Trisfani
Rahmawati
NIM. 071414553007
Program
Studi Magister S2 Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik
Universitas
Airlagga Surabaya
Libya
merupakan negara di Afrika Utara yang berbatasan dengan Mesir di sebelah timur,
Tunisia di sebelah barat, Chad dan Nier di sebleah selatan serta Aljazair di
sebelah barat daya. Sebagaian besar wilayah Libya terdiri dari gurun pasir maka
populasi penduduk lebih terkonsentrasi di wilayah sepanjang laut Mediterania. Perang
dan konflik telah menjadi bagian dari peradaan manusia. Pasca perang dingin,
masih banyak kita jumpai berbagai konflik yang mengancam dan menjadi tantangan
baru terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Konflik di Libya
misalanya. Konflik yang terjadi di Libya memang hampir sama dengan
konflik-konflik yang dialami di negara lain. Sebagain besar didasari oleh
masalah politik dan pemerintahan.
Seperti yang kita tahu,
berbagai konflik terjadi di Libya. Mulai dari konflik pada masa pemerintahan
Qadaffi hingga kini kependudukan kekuasaan oleh ISIS. Konflik-konflik tersebut sempat
menimbulkan respon dunia internasional ketika masa pemerintahaan Qadaffi,
Selain itu, mengingat korban yang dari konflik tersebut tidaklah sedikit.
Berbagai intervensi mulai dilaksanakan termasuk dengan alasan yang lebih
humanis yakni intervensi kemanusiaan. Jumah intervensi kemanusiaan meningkat
pesat dalam periode perang dingin dimana hal tersebut terjadi karena banyaknya
actor baru yang ingin muncul di panggung dunia untuk membantu mengatasi konflik
internal suatu negara yang diakibatkan oleh failed
state.[1]
Banyak perdebatan
tersendiri mengenai intervensi yang terjadi. Setiap negara ataupun berbagai
pihak internasional yang memutuskan untuk melaksanakan intervensi pasti
memiliki berbagai pertimbangan yang matang tekait hal tersebut. Negara tidak
serta merta melaksanakan tindakan intervensi hanya karena kepentingan humanitarian
ataupun adanya legalitas dari yang berwenang. Apabila diamati lebih jauh,
selalu ada motif lain atau national mauapun self
interest yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut juga dapat lebih
membantu kita dalam memahami alasan apa dan mengapa suatu negara melakukan
intervensi terhadap negara lain. Dalam papar ini akan coba dianalisis dari
studi kasus yang terjadi di Libya, Afrika. Apa yang sebenarnya terjadi di Libya
saat ini terkait dengan intervensi kemanusiaan dan apakah intervensi
kemanusiaan yang telah dilakukan merupakan suatu tindakan yang tepat ataukah
tidak.
The
Brieft History of Libya’s Conflict
Fenomena arab spring yang menyerang Tunisia,
Yaman dan Mesir di awal tahun 2011 akhirnya mempengaruhi Libya. Terjadi
demonstrasi besar-besaran di Libya terhadap pemerintahan Muammar Qadaffi yang
sudah berkuasa lebih dari 41 tahun.[2]
Banyaknya demontrasi yang terjadi di Libya berawal dari protesnya sebagian
warga Libya di Benghazi pada tanggal 15 Februari 2011, yang dipicu penahanan
seorang pengacara yang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah.[3]
Meski dikabarkan polisi sudah membebaskan pengacara tersebut, namun aksi unjuk
rasa dan demonstasi terus berlanjut hingga berkembang menjadi bentuk protes
terhadap pemerintah mereka secara umum dan terhadap Muammar Qadaffi.[4] Selama
menjabat Muammar Qadaffi dipandang sebagai pemimpin bertangan besi yang tidak
merepresentasikan kepentingan rakyat Libya. Selain itu, Duta
Besar Libya untuk Indonesia, Abdulhamid MA
Alwindi dalam wawancaranya di Jakarta
pada 19 Agustus 2013, menyebutkan,
“Gaddafi
never gives freedom to Libyan people. Most Libyan is very poor, but he is
wallowing in wealth. Nobody likes Gaddafi, he did not bring any development to
Libya.”
