Trisfani
Rahmawati
NIM. 071414553007
Program
Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik
Universitas
Airlagga Surabaya
LONG
PAPER:
Disusun untuk memenuhi tugas akhir
semester (UAS) mata kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS).
ABSTRAK
Paper
ini membahas mengenai strategi nuklir yang digunakan Amerika Serikat untuk
mempertahankan pengaruh dan hegemonnya terhadap negara-negara lain. Gagasan
mini nuclear weapon dan perjanjian limitas nuklir new START dengan Rusia
digunakan sebagai alat deterrence yang dapat membantu Amerika Serikat
memaksimalkan kepentingan globalnya. Dijelaskan juga mengenai perdebatan
tentang strategi nuklir sendiri yang berbeda dengan strategi-strategi
terdahulu. Strategi nuklir disusun tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir
dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence
yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding
war).
Introduction
Berakhirnya
Perang Dunia II menjadi turning point
lahirnya perkembangan teknologi yang merambah ke segala aspek termasuk ke dalam
aspek militer dan peperangan. Hal tersebut seiring dengan lahirnya perkembangan
konsep strategi baru yang sangat menarik untuk dibahas. Kelahiran sebuah konsep
strategis pada awalnya selalu diidentikkan dengan militer dan peperangan. Nuklir,
kemudian menjadi babak baru dalam perkembangan teknologi termasuk persenjataan
yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan studi strategi. Dikatakan bahwa nuclear startegy refers to military staratgy
that use nuclear weapon. Senjata nuklir sendiri disebut-sebut sebagai the absolute weapon yang memiliki dampak
kerusakan terbesar, resiko tertinggi dan tidak ada tandigannya (disarm).[1]
Tidak hanya itu, sifat korban akibat senjata nuklir sama dengan aksi terorisme
yaitu tidak pandang bulu (indiscriminate
effect).[2]
Dalam ilmu fisika, efek dari nuklir bisa berdampak hingga bertahun-tahun
kemudian karena memang waktu paruh untuk menghilangkan reaksi nuklir relatif
lama (sekitar 24.100 tahun untuk plutonium-239). Radiasi nuklir tidak terlihat
kasat mata dan dapat menyerang siapapun serta memiliki efek yang sangat
berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu senjata nuklir merupakan senjata dengan
pengaturan dan peraturan paling detail dalam dunia internasional.
Merujuk
pada konsep strategi terdahulu, Clausewitz tidak pernah berbicara mengenai
strategi nuklir. Relevansi Clausewitz dengan strategi nuklir adalah sebatas
mengatakan bahwa perang hanyalah cara (tools)
yang didalamnya terdapat tujuan politik. Antara tujuan dan cara saling
bergandengan dan tidak dapat dipisahkan. Dan bahwa absolute war is abstraction (tidak mungkin terjadi) dan perang itu sendiri dapat menkoneksikan military, goverment dan people. Kesimpulannya, apa yang
dikatakan Clausewittz tidak dapat diaplikasikan ke dalam nuklir strategi. Strategi
nulir sendiri digunakan pada mulanya berawal dari attack (menyerang) menjadi dether
(penggentar) dimana fungsi penting dari strategi nuklir adalah menimbulkan
efek deterrence yang paling tinggi.
Beberapa negara mengclaim penggunaan
nuklir secara damai namun ditakutkan akan dapat diconvert ke hal-hal yang salah dan negatif sehingga diperlukannya
badan pengawasan yang sangat ketat oleh PBB. Amerika Serikat dan Rusia
merupakan contoh dua negara super power
dengan kepemilikan senjata nuklir selama Perang Dingin. Melalui kepemilikan
nuklir ini, mereka masing-masing berusaha mengembangkan Balance of Power menjadi Balance
of Fear dan Balance of Threat agar lebih powerfull
dengan adanya Nuclear War. Hal
tersebut kembali ke Clausewitz yang menyatakan bahwa defence, as opposed to offense, is the strongest form of war.
