My Beloved Family

My Beloved Family
"The love of a family is life's greatest blessing" -anonim-

Tuesday, September 1

Analisis Intervensi Kemanusiaan di Libya : Was it Necessary ?


Trisfani Rahmawati
NIM. 071414553007
Program Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlagga Surabaya

            Libya merupakan negara di Afrika Utara yang berbatasan dengan Mesir di sebelah timur, Tunisia di sebelah barat, Chad dan Nier di sebleah selatan serta Aljazair di sebelah barat daya. Sebagaian besar wilayah Libya terdiri dari gurun pasir maka populasi penduduk lebih terkonsentrasi di wilayah sepanjang laut Mediterania. Perang dan konflik telah menjadi bagian dari peradaan manusia. Pasca perang dingin, masih banyak kita jumpai berbagai konflik yang mengancam dan menjadi tantangan baru terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Konflik di Libya misalanya. Konflik yang terjadi di Libya memang hampir sama dengan konflik-konflik yang dialami di negara lain. Sebagain besar didasari oleh masalah politik dan pemerintahan.
Seperti yang kita tahu, berbagai konflik terjadi di Libya. Mulai dari konflik pada masa pemerintahan Qadaffi hingga kini kependudukan kekuasaan oleh ISIS. Konflik-konflik tersebut sempat menimbulkan respon dunia internasional ketika masa pemerintahaan Qadaffi, Selain itu, mengingat korban yang dari konflik tersebut tidaklah sedikit. Berbagai intervensi mulai dilaksanakan termasuk dengan alasan yang lebih humanis yakni intervensi kemanusiaan. Jumah intervensi kemanusiaan meningkat pesat dalam periode perang dingin dimana hal tersebut terjadi karena banyaknya actor baru yang ingin muncul di panggung dunia untuk membantu mengatasi konflik internal suatu negara yang diakibatkan oleh failed state.[1]
Banyak perdebatan tersendiri mengenai intervensi yang terjadi. Setiap negara ataupun berbagai pihak internasional yang memutuskan untuk melaksanakan intervensi pasti memiliki berbagai pertimbangan yang matang tekait hal tersebut. Negara tidak serta merta melaksanakan tindakan intervensi hanya karena kepentingan humanitarian ataupun adanya legalitas dari yang berwenang. Apabila diamati lebih jauh, selalu ada motif lain atau national mauapun self interest yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut juga dapat lebih membantu kita dalam memahami alasan apa dan mengapa suatu negara melakukan intervensi terhadap negara lain. Dalam papar ini akan coba dianalisis dari studi kasus yang terjadi di Libya, Afrika. Apa yang sebenarnya terjadi di Libya saat ini terkait dengan intervensi kemanusiaan dan apakah intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan merupakan suatu tindakan yang tepat ataukah tidak.