Dia megemukakan bahwa
selama 42 tahun, Gaddafi tidak pernah memberikan kebebasan kepada
rakyat Libya. Kebanyakan warga Libya dilanda kemiskinan, tapi ia bergelimang harta. Tak
seorang pun suka terhadap Gaddafi, ia tidak membawa perkembangan
apapun untuk Libya. Misalnya, tidak ada hotel
bintang lima di Tripoli,
bahkan hanya satu bandara internasional di Tripoli. Di Benghazi,
Bandara Benina, tidak
ada fasilitas yang tepat dan standar
untuk penerbangan, bahkan landasan biasanya menggunakan
jalan raya.[5] Dalam
masa kepemimpinannya, Libya juga sempat dikucilkan dalam hubungan internasional
karena menjadi ‘oposisi’ politik internasional Amerika Serikat.[6]
Bentuk
protes yang awalnya berlangsung damai pada akhirnya menjadi protes
besar-besaran dalam waktu singkat dan merebak ke seluruh penjuru negeri Libya. Banyak
warga sipil turun ke jalan sehingga membuat pemerintahan Qadaffi sedikit
khawatir. Untuk mempertahankan pemerintahaannya dan kontrol atas Libya, Qadaffi
tidak ragu lagi untuk megerahkan kekuatan militernya dalam menghadapi
demonstran.[7]
Ketegangan semakin meningkat dengan banyaknya pemberontakan dan aksi bersenjata
hingga mendirikan organisasi pemerintahan sendiri yang diberi nama Libyan
National Council atau National Transitional Council (NTC)
pada tanggal 27 Februari 2011. Merasa kekuasaaannya semakin terancam maka
Qadaffi dan pasukan militernya tanpa ampun menembak dan menghabisi siapapun yang menghalanginya. Bahkan dalam
pidatonya, Qadaffi bersiap mengerahkan semua senjatanya untuk
mempertahankan Tripoli dari para pemberontak. Tercatat bahwa angka kematian
yang ditimbulkan hingga Februari 2012 lebih dari 100 jiwa.[8]
Humanitarian
Intervension in Libya : Saving Lives or War?
Tindakan brutal
yang dilakukan oleh Qadaffi dan pasukannya tersebut membuat dunia internasional
turun tangan. Menurut International Federation for Human Rights (FIDH),
tindakan Qadaffi ini merupakan tindakan penindasan terhadap warga sipilnya
sendiri dan dikategorikan pada tindakan kejahatan kemanusiaan. International
Criminal Court (ICC) juga mengigatkan secara langsung terhadap tindakan
kekejaman ini.[9]
Menyikapi tindakan brutal tersebut, Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi
strategis yang banyak menangani konflik internasional, mengeluarkan Resolusi
1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan aset Gaddafi dan sepuluh
orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka melakukan
perjalanan, serta mengeluarkan himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan
bagi Libya. Resolusi tersebut juga menyerukan Qadaffi agar diperiksa di ICC
namun tidak dihirukan.[10]
Atas
desakan Liga Arab[11], Resolusi
baru kembali dikeluarkan. Resolusi 1973 berdasarkan Piagam PBB Bab VII Pasal 42
ini berisi tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona
larangan terbang) di wilayah Libya, dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah
disebutkan dalam Resolusi 1970. No-fly zone ditujukan untuk mencegah
pesawat tempur pasukan Qadaffi melakukan misi pembunuhan dari udara.[12] Sementara
itu, muncul pasukan koalisi yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris dan
Perancis dimana mereka melancarkan operasi Odyssey Dawn pada
tanggal 19 Maret dengan memasuki target-target utama pemerintahan di
Libya. Intervensi yang dilakukan didasarkan oleh alasan kemanusiaan dan untuk
menegakkan resolusi 1973. Lima hari setelahnya, tongkat kendali humanitarian
intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation
Unified Protection pada tanggal 24 Maret.