Di
dalam paper ini, akan coba dijelaskan dan dianalisis mengenai strategi nuklir
yang dilakukan AS sebagai deterrence
melalui adanya pengembangan senjata nuklir mini, yang dikenal sebagai strategi
nuklir baru AS hingga perjanjian limitasi nuklir, New START[3]. Tulisan
ini salah satunya terinspirasi dari banyaknya pemberitaan media massa dunia,
termasuk surat kabar di Jakarta pada tahun 2004 yang sempat menyebutkan bocoran
informasi dari Pentagon mengenai The
United States Nuclear Posture Review (NPR), yang berisikan strategi nuklir baru
AS. Strategi nuklir sebagai deterrence ini
digunakan sebagai bagian dari strategi keamanan nasional AS terbesar yang
pernah diperkenalkan dan memancing perhatian dunia internasional. Hal yang menarik
adalah mengapa AS membocorkan gagasan strategi sepenting itu? Lebih lanjut, mengapa
AS mau menandatangani perjanjian new START? Apakah keduanya termasuk strategi
nuklir AS sebagai deterrence?
Nuclear
Age : A New Era on Strategy Revolution
Era
nuklir menjadi era pergeseran dan transisi mengenai perkembangan perang itu sendiri. Pada masa perang dingin,
tujuan negara telah bergeser dari fokus terhadap perang secara fisik menjadi bersaing
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Nuklir kemudian menjadi
inovasi baru berteknologi tinggi yang pertama kali dikenal pada tahun 1945 dan
digunakan sebagai senjata pemusnah massal (massive
destruction) yang lebih dikenal masyarakat semenjak peristiwa pengeboman
kota Hiroshima dan Nagasaki. Pergeserannya juga terkait ke dalam penerapan strategi
itu sendiri. Jika pada awalnya, strategi deffense dianggap sebagai
primadona, pada era nuklir hal tersebut menjadi tak berlaku lagi.[4] Pada
masa pra-nuklir, strategi lebih diarahkan kepada bagaimana memenangkan
peperangan dan lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan perang melalui
berbagai kebijakan deterrence.
Deterrence adalah sebuah strategi
nuklir dimana terdapat sebuah upaya untuk meningkatkan kekuatan sebuah negara
dengan cara mengembangkan teknologi secara masif. Akan tetapi dalam
implementasinya, terdapat dua kondisi yang dapat digunakan sebagai suatu tolak
ukur dalam menjalankan strategi deterrence. Kondisi pertama
yakni ketika terdapat suatu negara yang sebenarnya mampu untuk menyerang akan
tetapi lebih memilih bertahan untuk tidak menyerang. Meskipun negara tersebut
mengetahui bahwa tidak terdapat resiko yang mampu menghalangi. Sedangkan,
kondisi kedua yakni tidak ada negara yang menyerang karena negara
tersebut mengetahui akan dampak yang dihasilkan dari perang nuklir tersebut.[5]
Kondisi kedua ini merujuk pada peristiwa Perang Dingin antara Amerika Serikat
dan Rusia yang diantara kedua negara tersebut memilih untuk tidak saling
menyerang karena kedua negara paham akan akibat yang dapat ditimbulkan dari
perang nuklir tersebut. Kedua kondisi di atas dikarenakan nuklir memiliki
kemampuan untuk melucuti senjata, dalam arti senjata konvensional tidak berarti
dan nuklir menjadi senjata yang tidak ada tanndingannya (disarm).
Mini
Nuclear Weapon and New START as Deterrence
Senjata nuklir mini (mini nuclear weapon) yang merupakan
bagian dari strategi nuklir AS, sempat menghebohkan pemberitaan di tahun 2004.
