Mata Kuliah : KORPORASI GLOBAL
Tanggal : 24 Oktober 2014
Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu komponen strategis
bagi kondisi perekonomian indonesia dimana sumbangan sektor migas pada APBN
negara mencapai 25 %. Oleh sebab itu
pengelolaan migas menjadi salah satu komponen vital dalam mewujudkan ketahanan
energi yang menjadi bagian dari ketahanan nasional. Melimpahnya sumber daya
minyak dan gas bumi di Indonesia mendorong banyak penanaman
modal asing atau investasi asing
untuk ikut berkontribusi dan ikut serta dalam pemanfaatan sumber daya sekaligus
meraup keuntungan maksimal. Salah satu perusahan terkemuka multinasional yang
berhasil ikut serta dalam penanaman modal di Indonesia adalah Shell atau
sekarang dikenal dengan PT. Shell Indonesia.
Investasi Shell sudah dimulai sejak
lama dan terus berkembang megikuti legitimacy
dan peraturan kedaulatan negara yang diatur melalui UU Migas. Dibentuknya
UU Migas No. 22 Tahun 2001 menjadi langkah baru bagi Shell untuk melakukan
perubahan investasi menjadi lebih dominan terhadap sektor migas di Indonesia.
Dalam tulisan ini akan coba dibahas bagaimana UU Migas Tahun 2001 dapat
mempengaruhi penanaman modal mutinational
corporation, dilihat dari salah satu korporasi asing, PT Shell Indonesia
dan apakah UU Migas Tahun 2001 sebagai undang-undang berbasis ekonomi dapat dikatakan
merupakan salah satu bentuk demokrasi ekonomi pesanan korporasi ?
Dinamika Perkembangan Migas di Indonesia
Jauh sebelum kemerdekaan indonesia, pencarian minyak di Indonesia sudah
banyak dilakukan. Diantaranya oleh salah satu pengusaha bekebangsaan belanda yang bernama Jan Reerink di daerah lereng
gunung Ciremai. Kemudian di lanjutkan oleh Aeilko Jans Zijklert
pada tahun 1885 di Telaga Tunggal. Pengeboran yang dilakukan Aeliko Jana
Zijliker membuahkan hasil dan keberhasilannya tersebut menjadi pendorong banyak
dilakukannya untuk melakukan eksplorasi di daerah lainnya yang memiliki potensi
minyak seperti Jambi, Aceh, Surabaya, dan Palembang. Keberhasilan dari usahanya
tersebut juga akhirnya menciptakan usaha untuk berproduksi di sektor
perminyakan, pengolahan dan penyulingan minyak bumi dan pemasarannya. Dan pada
akhirnya banyak perusahaan multinasional asing yang berlomba-lomba masuk
melakukan kegiatan usaha sektor migas di Indonesia seperti Standard Oil of New Jersey, Socony Vacuum (Standard Oil of New York),
Standard Vacuum Petroleum (STANVAC), California Texas Oil dan tentu saja The Royal Dutch Shell Group atau atau
saat ini dikenal sebagai “Shell”.
Setelah masa kemerdekaan, sesuai dengan UUD 1945 pasal
33 yang sudah dibentuk pada saat itu yang berbunyi : “bumi air dan kekayaan
yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Maka dari itu untuk mengemban amanat
yang ditertera pada UUD 1945 pasal 33, akhirnya, pada tahun 1971 Indonesia
memiliki perusahaan migas yaitu PERTAMINA sebagai perusahaan yang memiliki
kedaulatan penuh dalam pengelolaan sumber daya migas di Indonesia yang diatur
dalam UU No. 8 Tahun 1971. Jadi perusahaan asing seperti Shell, Caltex, dan
Stanvac bekerja untuk PERTAMINA sebagai kontraktor dan dalam bentuk production sharing contract yang menjadi
dasar dari kontrak kerja sama pengelolaan migas di Indonesia. Dan pada saat itu
hingga 2001, PERTAMINA menjadi donor devisa paling besar bagi Indonesia.