Di dalam operasi NATO
tersebut tidak diizinkan pengiriman pasukan untuk menduduki Libya, tetapi menyerukan
diakhirinya segera semua serangan terhadap warga sipil.[13]
Untuk mengehentikan rezim Qadaffi, pasukan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik
Utara (NATO) melakukan serangan dibeberapa kota termasuk kota Sirte yang
merupakan kota kelahiran Qadaffi. Serangan NATO juga melibatkan serangan udara,
bom-bom banyak dijatuhkan hingga menimbulkan korban termasuk warga sipil. Namun
NATO sendiri menolak tuduhan tersebut. Target penyerangan mereka adalah
fasilitas penyimpanan kendaraan strategis Libya, yang mendukung pasukan loyalis
pro Qadaffi menyerang warga sipil. Puncak dari pergolakan militer dan gerakan
revolusi Libya yang terjadi adalah runtuhnya rezim Qadaffi. Setelah ibu kota
Libya, Tripoli berhasil dikuasai, pada tanggal 20 Oktober 2011 NATO berhasil
melumpuhkan sebuah konvoi yang bergerak meninggalkan kota Sirte. Konvoi tersebut
tertangkap oleh pasukan NATO dan berhasil dilumpuhkan. Qadaffi termasuk ke
dalam konvi tersebut. Dia berhasil ditangkap dan dilumpuhkan oleh pasukan
oposisi dalam keadaan hidup. Dalam konvoi tersebut juga wafat salah seorang
anak dari Qadaffi yaitu Mutassim dan pengawalnya sekaligs menteri pertahanan
Qadaffi yaitu Abu Bakar Younis. Qadaffi sendiri akhirnya wafat satu jam
kemudian dalam perjalanan akibat luka-luka yang dideritanya.[14]
Secara garis besar,
intervesi yang dilakukan pasukan koalisi maupun NATO di Libya dalam betuk
invasi militer atas dasar kemanusiaan, menggambarkan situasi peperangan yang
sangat meresahkan warga Libya. Adanya intervensi kemanusiaan di Libya memetik
drama perebutan pertahanan kekuasaan terhadap Libya oleh Qadaffi dan NATO semakin
memanas.[15]
Menurut pandangan Liberalis, perang merupakan akibat dari pemerintahan yang
tidak demokratis dan militeristik dan perang merupakan kepentingan penguasa itu
sendiri dan bukan atas dasar mewakili keinginan rakyat. Oleh karena itu negara
yang belum menerapkan demokrasi harus menerapkan demokrasi agar tercapai
perdamaian walaupun melalui perang sekalipun.[16]
Kondisi di Libya menggambarkan keinginan perubahan revolusi demokrasi ke arah
yang lebih baik. Dan adanya intervensi kemanusiaan merupakan sarana untuk
mendukung terselenggaranya keinginan-keinginan tersebut tanpa melanggar hak
asasi dan kehidupan manusia.
AS
action : Moral or Interest?
Nato adalah aliansi
keamanan Negara-negara atlantik utara yang sangat kental dengan kepentingan AS
di dalamnya. Prinsip one for all and all for one menjadikan NATO sebagai
aliansi ditakuti oleh negara-negara lain.[17] Keberadaan
NATO di Libya tampak jelas sebagai bentuk perpanjangan tangan Amerika Serikat
yang hampir selalu mengatasnamakan hak asasi manusia, kemanusiaan dan demokrasi
sebagai basis instrumen untuk melakukan intervensi. Padahal, bukti-bukti
tentang pelanggaran HAM dan demokrasi yang dilakukan Amerika Serikat
sesungguhnya tidak sulit ditemukan. Dalam setiap peristiwa kekerasan atau
konflik pada umumnya Amerika Serikat selalu mengambil peran. Jika konflik telah
meluas menjadi perang terbuka, seperti di Libya, maka pemerintah Amerika
Serikat akan terjun dan memainkan standar ganda. Standar ganda yang dimaksud
adalah adanya kepentingan nasional atau national
interest. Apalagi, jika konflik terjadi di wilayah atau kawasan yang
strategis dan kaya dengan sumber-sumber daya alam, maka hampir dipastikan di
situ Amerika Serikat mengambil peran untuk intervensi.[18]
Memang banyak
perdebatan oleh para ilmuwan sosial mengenai politik luar negeri AS terkait
konflik yang terjadi di Libya. Terdapat tiga faktor yang dapat dianalisis
sebagai hal yang mempengaruhi politik luar negeri AS ini, yaitu adanya kepentingan
ekonomi, pemilu AS 2012 dan peran dari opini
masyaraka terkait konflik Libya. Kepentingan ekonomi merupakan hal yang
paling sering dikaitkan mengingat adanya paradoks bahwa konflik Libya terjadi
ketika krisis ekonomi di AS juga sedang berlangsung.[19]
Negara Libya merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-18 yang menghasilan
1.789.000 bbl/hari. Selain itu, kualitas minyak Libya selalu menjadi incaran
karena memilki sedikit kadar belerang sehingga mudah diolah. AS sendiri
merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke-6 (5%).