Mengenai Senjata nuklir mini (mini
nuclear weapon) ini, kita dapat merujuk pada tulisan bapak Makarim Wibisono
dalam buku Tantangan Diplomasi
Multilateral yang juga sempat dimuat di majalah GATRA, tanggal 21 Agustus
2004. Beliau menggambarkan bahwa terdapat perkembangan mengerikan tentang
strategi nuklir baru Amerika Serikat di bawah pemerintahan George J. Bush.[6]
Disebutkan bahwa angkatan bersenjata AS diminta untuk mulai merancang
langkah-langkah darurat, jika suatu saat diperlukan, untuk penngunaaan senjata
nuklir. Di samping itu, mereka juga diminta mengembangkan dan membuat senjata
nuklir mini yang memiliki daya penetrasi ke bumi secara dahsyat, tetapi jangkauannya
hanya akan terbatas pada area tertentu, dengan skenario penggunaannya di medan
laga tertentu (war-fighting scenario).
Secara jelas
diungkapkan dalam dokumen bocoran tersebut bahwa persenjataan nuklir tersebut
akan digunakan pada tiga situasi khusus yang mendesak. Pertama adalah untuk
menghadapi musuh yang yang dapat bertahan pada serangan konvensional mutakhir.
Kedua, untuk menghadapi musuh dalam rangka membalas serangan lawan yang
menggunakan senjata Weapon of Mass
Destruction (WMD). Berikut adalah top
10 yang termasuk ke dalam kategori WMD[7]:
1.
Biological
weapon
2.
Chemical
weapon
3.
Fusion
bom
4.
Fission
bom
5.
Boosted
fission bom
6.
Neutron
bom
7.
Napalm
bom
8.
Pure
fusion bom
9.
Radiological
bom
10. Toxological bom
Dan yang ketiga
adalah untuk menghadapi musuh dalam keadaan tertentu yang masuk kategori bila
terjadi perkembangan situasi mendadak (unexpected
military situations). Negara yang disebut-sebut menjadi target senjata
nuklir ini adalah Cina, Rusia, Irak, Korea Utara, Suriah, Iran dan Libya.[8]
Meskipun banyak hambatan
yuridis bagi AS yang tersisa dari piranti hukum internasional yang ada seperti ketentuan
dalam Comprehensive Test-Ban Treaty (traktat CTBT) dan Non Proliferation Treaty
(traktat NPT), yang melarang percobaan senjata nuklir serta untuk
penghapusannya dari permukaan bumi, namun bukan hal mustahil bagi negara besar
dan adikuasa seperti AS untuk dengan nyata mengimplementasikannya. Uji coba
senjata nuklir dapat dilakukan secara virtual
dan laboratory testing dengan
memanfaatkan teknologi komputer canggih sehingga peluang untuk mewujudkan
strategi nuklir baru ini semakin terbuka. Permasalahan yang menarik bukan hanya
sekedar mengenai apakah strategi nuklir ini benar-benar bisa diimplementasikan
namun lebih kepada aspek kontekstualnya yaitu mengapa AS membocorkan gagasan
sepenting ini? Apakah sebenarnya tujuan dari pada AS?
Menlu Rusia, Igor Avanov
menyatakan kekecewaannya terhadap AS mengenai munculnya gagasan strategi nuklir
ini. Rusia dan Cina terluka karena mereka mengimplementasikan bahwa sikap
mereka membantu AS dibalas dengan sikap sebaliknya yang sangat menyulitkan
mereka. Cina membantu AS dalam memberikan data intelijen sewaktu AS mulai
menyerang Taliban dan gerakan terorisme internasional. Sedangkan Rusia membantu
mengirimkan puluhan dokter dalam tim medis guna membantu tugas kemanusiaan (humanitarian intervention) di
Afghanistan. Gagasan yang membuat munculnya ketakutan dunia internasional ini
menuai banyak kritik dari luar dan domestik AS sendiri. Pertanyaan yang muncul
antara lain keperluannya membuat senjata nuklir baru dalam konteks Perang
Dingin yang sudah tidak berlaku, belum lagi besarnya biaya yang seharusnya
lebih digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Makarim menyatakan
bahwa asumsi dasar dalam perumusan strategi nuklir tersebut masih menggunakan
prinsip-prinsip Perang Dingin dalam konteks lampau dimana perubahan sikap AS
ini muncul karena dorongan hegemoni yang ingin memantapkan dominasi dan
supremasi AS dalam politik global.[9]
Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap AS dengan membocorkan gagasan strategi
nuklirnya merupakan upayanya sebagai deterrence
terhadap negara lain agar pengaruh hegemonnya semakin tidak tergeser.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa era persaingan nuklir
antara AS dan Rusia sudah berlangsung sejak lama. Dalam konteks perkembangan
lebih lanjut, AS kembali merumuskan strategi nuklir baru di bawah pemerintahaan
Barrack Obama. Strategi tersebut dilakukan dengan cara menandatangani perjanjian
limitasi new START sebagai upaya untuk lebih memperkuat pengaruh hegemoninya
terhadap Rusia maupun negara yang lainnya. AS mengganggap Rusia sebagai musuh
dan selalu berusaha untuk memastikan dan menekan jumlah misil dan
persenjataannya. Terdapat beberapa cara dalam melucuti lawan (on disarming the enemy), diantaranya
adalah:
1. From subduing to disarming
2.