The Brieft History of Libya’s Conflict
            Fenomena arab spring yang menyerang Tunisia, Yaman dan Mesir di awal tahun 2011 akhirnya mempengaruhi Libya. Terjadi demonstrasi besar-besaran di Libya terhadap pemerintahan Muammar Qadaffi yang sudah berkuasa lebih dari 41 tahun.[2] Banyaknya demontrasi yang terjadi di Libya berawal dari protesnya sebagian warga Libya di Benghazi pada tanggal 15 Februari 2011, yang dipicu penahanan seorang pengacara yang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah.[3] Meski dikabarkan polisi sudah membebaskan pengacara tersebut, namun aksi unjuk rasa dan demonstasi terus berlanjut hingga berkembang menjadi bentuk protes terhadap pemerintah mereka secara umum dan terhadap Muammar Qadaffi.[4] Selama menjabat Muammar Qadaffi dipandang sebagai pemimpin bertangan besi yang tidak merepresentasikan kepentingan rakyat Libya. Selain itu, Duta Besar Libya untuk Indonesia, Abdulhamid MA Alwindi dalam wawancaranya  di Jakarta pada 19 Agustus 2013, menyebutkan,
“Gaddafi never gives freedom to Libyan people. Most Libyan is very poor, but he is wallowing in wealth. Nobody likes Gaddafi, he did not bring any development to Libya.”
Dia megemukakan bahwa selama 42 tahun, Gaddafi tidak pernah memberikan kebebasan kepada rakyat Libya. Kebanyakan warga Libya dilanda kemiskinan, tapi ia bergelimang harta. Tak seorang pun suka terhadap Gaddafi, ia tidak membawa perkembangan apapun untuk Libya. Misalnya, tidak ada hotel bintang lima di Tripoli, bahkan hanya satu bandara internasional di Tripoli. Di Benghazi, Bandara Benina, tidak ada fasilitas yang tepat dan standar untuk penerbangan, bahkan landasan biasanya menggunakan jalan raya.[5] Dalam masa kepemimpinannya, Libya juga sempat dikucilkan dalam hubungan internasional karena menjadi ‘oposisi’ politik internasional Amerika Serikat.[6]
            Bentuk protes yang awalnya berlangsung damai pada akhirnya menjadi protes besar-besaran dalam waktu singkat dan merebak ke seluruh penjuru negeri Libya. Banyak warga sipil turun ke jalan sehingga membuat pemerintahan Qadaffi sedikit khawatir. Untuk mempertahankan pemerintahaannya dan kontrol atas Libya, Qadaffi tidak ragu lagi untuk megerahkan kekuatan militernya dalam menghadapi demonstran.[7] Ketegangan semakin meningkat dengan banyaknya pemberontakan dan aksi bersenjata hingga mendirikan organisasi pemerintahan sendiri yang diberi nama Libyan National Council atau National Transitional Council (NTC) pada tanggal 27 Februari 2011. Merasa kekuasaaannya semakin terancam maka Qadaffi dan pasukan militernya tanpa ampun menembak dan menghabisi  siapapun yang menghalanginya. Bahkan dalam pidatonya,  Qadaffi bersiap mengerahkan semua senjatanya untuk mempertahankan Tripoli dari para pemberontak. Tercatat bahwa angka kematian yang ditimbulkan hingga Februari 2012 lebih dari 100 jiwa.[8]