Intervensi NATO ke
Libya disinyalir merupakan efek dari keberatannya negara-negara barat terhadap
kebijakan ekonomi pemerintahan Qadaffi. Qadaffi yang memang anti barat terbukti
menjadi mitra yang menyulitkan bagi perusahaan-perusahaan minyak internasional.
Ia sering kali menaikkan biaya dan pajak, serta meminta tuntutan-tuntutan yang
sulit dipenuhi. Kejahatan Gaddafi bukanlah terhadap kemanusiaan, tetapi karena
kebijakannya. NATO sendiri bisa dikatakan menjadi boneka Contextually,
NATO intervention is definitely
controlled by the US. In this case, NATO
has become US ‘puppet’ in putting more influence in Libya related to yang
dikendalikan AS. Mengenai motif intervensi ke Libya, Kedutaan besar Kanada
Atase Pertahanan untuk Indonesia, Colonel Latouche mengemukakan,[20]
“US
might have some interest on oil, but security interest plays the biggest reason.”
Beberapa perusahaan minyak besar
berharap Libya mau membuka investasi lebih lanjut pasca sanksi dari Washington
dicabut tahun 1994 dan perusahaan-perusahan minyak besar asal AS mulai memasuki
negara Afrika Utara tersebut. Akan tetapi, keinginan tersebut sepertinya tidak
terlaksana. Pemerintah Libya, di bawah Qadaffi, merenegoisasi ulang jatah
perusahaan-perusahaan tersebut. Pembagian jatah minyak dari masing-masing
ladang hanya sekitar 12%, dari awalnya 50%. Hal tersebut dilakukan karena
Qadaffi tidak menginginkan perusahaan-perusahaan tersebut mengontrol bisnis
minyak di Libya, dan mendapat keuntungan
yang besar yang seharusnya dialokasian untuk rakyat Libya sendiri.[21]
Alasan suatu negara
mengintervensi negara lain seharusnya dilakukan dengan alasan dan pertimbangan matang.
Jika memang berlandaskan alasan kemanusiaan, sesuai dengan prinsip Respnsibility to Protect, tanggung jawab
negara untuk melindungi negara lain adalah untuk responsibility to prevent;
responsibility to react dan responsibility to rebuild.[22]
Pada kasus intervensi di Libya, cukup sulit dianalisa motif intervensi AS
karena memang pada kenyataannya, tidak ada data-data yang pasti. Tetap banyak
korban jiwa yang ditimbulkan bahkan setelah dilaksanakannya intervensi. Reputasi
pemerintahaan Qadaffi juga dihancurkan karena keberaniaannya menyampaikan
ide-ide radikal anti barat.
The
Debates : Was it Necessary?