SALT (Strategic Arms Limitation Talks) : membatasi kepemilikan
3.
START (Strategic Arms Reduction Treaty) : mengurangi kepemilikan
4.
CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty) : Nuclear Zero
New START merupakan perjanjian limitasi
nuklir yang ditandatangi pada April 2010 dimana membatasi dan mengurangi
kepemilikan senjata nuklir oleh AS dan Rusia hingga tahun 2018. AS ingin
membatasi TNW (Tactical Nuclear Weapons) dan kekuatan nuklir Rusia
melalui perjanjian ini. sementara itu, Rusia menyetujui perjanjian ini dengan
harapan kekuatan senjata konvensional non-nuklir dan konvensional AS seperti
BMDs (Ballictic Missile Defense) juga dikurangi.[10]
Terdapat 3 main point dalam perjanjian new START yaitu[11] :
1. It caps the number of deployed,
long-range nuclear warheads on each side at 1,550, down from 2,200.
2. It reduces the number of deployed
intercontinental ballistic missiles (ICBMs), deployed submarine launched
ballistic missiles (SLBMs), and deployed heavy bombers equipped for nuclear
armaments to 700, with a combined limit of 800 deployed and non-deployed ICBM
launchers, SLBM launchers, and heavy bombers equipped for nuclear armaments
(the United States currently has about 850 deployed and Russia has an estimated
565).
3. It reestablishes a system in which
both countries monitor each other’s arsenal.
Satu hal yang menarik, dibentuknya new
START akan mempengaruhi keamanan nasional kedua negara. Washington dan Moskow
telah memberikan pandangan masing-masing megenai peran senjata nuklir taktis
dalam strategi militer. Pada 2012, Mentri Pertahanan (the Secretary of Defense) AS, menyatakan bahwa[12],
“It
is possible that our deterrence goals can be achieved with a smaller nuclear
force, which would reduce the number of nuclear weapons in our inventory as
well as their role in U.S. national security strategy.”
AS percaya bahwa deterrence goals mereka dapat dicapai melalui strategi nuklir
dengan mengurangi jumlah senjata nuklir. Melalui perjanjian new START ini, AS sekaligus
dapat secara tidak langsung memonitor pergerakan dan perkembangan kemiliteran
Rusia. Selain itu, juga memberi kesempatan AS untuk memperlihatkan diri
mengenai senjata yang dimiliki sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek
penggentar deterrence yang besar bagi
pihak lain termasuk Rusia.
The
Other Debates : Is Deterrence Strategy? Is There A Nuclear of Strategy?
