategi nuklir memang disusun pada dasarnya tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war). Hal tersebut kembali ke relevansi Clausewitz dengan strategi nuklir bahwa absolute war is abstarction. Karena apabila senjata nuklir digunakan maka semua pihak akan hancur dan tidak ada pihak yang menang ataupun kalah. Strategi yang selama ini kita pelajari mulai dari Sun Tzu, Clausewitz hingga modern strategi hanya menjelaskan penggunaan strategi di dalam peperangan secara konvensional dalam arti peperangan tersebut memang benar-benar terjadi di medan laga. Sedangakan strategi nuklir ini justru digunakan sebalikanya yaitu agar peperangan yang sebenarnya tidak terjadi. Walaupun demikian, penggunaaan strategi nuklir tetap memerlukan strategi dimana salah satunya dengan cara mencari relevansi dengan strategi-staretgi terdahulu sehingga strategi tetap dapat digunaakan dan tidak benar-benar usang dalam era nuklir atau dalam strategi nuklir.

Conclution
            Perkembangan teknologi menjadikan perkembangan di berbagai aspek termasuk peperangan, militer dan studi mengenai strategi. Nuklir, kemudian menjadi babak baru dalam perkembangan teknologi termasuk persenjataan yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan studi strategi. Nuklir strategi merupakan strategi dalam militer yang menggunakan senjata nuklir dimana memiliki tujuan untuk deterrence atau sebagai efek penggentar terhadap musuh. AS merupakan salah satu contoh negara yang menggunakan strategi nuklir sebagai deterrence. Melalui gagasan mini nuclear weapon dan perjanjian limitas nuklir new START dengan Rusia, AS berusaha mempertahankan pengaruh dan hegemoninya terhadap negara-negara lain. Keduanya digunakan sebagai alat deterrence yang dapat membantu AS memaksimalkan kepentingan globalnya. Strategi nuklir memang disusun pada dasarnya tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war). Penggunaaan strategi nuklir tetap memerlukan strategi dimana salah satunya dengan cara mencari relevansi dengan strategi-staretgi terdahulu sehingga strategi tetap dapat digunaakan dan tidak benar-benar usang dalam era nuklir atau dalam strategi nuklir.


References
[1]   Bradley S. Klein. 1994. What Nuclear Revolutions, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press.
[2]   Wibisono, Makarim. 2006. Strategi Nuklir Baru Amerika Serikat. dalam Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3S.
[3]   Ibid.
[4]   Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 39-80
[5]   Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies, dalam Military Strategy: Principles, Practices and Historical Perspectives, Washington, D.C.: Potomac Books, pp. 133-144.
[6]   Ibid.
[7]   Catatan kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS) pada 27 April 2015 dengan pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[8]   Ibid.
[9]   Ibid.
[10] Klein, John J.2014. Towards A Better U.S. Nuclear Strategy. Journal of Strategic Security 7, no. 3 pp 84-94.
[11] Woolf, Amy F. 2015. The New START Treaty: Central Limits and Key Provisions. Congressional Research Service.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Gray, Colin S., 2009. National Security Dilemmas: Challenges & Opportunities (Dulles, VA: Potomac Books, Inc., 2009), pp 56.
[15] Ibid.


[1] Bradley S. Klein. 1994. What Nuclear Revolutions, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press.
[2] Wibisono, Makarim. 2006. Strategi Nuklir Baru Amerika Serikat. dalam Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3S.
[3] Ibid.
[4] Klein, Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?, dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 39-80
[5] Collins, John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies, dalam Military Strategy: Principles, Practices and Historical Perspectives, Washington, D.C.: Potomac Books, pp. 133-144.
[6] Ibid.
[7] Catatan kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS) pada 27 April 2015 dengan pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Klein, John J.2014. Towards A Better U.S. Nuclear Strategy. Journal of Strategic Security 7, no. 3 pp 84-94.
[11] Woolf, Amy F. 2015. The New START Treaty: Central Limits and Key Provisions. Congressional Research Service.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Gray, Colin S., 2009. National Security Dilemmas: Challenges & Opportunities (Dulles, VA: Potomac Books, Inc., 2009), pp 56.
[15] Ibid.

0 komentar:

Post a Comment