Hal yang terpenting
adalah mengenai kondisi Libya pasca turunnya rezim Qadaffi. Apakah memang
pemberontakan serta demokrasi atas revolusi Libya memang benar-benar membawa
dampak positif ataupun tidak. Setelah runtuhnya rezim Qadaffi maka Libya
berusaha berbenah diri membangun kembali negaranya sendiri. Namun hingga kini
dapat kita lihat bersama bahwa kondisi di Libya belum stabil. Kelompok-kelompok
yang dahulu menggencarkan kekuatannya untuk menumbangkan Qadaffi, kini berebut
kekuasaan. Sedangkan Libya timur dimana gerakan awal pemberontakan dicetuskan,
sekarang muncul rasa tidak puas dan kecewa. Mereka justru berniat untuk
memisahkan diri dari Libya. Tidak luput dari sorotan, wilayah Libya bagian
selatan yang berbatasan langsung dengan negara Chad dan negara-negara tetangga
juga masih kacau karena tidak ada yang mengawasi daerah perbatasan.[23] Profesor
Maximilian C. Forte dari Concordia University, Kanada, yang menulis tentang
sebuah artikel mengenai kejatuhan Libya sebagai bangsa dan masyarakat yang
berjudul ‘Slouching Towards Sirte: NATO’s War On Libya and Africa’,
beliau menerima surat dari orang asing yang tinggal di Libya. Dari surat
tersebut beliau dapat menyimpulkan,[24]
“Without fail, every single one of them has since fled the country. I would say that now the consensus has to be that, regardless of whatever measure one chooses, Libya is far worse off now.”
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dan dilema baru. Apakah intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan di Libya merupakan suatu tindakan yang tepat ataukah tidak. Mengingat kekejaman rezim Qadaffi di Libya sendiri dan banyakna aksi militer yang digunakan bahkan setelah adanya intervensi yang mana juga makin menimbulkan banyak korban bagi warga sipil Libya. Duta Besar Libya untuk Indonesia menyatakan,[25]
“After Gaddafi ignored the
1970 Resolution, the implementation of 1973 Resolution must be by military act,
because without it nothing can stop Gaddafi. The intervention itself is
required in order to save libyan lives and stop Gaddafi from doing more
atrocities in the region. If Gaddafi doesn’t stop now there will be collateral
damage, not only in Libya, but Africa as well.[26]
Apabila
di analisis lebih dalam, penulis setuju dengan pernyataan di atas. Memang rezim
Qadaffi yang sudah terang-terangan berani membantai warga sipilnya sendiri demi
pertahanan kekuasaan harus dihentikan dengan cara apapun untuk meminimalisir
korban. Dan penulis juga memahami bahwa di dalam proses intervensi kemanusiaan
yang dilakukan oleh negara lain termasuk AS dan NATO tidak bisa terlepas dari
intervensi militer karena memang intervensi militer ini merupakan bagian dari
intervensi kemanusiaan. Alasan mengapa intervensi militer dilakukan adalah
militer dengan teknologinya yang tinggi dapat bergerak cepat dan memiliki
dampak langsung dalam membantu humanity.
Intervensi militer tidak selalu mengenai perang, senjata dan tentara. Namun
hanya merupakan alat lain dari upaya bernegosiasi yang digunakan sebagai pilian
paling akhir. Penggunaan kekuatan militer di Libya adalah untuk menyeimbangi
kebrutalan atas rezim Qadaffi dan tentu saja untuk meminimalisir korban yang
ada.
Jadi di sini penulis berpendapat
bahwa intervensi yang dilakukan di Libya sudah tepat. Mengenai motif lain yang
terkadung dan dibawa oleh negara pengintervensi, terus terang penulis hanya
bisa berasumsi mengingat keterbatasan data yang ada. Bahkan dari pihak Libya
sendiri sempat membantah mengenai motif lain yang terkandung selain
kemanusiaan. Bahwa NATO hanya memiliki memiliki motif untuk menyelamatkan nyawa
dan menegakkan resolusi dewan keamanan PBB. Duta besar Libya mengemukakan,[27]
“NATO and the US did
not take anything from Libya and there were no compensation whatsoever. If NATO
motivation is about oil, why NATO intervene former Yugoslavia? There are no
valuable resources there. Libyan people instead shows their gratitude to NATO
in helping them overthrown a dictator, which has oppressed the people for so
long.”
Jika
memang motif dari pada intervensi kemanusiaan di Libya memang atas dasar humanity maka tindakan NATO dan
kawan-kawanya sudah sangat tepat. Lalu apakah intervensi ini berdampak pada
perdamaian dan keamanan internasional? Proffessor forte kembali menjelaskan,
“If we were to speak of the Libyan
case, the impact of NATO's war has clearly been a destabilizing one presumably,
right from the start, as the overthrow of any regime is by definition an act of
destabilization. I mean this more broadly however, in terms of regional
destabilization, with an obvious impact on events in Mali, Nigeria, Chad, Egypt
and Syria, and an increase in both funds and weapons for armed militant
groups.”