Kedua
studi kasus di atas menunjukkan strategi nuklir AS dimana menggunakan gagasan mini nuclear weapon dan new START
sebagai deterrence. Hal tersebut
menimbulkan munculnya perdebatan lain. Apakah deterrence sendiri adalah strategi? Mengingat di dalam strategi
sendiri terdapat elemen gabungan antara end
(tujuan), means (resources) dan ways (cara). Apakah deterrence memiliki ketiga elemen tersebut? Memang di dalam nuklir strategi,
deterrence sering digunakan, tidak
hanya di negara-negara besar ataupun super
power namun juga di negara-negara berkembang seperti India, Cina dan Irak
misalnya. Karena memang nuklir sendiri tidak pernah benar-benar digunakan dalam
peparangan hingga saat ini, terlepas dari peristiwa Hiroshima dan Nagasaki.
Hanya AS sendirilah yang pernah menggunakan senjata nuklir. Menurut Klein[13],
“deterrence
is said to be persuading a potential enemy that he should in his own interest
avoid certain courses of activity.”
Deterrence
lebih diasumsikan kepada bagaimana caranya kita membuat musuh untuk tunduk
terhadap kita ataupun dengan keadaan-keadaan bahaya yang bisa kita timbulkan
namun tidak dengan keadaan terpaksa, dalam arti dengan kemauan sendiri. Jika
kita lihat dari peryataan tersebut, deterrence
lebih terlihat seperti taktik psikologis. Untuk lebih memahami teori dari deterrence, Colin S. Gray mengemukakan
bahwa deterrence itu sendiri memiliki
limitasi[14],
“Given
that deterrence can only work, when it does, in the minds of enemy leaders, it
is their worldview, not ours, that must determine whether or not deterrence
succeeds.”
Pernyataan diatas menyatakan bahwa
limitasi sendiri diartikan bahwa berhasil tidaknya deterrence, sangat bergantung dari pandangan individu. Klein
sendiri menambahkan bahwa[15],
“Nuclear
deterrence is only successful if it averts the use of nuclear weapons, but a
credible deterrence capability requires planning for their intended use. If employed, deterrence has failed.”
Pernyataan Klein ini menguatkan asumsi
penulis bahwa memang deterrence
merupakan suatu strategi. Dan dengan menggunakan nuklir, maka efek deterrence akan semakin menguat.
Pengaplikasian deterrence melalui strategi
nuklir sendiri memerlukan perncanaan matang dimana memiliki tujuan tidak untuk
digunakan namun lebih kepada menghindari peperangan (avoiding war). Apabila senjata nuklir sebagai deterrence pada akhirnya digunakan, maka taktik nuklir sendiri
sebagai deterrence dikatakan tidak
berhasil, dalam arti gagal toral.
Jadi
dapat disimpulakan, sependapat denagn pernyataan Klein, bahwa strategi nuklir
itu memang ada. Strategi nuklir memang disusun pada dasarnya tidak untuk
mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu sendiri, namun lebih kepada
menimbulkan efek deterrence yang
besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat dihindarkan (avoiding war). Hal tersebut kembali ke
relevansi Clausewitz dengan strategi nuklir bahwa absolute war is abstarction. Karena apabila senjata nuklir
digunakan maka semua pihak akan hancur dan tidak ada pihak yang menang ataupun
kalah. Strategi yang selama ini kita pelajari mulai dari Sun Tzu, Clausewitz
hingga modern strategi hanya menjelaskan penggunaan strategi di dalam
peperangan secara konvensional dalam arti peperangan tersebut memang
benar-benar terjadi di medan laga. Sedangakan strategi nuklir ini justru
digunakan sebalikanya yaitu agar peperangan yang sebenarnya tidak terjadi. Walaupun
demikian, penggunaaan strategi nuklir tetap memerlukan strategi dimana salah
satunya dengan cara mencari relevansi dengan strategi-staretgi terdahulu
sehingga strategi tetap dapat digunaakan dan tidak benar-benar usang dalam era
nuklir atau dalam strategi nuklir.