Humanitarian Intervension in Libya : Saving Lives or War?
            Tindakan brutal yang dilakukan oleh Qadaffi dan pasukannya tersebut membuat dunia internasional turun tangan. Menurut International Federation for Human Rights (FIDH), tindakan Qadaffi ini merupakan tindakan penindasan terhadap warga sipilnya sendiri dan dikategorikan pada tindakan kejahatan kemanusiaan. International Criminal Court (ICC) juga mengigatkan secara langsung terhadap tindakan kekejaman ini.[9] Menyikapi tindakan brutal tersebut, Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi strategis yang banyak menangani konflik internasional, mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan aset Gaddafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka melakukan perjalanan, serta mengeluarkan himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi Libya. Resolusi tersebut juga menyerukan Qadaffi agar diperiksa di ICC namun tidak dihirukan.[10]
            Atas desakan Liga Arab[11], Resolusi baru kembali dikeluarkan. Resolusi 1973 berdasarkan Piagam PBB Bab VII Pasal 42 ini berisi tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona larangan terbang) di wilayah Libya, dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam Resolusi 1970. No-fly zone ditujukan untuk mencegah pesawat tempur pasukan Qadaffi melakukan misi pembunuhan dari udara.[12] Sementara itu, muncul pasukan koalisi yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris dan Perancis dimana mereka melancarkan operasi Odyssey Dawn  pada tanggal 19 Maret dengan memasuki target-target utama pemerintahan di Libya. Intervensi yang dilakukan didasarkan oleh alasan kemanusiaan dan untuk menegakkan resolusi 1973. Lima hari setelahnya, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified Protection pada tanggal 24 Maret.
Di dalam operasi NATO tersebut tidak diizinkan pengiriman pasukan untuk menduduki Libya, tetapi menyerukan diakhirinya segera semua serangan terhadap warga sipil.[13] Untuk mengehentikan rezim Qadaffi, pasukan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) melakukan serangan dibeberapa kota termasuk kota Sirte yang merupakan kota kelahiran Qadaffi. Serangan NATO juga melibatkan serangan udara, bom-bom banyak dijatuhkan hingga menimbulkan korban termasuk warga sipil. Namun NATO sendiri menolak tuduhan tersebut. Target penyerangan mereka adalah fasilitas penyimpanan kendaraan strategis Libya, yang mendukung pasukan loyalis pro Qadaffi menyerang warga sipil. Puncak dari pergolakan militer dan gerakan revolusi Libya yang terjadi adalah runtuhnya rezim Qadaffi. Setelah ibu kota Libya, Tripoli berhasil dikuasai, pada tanggal 20 Oktober 2011 NATO berhasil melumpuhkan sebuah konvoi yang bergerak meninggalkan kota Sirte. Konvoi tersebut tertangkap oleh pasukan NATO dan berhasil dilumpuhkan. Qadaffi termasuk ke dalam konvi tersebut. Dia berhasil ditangkap dan dilumpuhkan oleh pasukan oposisi dalam keadaan hidup. Dalam konvoi tersebut juga wafat salah seorang anak dari Qadaffi yaitu Mutassim dan pengawalnya sekaligs menteri pertahanan Qadaffi yaitu Abu Bakar Younis. Qadaffi sendiri akhirnya wafat satu jam kemudian dalam perjalanan akibat luka-luka yang dideritanya.[14]
Secara garis besar, intervesi yang dilakukan pasukan koalisi maupun NATO di Libya dalam betuk invasi militer atas dasar kemanusiaan, menggambarkan situasi peperangan yang sangat meresahkan warga Libya. Adanya intervensi kemanusiaan di Libya memetik drama perebutan pertahanan kekuasaan terhadap Libya oleh Qadaffi dan NATO semakin memanas.[15] Menurut pandangan Liberalis, perang merupakan akibat dari pemerintahan yang tidak demokratis dan militeristik dan perang merupakan kepentingan penguasa itu sendiri dan bukan atas dasar mewakili keinginan rakyat. Oleh karena itu negara yang belum menerapkan demokrasi harus menerapkan demokrasi agar tercapai perdamaian walaupun melalui perang sekalipun.[16] Kondisi di Libya menggambarkan keinginan perubahan revolusi demokrasi ke arah yang lebih baik. Dan adanya intervensi kemanusiaan merupakan sarana untuk mendukung terselenggaranya keinginan-keinginan tersebut tanpa melanggar hak asasi dan kehidupan manusia.