Hal
tersebut menguatkan asumsi bahwa intervensi kemanusiaan di Libya walaupun belum
membawa kestabilan penuh bagi negara Libya sendiri, namun dapat membawa
perubahan destabilisasi yang baik bagi Libya. Apabila dihubungkan dengan konsep
Responsibility to Protect, Stewart
Patrict dalam tulisannya mengemukakan,[28]
“Libya has demonstrated the
viability of a well-implemented RtoP intervention, but one should not assume
that the United States and its allies will now apply it universally.”
Konsep
RtoP yang sudah dijalankan dengan baik, Semua membutuhkan proses dan penulis
yakin, dengan adanya intervensi di Libya pada masa Qadaffi merupakan babak baru
perubahan revolusi Libya menjadi lebih baik.
(Jumlah kata : 2842 kata)
[1] Cristina
Gabriela Badescu, 2011. Humanitarian
Intervention and the Responsibility to Protect: Security and Human Rights .
New York: Routledge. h. 22-23.
[2] NATO Humanitarian Intervention in Libya: Saving Lves or War of Power.
Diakses melalui < https://www.academia.edu/4859242/NATO_Humanitarian_Intervention_in_Libya_Saving_Lives_or_War_for_Power> pada 16 April 2015
[3] Legalitas dan Motivasi NATO dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya.
Diakses
melalui < https://jerryindrawan.wordpress.com/2013/04/23/legalitas-dan-motivasi-nato-dalam-melakukan-intervensi-kemanusiaan-di-libya/> pada 16 April 2015
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Intervensi Kemanusiaan di Libya. Diakses melalui < http://azizfahri.blogspot.com/2012/11/intervensi-kemanusiaan-di-libya.html> pada 16 April 2015
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Fact Sheet: UN Security Council Resolution 1970, Libya Sanctions.
Diakses melalui < http://usun.state.gov/briefing/statements/2011/157194.htm> pada 16 April 2015
[11] Liga Arab atau League of Arab State merupakan sebuah
organisasi regional yang terdiri dari negara-negara Arab yang didirikan pada 22
Maret 1945 untuk mengkoordinasikan tindakan ekonomi, niaga, kebudayaan dsb.
Diakses melalui < http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Arab> pada 16 April 2014
[12] Ibid.
[13] Penyebab Kematian Qadaffi
adalah NATO. Diakses melalui < http://gus-dayat.com/2011/10/30/penyebab-kematian-qaddafi-itu-adalah-nato/> pada 16 April 2014
[14] Proses Berakhirnya Kekuasaan Rezim Presiden
Muammar Khadaffi: Studi Kasus Revolusi Libya. Diakses melalui < https://www.academia.edu/5809733/Proses_berakhirnya_kekuasaan_rezim_Presiden_Muammar_Khadaffi_Studi_Kasus_revolusi_Libya_2011>
pada 16 April 2015
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Mohammad Shoelhi. 2007. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Hlm. 71 dalam Legalitas dan Motivasi NATO dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya. Diakses melalui < https://jerryindrawan.wordpress.com/2013/04/23/legalitas-dan-motivasi-nato-dalam-melakukan-intervensi-kemanusiaan-di-libya/> pada 16 April 2015
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] ICISS,
2001. The Responsibility To Protect. Report of The
International Commission of Intervention and States Sovereignty.
Ottawa: International Development Research Centre. Diakses melalui <http://responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf>
pada 16 April 2015
[23] Foreign Policy: Peran Jerman dalam Pembangunan
di Libya Pasca Rezim Qadaffi. Diakses melalui <https://jekejek.wordpress.com/2013/06/09/foreign-policy-rasionalisasi-peran-jerman-dalam-pembangunan-di-libya-pasca-rezim-khadaffi/>
pada 17 April 2015
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28]
Patrict, Stewart. Libya and The Future of Humanitarian Intervention. Diakses
melalui <http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-of-humanitarian-intervention
> pada 17 April 2015
0 komentar:
Post a Comment