Conclution
Perkembangan
teknologi menjadikan perkembangan di berbagai aspek termasuk peperangan,
militer dan studi mengenai strategi. Nuklir, kemudian menjadi babak baru dalam
perkembangan teknologi termasuk persenjataan yang pada akhirnya mempengaruhi
perkembangan studi strategi. Nuklir strategi merupakan strategi dalam militer
yang menggunakan senjata nuklir dimana memiliki tujuan untuk deterrence atau sebagai efek penggentar
terhadap musuh. AS merupakan salah satu contoh negara yang menggunakan strategi
nuklir sebagai deterrence. Melalui
gagasan mini nuclear weapon dan
perjanjian limitas nuklir new START dengan Rusia, AS berusaha mempertahankan
pengaruh dan hegemoninya terhadap negara-negara lain. Keduanya digunakan
sebagai alat deterrence yang dapat
membantu AS memaksimalkan kepentingan globalnya. Strategi nuklir memang disusun
pada dasarnya tidak untuk mengaplikasikan senjata nuklir dalam peperangan itu
sendiri, namun lebih kepada menimbulkan efek deterrence yang besar sehingga peperangan yang sesungguhnya dapat
dihindarkan (avoiding war).
Penggunaaan strategi nuklir tetap memerlukan strategi dimana salah satunya
dengan cara mencari relevansi dengan strategi-staretgi terdahulu sehingga
strategi tetap dapat digunaakan dan tidak benar-benar usang dalam era nuklir
atau dalam strategi nuklir.
References
[1] Bradley
S. Klein. 1994. What Nuclear Revolutions,
dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence,
Cambridge: Cambridge University Press.
[2] Wibisono,
Makarim. 2006. Strategi Nuklir Baru
Amerika Serikat. dalam Tantangan
Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3S.
[3] Ibid.
[4] Klein,
Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?,
dalam Strategic Studies and World Order: the Global Politics of Deterrence,
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 39-80
[5] Collins,
John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies,
dalam Military Strategy: Principles, Practices and Historical Perspectives,
Washington, D.C.: Potomac Books, pp. 133-144.
[6] Ibid.
[7] Catatan
kuliah Strategi dan Tata Kelola Stratagis (STKS) pada 27 April 2015 dengan
pengampu Ibu Baiq Wardhani MA. Ph.D.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Klein,
John J.2014. Towards A Better U.S.
Nuclear Strategy. Journal of Strategic Security 7, no. 3 pp 84-94.
[11] Woolf, Amy
F. 2015. The New START Treaty: Central
Limits and Key Provisions. Congressional Research
Service.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Gray,
Colin S., 2009. National Security Dilemmas:
Challenges & Opportunities (Dulles, VA: Potomac Books, Inc., 2009), pp
56.
[15] Ibid.
[1] Bradley
S. Klein. 1994. What Nuclear Revolutions,
dalam Strategic Studies and World Order: the Global
Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press.
[2]
Wibisono, Makarim. 2006. Strategi Nuklir
Baru Amerika Serikat. dalam Tantangan
Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3S.
[3] Ibid.
[4] Klein,
Bradley S. 1994. What Nuclear Revolution?,
dalam Strategic Studies and World Order: the Global
Politics of Deterrence, Cambridge: Cambridge University Press, pp.
39-80
[5] Collins,
John M. 2002. Nuclear Warfare Strategies,
dalam Military Strategy: Principles, Practices and Historical Perspectives,
Washington, D.C.: Potomac Books, pp. 133-144.
[6] Ibid.
[7] Catatan
kuliah Strategi dan Tata
Kelola Stratagis (STKS) pada 27 April 2015 dengan pengampu Ibu Baiq
Wardhani MA. Ph.D.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Klein,
John J.2014. Towards A Better U.S.
Nuclear Strategy. Journal of Strategic Security 7, no. 3 pp 84-94.
[11] Woolf,
Amy F. 2015. The New START Treaty:
Central Limits and Key Provisions. Congressional
Research Service.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Gray,
Colin S., 2009. National Security
Dilemmas: Challenges & Opportunities (Dulles, VA: Potomac Books, Inc.,
2009), pp 56.
[15] Ibid.
0 komentar:
Post a Comment