AS action : Moral or Interest?
Nato adalah aliansi keamanan Negara-negara atlantik utara yang sangat kental dengan kepentingan AS di dalamnya. Prinsip one for all and all for one menjadikan NATO sebagai aliansi  ditakuti oleh negara-negara lain.[17] Keberadaan NATO di Libya tampak jelas sebagai bentuk perpanjangan tangan Amerika Serikat yang hampir selalu mengatasnamakan hak asasi manusia, kemanusiaan dan demokrasi sebagai basis instrumen untuk melakukan intervensi. Padahal, bukti-bukti tentang pelanggaran HAM dan demokrasi yang dilakukan Amerika Serikat sesungguhnya tidak sulit ditemukan. Dalam setiap peristiwa kekerasan atau konflik pada umumnya Amerika Serikat selalu mengambil peran. Jika konflik telah meluas menjadi perang terbuka, seperti di Libya, maka pemerintah Amerika Serikat akan terjun dan memainkan standar ganda. Standar ganda yang dimaksud adalah adanya kepentingan nasional atau national interest. Apalagi, jika konflik terjadi di wilayah atau kawasan yang strategis dan kaya dengan sumber-sumber daya alam, maka hampir dipastikan di situ Amerika Serikat mengambil peran untuk intervensi.[18]
Memang banyak perdebatan oleh para ilmuwan sosial mengenai politik luar negeri AS terkait konflik yang terjadi di Libya. Terdapat tiga faktor yang dapat dianalisis sebagai hal yang mempengaruhi politik luar negeri AS ini, yaitu adanya kepentingan ekonomi, pemilu AS 2012 dan peran dari opini  masyaraka terkait konflik Libya. Kepentingan ekonomi merupakan hal yang paling sering dikaitkan mengingat adanya paradoks bahwa konflik Libya terjadi ketika krisis ekonomi di AS juga sedang berlangsung.[19] Negara Libya merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-18 yang menghasilan 1.789.000 bbl/hari. Selain itu, kualitas minyak Libya selalu menjadi incaran karena memilki sedikit kadar belerang sehingga mudah diolah. AS sendiri merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke-6 (5%).
Intervensi NATO ke Libya disinyalir merupakan efek dari keberatannya negara-negara barat terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Qadaffi. Qadaffi yang memang anti barat terbukti menjadi mitra yang menyulitkan bagi perusahaan-perusahaan minyak internasional. Ia sering kali menaikkan biaya dan pajak, serta meminta tuntutan-tuntutan yang sulit dipenuhi. Kejahatan Gaddafi bukanlah terhadap kemanusiaan, tetapi karena kebijakannya. NATO sendiri bisa dikatakan menjadi boneka Contextually, NATO intervention is definitely controlled by the US. In this case, NATO has become US ‘puppet’ in putting more influence in Libya related to yang dikendalikan AS. Mengenai motif intervensi ke Libya, Kedutaan besar Kanada Atase Pertahanan untuk Indonesia, Colonel Latouche mengemukakan,[20]
“US might have some interest on oil, but security interest plays the biggest reason.”
Beberapa perusahaan minyak besar berharap Libya mau membuka investasi lebih lanjut pasca sanksi dari Washington dicabut tahun 1994 dan perusahaan-perusahan minyak besar asal AS mulai memasuki negara Afrika Utara tersebut. Akan tetapi, keinginan tersebut sepertinya tidak terlaksana. Pemerintah Libya, di bawah Qadaffi, merenegoisasi ulang jatah perusahaan-perusahaan tersebut. Pembagian jatah minyak dari masing-masing ladang hanya sekitar 12%, dari awalnya 50%. Hal tersebut dilakukan karena Qadaffi tidak menginginkan perusahaan-perusahaan tersebut mengontrol bisnis minyak di Libya, dan  mendapat keuntungan yang besar yang seharusnya dialokasian untuk rakyat Libya sendiri.[21]

Alasan suatu negara mengintervensi negara lain seharusnya dilakukan dengan alasan dan pertimbangan matang. Jika memang berlandaskan alasan kemanusiaan, sesuai dengan prinsip Respnsibility to Protect, tanggung jawab negara untuk melindungi negara lain adalah untuk responsibility to prevent; responsibility to react dan responsibility to rebuild.[22] Pada kasus intervensi di Libya, cukup sulit dianalisa motif intervensi AS karena memang pada kenyataannya, tidak ada data-data yang pasti. Tetap banyak korban jiwa yang ditimbulkan bahkan setelah dilaksanakannya intervensi. Reputasi pemerintahaan Qadaffi juga dihancurkan karena keberaniaannya menyampaikan ide-ide radikal anti barat.