Shell dan peranannya dalam sektor Migas di
Indonesia
Penemuan minyak oleh Aeilko Jans Zijklert pada tahun
1885 di Telaga Tunggal membuat ia mengubah Provisional
Sumatra Petroleum Company miliknya menjadi sesuatu yang lebih
substansial pada tahun
1890. Dan pada
tanggal 16 Juni, piagam perusahaan "Royal Dutch Company for the
Working of Petroleum Wells in the Dutch Indies" didirikan di Den Haag. Setelah Zijklert meninggal pada 27 Desember 1890, rekannya mengambil alih pekerjaan
untuk menamukan ladang minyak baru dan mengembangkan perusahaannya. Hingga pada awal abad 20, sumber minyak bumi telah di temukan di Sumatra Utara,
Sumatra Sealatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur. Pada tahun pertama di abad itu, dua dari sekian banyak perusahaan muncul
sebagai pemimpin, yaitu Royal Dutch untuk bagian produksi dan penyulingan,
sementara Shell di bidang transportasi dan pemasaran. Di tahun 1902, Shell dan Royal Dutch membentuk perusahaan bersama
untuk menangani pengiriman dan pemasaran dengan nama The Shell Transport and Royal
Dutch Petroleum Co, Ltd.
Setelah beberapa tahun pada 24 februari 1907, terbentuklah Royal Ducth / Shell Group of Companies yang kemudian dunia lebih
mengenalnya dengan Shell. Tiga tahun kemudian, pada 1910, Shell menyerap produsen lain dari Indonesia dan pada 24 juni 1911, mereka membeli lagi sebuah perusahaan bernama The Dordtsche Petroleum Mij dan dominasi
Shell di industri perminyakan di Indonesia semakin lengkap. Selanjutnya pada
tahun 1963, dibentuknya UU No. 14 Tahun 1963 yang menjelaskan mengenai status
kedudukan Shell di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa
daerah-daerah bekas konsesi korporasi asing pertambangan di Indonesia, salah
satu diantaranya Shell, dinyatakan dikembalikan kepada Pemerintah Republik
Indonesia dimana segala usaha pertambangan minyak dan gas bumi hanya dapat dilaksanakan
oleh perusahaan negara, kecuali apabila diperlukan pelaksanaan pekerjaan yang
belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh negara maka dapat ditunjuk
korporasi asing sebagai kontraktor perusahaan negara. Sehingga pada saat itu,
status Shell masih terbatas karena hanya sebagai kontraktor di Indonesia.
Dibentuknya UU Migas No. 22 Tahun 2001
Dengan berjalannya waktu, peminatan
atau kebutuhan masyarakat akan Bahan Bakar Minyak makin
bertambah. Hal tersebut membuat perusahaan pertamina sulit untuk memenuhi permintaan
dikarenakan alat-alat produksi yang terbatas untuk mengolah minyak. Kemudian
untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Keppres No.31 Tahun
1997 tentang perusahaan minyak swasta. Dengan adanya peraturan tersebut pemerintah
memberi izin kepada PERTAMINA untuk membeli minyak pada perusahaan swasta tanpa
mengubah peran pertamina yang memonopoli Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Status tersebut membuat pertamina menjadi aktor
monopoli utama sektor migas di Indonesia. Di sini Shell masih berperan sebagai
salah satu produsen bagi Pertamina. Hal tersebut kemudian membuat korporasi
asing dan Multinational
Corporation yang saat itu memang
sudah mendominasi di Indonesia dari segi finansial, mendorong pemerintah agar menjadikan pasar yang kompetitif. Selain itu juga karena adanya berbagai tuntutan dan kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang masih kurang
terpenuhi dengan baik walaupun dengan dikeluarkannya Keppres
No.31 Tahun 1997.
Sehingga pada Tahun 2001, pemerintah
mengeluarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan diberlakukannya
UU ini menjadikan perusahaan swasta mudah untuk pengolahan dan pemasaran minyak
di Indonesia lalu PERTAMINA tidaklah lagi menjadi regulator, karena negara
telah membentuk Badan Pelaksana Migas dan Badan Pengatur Migas dan status PERTAMINA
sebagai monopoli perusahaan minyak dalam negeri di cabut. Perusahaan tunggal migas
negara Indonesia yaitu PERTAMINA sudah berakhir, artinya PERTAMINA tidak lagi
menjadi pemain tunggal dalam sektor migas di Indonesia. Undang-undang ini yang
menjadi pemicu awal untuk meliberalisasi di sektor minyak dan gas bumi untuk
membuat pasar yang lebih kompetitif. Dan sampai pada tahun 2005 silam, tercatat sebesar
105 perusahaan telah mendapat izin untuk beroperasi, mengelola, dan memasarkan
produk Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia seperti Chevron-Texaco, Petronas,
British Petroleum dan tentu saja Shell.