The Debates : Was it Necessary?
            Hal yang terpenting adalah mengenai kondisi Libya pasca turunnya rezim Qadaffi. Apakah memang pemberontakan serta demokrasi atas revolusi Libya memang benar-benar membawa dampak positif ataupun tidak. Setelah runtuhnya rezim Qadaffi maka Libya berusaha berbenah diri membangun kembali negaranya sendiri. Namun hingga kini dapat kita lihat bersama bahwa kondisi di Libya belum stabil. Kelompok-kelompok yang dahulu menggencarkan kekuatannya untuk menumbangkan Qadaffi, kini berebut kekuasaan. Sedangkan Libya timur dimana gerakan awal pemberontakan dicetuskan, sekarang muncul rasa tidak puas dan kecewa. Mereka justru berniat untuk memisahkan diri dari Libya. Tidak luput dari sorotan, wilayah Libya bagian selatan yang berbatasan langsung dengan negara Chad dan negara-negara tetangga juga masih kacau karena tidak ada yang mengawasi daerah perbatasan.[23] Profesor Maximilian C. Forte dari Concordia University, Kanada, yang menulis tentang sebuah artikel mengenai kejatuhan Libya sebagai bangsa dan masyarakat yang berjudul ‘Slouching Towards Sirte: NATO’s War On Libya and Africa’, beliau menerima surat dari orang asing yang tinggal di Libya. Dari surat tersebut beliau dapat menyimpulkan,[24]
“Without fail, every single one of them has since fled the country. I would say that now the consensus has to be that, regardless of whatever measure one chooses, Libya is far worse off now.”
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dan dilema baru. Apakah intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan di Libya merupakan suatu tindakan yang tepat ataukah tidak. Mengingat kekejaman rezim Qadaffi di Libya sendiri dan banyakna aksi militer yang digunakan bahkan setelah adanya intervensi yang mana juga makin menimbulkan banyak korban bagi warga sipil Libya. Duta Besar Libya untuk Indonesia menyatakan,[25] 
After Gaddafi ignored the 1970 Resolution, the implementation of 1973 Resolution must be by military act, because without it nothing can stop Gaddafi. The intervention itself is required in order to save libyan lives and stop Gaddafi from doing more atrocities in the region. If Gaddafi doesn’t stop now there will be collateral damage, not only in Libya, but Africa as well.[26]
Apabila di analisis lebih dalam, penulis setuju dengan pernyataan di atas. Memang rezim Qadaffi yang sudah terang-terangan berani membantai warga sipilnya sendiri demi pertahanan kekuasaan harus dihentikan dengan cara apapun untuk meminimalisir korban. Dan penulis juga memahami bahwa di dalam proses intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh negara lain termasuk AS dan NATO tidak bisa terlepas dari intervensi militer karena memang intervensi militer ini merupakan bagian dari intervensi kemanusiaan. Alasan mengapa intervensi militer dilakukan adalah militer dengan teknologinya yang tinggi dapat bergerak cepat dan memiliki dampak langsung dalam membantu humanity. Intervensi militer tidak selalu mengenai perang, senjata dan tentara. Namun hanya merupakan alat lain dari upaya bernegosiasi yang digunakan sebagai pilian paling akhir. Penggunaan kekuatan militer di Libya adalah untuk menyeimbangi kebrutalan atas rezim Qadaffi dan tentu saja untuk meminimalisir korban yang ada.
            Jadi di sini penulis berpendapat bahwa intervensi yang dilakukan di Libya sudah tepat. Mengenai motif lain yang terkadung dan dibawa oleh negara pengintervensi, terus terang penulis hanya bisa berasumsi mengingat keterbatasan data yang ada. Bahkan dari pihak Libya sendiri sempat membantah mengenai motif lain yang terkandung selain kemanusiaan. Bahwa NATO hanya memiliki memiliki motif untuk menyelamatkan nyawa dan menegakkan resolusi dewan keamanan PBB. Duta besar Libya mengemukakan,[27]
“NATO and the US did not take anything from Libya and there were no compensation whatsoever. If NATO motivation is about oil, why NATO intervene former Yugoslavia? There are no valuable resources there. Libyan people instead shows their gratitude to NATO in helping them overthrown a dictator, which has oppressed the people for so long.
Jika memang motif dari pada intervensi kemanusiaan di Libya memang atas dasar humanity maka tindakan NATO dan kawan-kawanya sudah sangat tepat. Lalu apakah intervensi ini berdampak pada perdamaian dan keamanan internasional? Proffessor forte kembali menjelaskan,
“If we were to speak of the Libyan case, the impact of NATO's war has clearly been a destabilizing one presumably, right from the start, as the overthrow of any regime is by definition an act of destabilization. I mean this more broadly however, in terms of regional destabilization, with an obvious impact on events in Mali, Nigeria, Chad, Egypt and Syria, and an increase in both funds and weapons for armed militant groups.”
Hal tersebut menguatkan asumsi bahwa intervensi kemanusiaan di Libya walaupun belum membawa kestabilan penuh bagi negara Libya sendiri, namun dapat membawa perubahan destabilisasi yang baik bagi Libya. Apabila dihubungkan dengan konsep Responsibility to Protect, Stewart Patrict dalam tulisannya mengemukakan,[28]
“Libya has demonstrated the viability of a well-implemented RtoP intervention, but one should not assume that the United States and its allies will now apply it universally.”
Konsep RtoP yang sudah dijalankan dengan baik, Semua membutuhkan proses dan penulis yakin, dengan adanya intervensi di Libya pada masa Qadaffi merupakan babak baru perubahan revolusi Libya menjadi lebih baik.
  