Analisis :
Pengelolaan sumber daya alam yaitu dalam hal ini adalah Migas,
terbukti pengelolaannya masih bersandar pada perusahaan asing yang menyebabkan semakin
kuatnya peranan perusahaan asing dalam penguasaan dan eksploitasi Migas
Indonesia. PT Shell Indonesia menjadi salah satu perusahaan asing dimana sudah
mulai beroperasi bahkan pada saat Indonesia belum mendapatkan kemerdekaan.
Setelah adanya kemerdekaan juga tidak cukup membatasi Shell dalam
mengeksploitasi sumber daya migas di Indonesia. Shell mendapatkan keuntungan
walau hanya sebagai kontraktor pertamina. Pemerintah sendiri masih belum dapat
menyelesaikan permasalahaan kebutuhan Migas dengan baik secara mandiri. Negara
Indonesia termasuk sebagai negara berkembang
yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah namun tidak memiliki
kekuatan produksi. Hal tersebut lah yang akhirnya membuat perusahaan
asing mencoba terus mendorong dan menekan pemerintah untuk segera mengeluarkan
undang-undang berbasis ekonomi (economic
based legislation).
Ditetapkannya UU
No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas menjadi solusi bagi permasalahan kebutuhan
Migas di Indonesia. Undang-undang ini tidak lain untuk meliberalisasikan sektor
migas. Dengan kata lain, perusahaan asing bebas masuk untuk berinvestasi dan
mengelola migas di Indonesia. Perusahaan asing mulai masuk dan berlomba-lomba
untuk mengelola dan mencari keuntungan dari pengelolaan minyak di Indonesia.
Dan posisi Indonesia disini hanya memberikan jasa kepada perusahaan asing untuk
memperkerjakan masyarakatnya di perusahaan asing tersebut. Sedangkan bagi PERTAMINA
mencabut statusnya tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam sektor migas
Indonesia melainkan harus bersaing dengan perusahaan migas asing seperti Shell
Shell akhirnya
mendapatkan perubahan dominasi dan peranan tertentu dari ditetapkannya undang-undang
ini dimana yang pada awalnya hanya sebagai kontraktor, kemudian menjadi pelaku
utama mandiri yang bersaing dengan perusahaan migas nasional, pertamina. PT
Shell Indonesia sebagai perusahaan asing terus berkembang di Indonesia. Sebagian
besar sumber-sumber energi Indonesia memang dikuasai oleh perusahaan asing.
Untuk minyak misalnya, Indonesian Resource
Studies (IRESS)
menemukan bahwa Pertamina hanya memproduksi minyak sebesar 15 persen dan
85 persen diproduksi oleh asing.
Kesimpulan :
Dewasa ini
korporasi asing memang memegang peranan penting di Indonesia, tidak hanya di
sektor ekonomi namun merambah ke dominasi demokrasi ekonomi. Ditetapkannya UU No.
22 Tahun 2001 secara tidak langsung membuat demokrasi
kita terkikis karena adanya tekanan korporasi untuk menguasai sumber daya Migas
Indonesia melalui undang-undang berbasis ekonomi. Bisa jadi UU No. 22 Tahun
2001 merupakan bentuk demokrasi pesanan korporasi dimana melalui undang-undang
tersebut, korporasi asing berhasil berinvestasi penuh dan memperoleh keuntungan
besar, bahkan lebih besar dari keuntungan Indonesia sendiri karena korporasi
asing terbukti lebih dominan di sektor migas daripada perusahaan nasional.
Referensi :
Driver, Ciaran and Thomson,
Grahame. Corporate Governance and Democracy.
Imperial College, University of London, England and Open Unibersity, England
Sabrina, meutia. 2013. Analisis
Resiko Politik dalam Investasi Royal Dutch Shell di Indonesia. Media jurnal
Palazzo, Guido. Corporate Social Responsibility, Democracy,
and The Politization of The Corporate. University of Zurich
Palimpung, Hizkia Y. 2013. Investasi
Perusahaan Asing (Multinational Corporation) di Indonesia pada Sektor Migas,
Praktek Imperialisme ?. Universitas Al-Azhar Indonesia
www.hukumonline.com diakses tanggal 23
Oktober, UU No. 22 Tahun 2001; Keppres No.31 Tahun 1997; UU No. 14 Tahun 1963
www.shell.co.id diakses tanggal 23 Oktober
0 komentar:
Post a Comment