 (Jumlah kata : 2842 kata)


[1] Cristina Gabriela Badescu, 2011. Humanitarian Intervention and the Responsibility to Protect: Security and Human Rights . New York: Routledge. h. 22-23.
[2] NATO Humanitarian Intervention in Libya: Saving Lves or War of Power. Diakses melalui < https://www.academia.edu/4859242/NATO_Humanitarian_Intervention_in_Libya_Saving_Lives_or_War_for_Power> pada 16 April 2015

[3] Legalitas dan Motivasi NATO dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya.

[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Intervensi Kemanusiaan di Libya. Diakses melalui < http://azizfahri.blogspot.com/2012/11/intervensi-kemanusiaan-di-libya.html> pada 16 April 2015
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Fact Sheet: UN Security Council Resolution 1970, Libya Sanctions. Diakses melalui < http://usun.state.gov/briefing/statements/2011/157194.htm> pada 16 April 2015
[11] Liga Arab atau League of Arab State merupakan sebuah organisasi regional yang terdiri dari negara-negara Arab yang didirikan pada 22 Maret 1945 untuk mengkoordinasikan tindakan ekonomi, niaga, kebudayaan dsb. Diakses melalui < http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Arab> pada 16 April 2014
[12] Ibid.
[13] Penyebab Kematian Qadaffi adalah NATO. Diakses melalui < http://gus-dayat.com/2011/10/30/penyebab-kematian-qaddafi-itu-adalah-nato/>  pada 16 April 2014
[14] Proses Berakhirnya Kekuasaan Rezim Presiden Muammar Khadaffi: Studi Kasus Revolusi Libya. Diakses melalui < https://www.academia.edu/5809733/Proses_berakhirnya_kekuasaan_rezim_Presiden_Muammar_Khadaffi_Studi_Kasus_revolusi_Libya_2011> pada 16 April 2015
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.

[18] Mohammad Shoelhi. 2007. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Hlm. 71 dalam Legalitas dan Motivasi NATO dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya.  Diakses melalui < https://jerryindrawan.wordpress.com/2013/04/23/legalitas-dan-motivasi-nato-dalam-melakukan-intervensi-kemanusiaan-di-libya/> pada 16 April 2015

[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] ICISS, 2001. The Responsibility To Protect. Report of The International Commission of Intervention and States Sovereignty. Ottawa: International Development Research Centre. Diakses melalui <http://responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf> pada 16 April 2015
[23] Foreign Policy: Peran Jerman dalam Pembangunan di Libya Pasca Rezim Qadaffi. Diakses melalui <https://jekejek.wordpress.com/2013/06/09/foreign-policy-rasionalisasi-peran-jerman-dalam-pembangunan-di-libya-pasca-rezim-khadaffi/> pada 17 April 2015
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Patrict, Stewart. Libya and The Future of Humanitarian Intervention. Diakses melalui <http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-of-humanitarian-intervention > pada 17 April 2015

0 komentar:

Post a Comment